Kesalahan Fatal: DPRD Jakarta Perlu Bentuk PANSUS Satpol PP atas Pembubaran Tenda Pendemo di Depan Gedung DPR-MPR RI

MELALUI fungsi pengawasannya, DPRD dapat memberikan rekomendasi kepada Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, termasuk di antaranya mengusulkan pencopotan Kepala Satpol PP DKI Jakarta
Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)
Semalam, Kamis, 10 April 2025, saya menulis sebuah artikel berjudul, “Pertontonkan Sikap Arogansi di Gedung DPR-MPR RI, Satpol PP Coreng Wajah Pemprov DKI Jakarta: Gubernur Pramono Anung Perlu Bersikap Tegas.” Artikel tersebut saya tulis sebagai respons atas pertanyaan seorang teman wartawan yang menghubungi saya melalui WhatsApp. Ia meminta pandangan saya mengenai tindakan Satpol PP DKI Jakarta yang dinilai arogan saat membubarkan warga yang tengah berkemah dalam aksi damai di depan Gerbang Pancasila, Gedung DPR-MPR RI, pada Rabu, 9 April 2025.
Sebagai lanjutan dari tulisan tersebut, pagi ini, Jumat, 11 April 2025, saya kembali menulis artikel dengan judul yang tertera di atas.
Perlu saya tegaskan bahwa DPRD memiliki tiga fungsi utama: legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Selain itu, DPRD juga memiliki hak-hak konstitusional, yaitu hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Seluruh fungsi dan hak ini wajib dijalankan secara maksimal dan proporsional, terlebih ketika terjadi tindakan dari pihak eksekutif yang dinilai melampaui kewenangan, seperti yang dilakukan oleh Satpol PP DKI Jakarta.
Tindakan pembongkaran tenda para demonstran di depan Gerbang Pancasila, kompleks DPR-MPR RI, pada Rabu, 9 April 2025, merupakan kesalahan fatal yang harus segera mendapat perhatian serius dari DPRD DKI Jakarta. Melalui fungsi pengawasannya, DPRD dapat memberikan rekomendasi kepada Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, termasuk di antaranya mengusulkan pencopotan Kepala Satpol PP DKI Jakarta. Langkah ini bukan sekadar reaktif, melainkan bentuk tanggung jawab politik DPRD dalam menjaga marwah demokrasi dan melindungi hak-hak warga negara.
Aksi demonstrasi tersebut merupakan bentuk penolakan terhadap revisi Undang-Undang TNI dan Polri. Para peserta aksi menyuarakan keresahan atas kemungkinan meluasnya kewenangan militer dan kepolisian dalam kehidupan sipil. Sayangnya, aksi damai ini justru dibubarkan secara sepihak oleh aparat Satpol PP, yang berdalih bahwa keberadaan tenda di trotoar mengganggu ketertiban, estetika, serta menghambat pejalan kaki.
Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, secara terbuka menyesalkan tindakan tersebut dan menegur Kepala Satpol PP. Ia menegaskan bahwa Satpol PP tidak memiliki kewenangan untuk membubarkan aksi demonstrasi yang dilakukan secara damai. Sebagai respons, Satpol PP telah menyampaikan permohonan maaf dan berjanji akan mengedepankan pendekatan yang lebih dialogis di masa depan.
Namun, permintaan maaf saja tidak cukup untuk menghapus kesan bahwa Satpol PP telah bersikap arogan dan melampaui kewenangan. Pembubaran aksi ini mencerminkan upaya pembatasan terhadap kebebasan berpendapat, yang secara konstitusional dijamin oleh Pasal 28E UUD 1945. Dalam pasal tersebut ditegaskan bahwa setiap warga negara berhak untuk menyatakan pikiran, berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat.
Secara hukum, Satpol PP adalah aparat penegak peraturan daerah, bukan pengatur atau pengendali ruang publik yang digunakan untuk menyuarakan aspirasi politik. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2018 tentang Satpol PP, disebutkan bahwa tugas mereka adalah menegakkan peraturan daerah serta menjaga ketertiban umum. Tidak ada kewenangan yang memberi hak kepada mereka untuk membatasi demonstrasi di ruang publik, apalagi di kawasan lembaga negara seperti DPR-MPR RI yang berada dalam wilayah strategis nasional dan berada di bawah otoritas sekretariat jenderal lembaga tinggi negara, bukan pemerintah daerah.
Selain itu, tindakan pembubaran tersebut mencederai nilai-nilai demokrasi yang menjadikan demonstrasi sebagai bagian dari kontrol rakyat terhadap pemerintah. Dalam negara demokratis, aparat justru harus memfasilitasi agar aksi penyampaian pendapat berlangsung tertib dan aman. Melarang secara langsung hanya akan menciptakan kesan otoriter dan menumbuhkan ketakutan di tengah masyarakat.
Jika dalih pembubaran adalah demi menjaga ketertiban dan kenyamanan publik, maka seharusnya Satpol PP justru hadir sebagai pengatur, bukan sebagai pemaksa. Koordinasi dengan kepolisian, pengaturan lalu lintas pejalan kaki, dan mediasi dengan peserta aksi adalah langkah-langkah yang sesuai secara etis dan prosedural. Tindakan represif yang dilakukan justru menimbulkan preseden buruk dan bisa merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah.
Citra Pemprov DKI Jakarta telah tercoreng akibat tindakan tidak proporsional ini. Sebagai ibu kota negara, Jakarta seharusnya menjadi teladan dalam praktik demokrasi. Jika ibu kota saja tidak mampu menjamin kebebasan berekspresi, bagaimana mungkin daerah-daerah lain dapat merasa aman dan terlindungi saat menyampaikan aspirasi?
Oleh karena itu, DPRD DKI Jakarta harus segera menggunakan hak dan fungsi pengawasannya dengan membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelidiki tindakan Satpol PP tersebut. Rekomendasi yang dihasilkan dari kerja Pansus ini nantinya bisa menjadi dasar kuat bagi Gubernur untuk mengevaluasi dan mengambil langkah tegas, termasuk pergantian pimpinan Satpol PP jika terbukti melanggar prosedur dan etika pelayanan publik.
Pemimpin daerah harus menunjukkan keberpihakan pada prinsip demokrasi, bukan pada praktik otoriter. Tindakan Satpol PP bukan hanya soal ketertiban, tetapi menyangkut wajah demokrasi kita. Satpol PP tidak boleh menjadi simbol represi baru di tengah masyarakat. Pemprov DKI Jakarta wajib memastikan bahwa peristiwa serupa tidak terulang di masa depan, demi menjaga kepercayaan rakyat serta konsistensi terhadap nilai-nilai reformasi dan konstitusi.