Pertontonkan Sikap Arogansi di Gedung DPR-MPR RI, Satpol PP Coreng Wajah Pemprov DKI Jakarta: Gubernur Pramono Anung Perlu Bersikap Tegas

Sugiyanto (SGY)-Emik

TINDAKAN Satpol PP DKI Jakarta yang menyebabkan kegaduhan dalam aksi demonstrasi di depan Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) telah mencoreng wajah Pemprov DKI Jakarta

Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)

Ting! Sebuah pesan WhatsApp masuk di ponsel saya. Siang ini, Kamis, 10 April 2025, saya menerima pertanyaan dari seorang teman wartawan melalui WhatsApp. Ia menanyakan pendapat saya terkait tindakan Satpol PP DKI Jakarta yang dianggap arogan saat membubarkan warga yang tengah berkemah di depan Gerbang Pancasila, Gedung DPR-MRP RI, pada Rabu, 9 April 2025.

Aksi berkemah itu merupakan bentuk penolakan terhadap revisi Undang-Undang (UU) TNI. Massa yang terlibat menyuarakan penolakan terhadap RUU TNI dan RUU Polri, dengan alasan bahwa kedua rancangan undang-undang tersebut dinilai membuka celah bagi perluasan kewenangan militer dan kepolisian dalam kehidupan sipil.

Saat pesan itu masuk, saya sedang mengemudi menuju Stasiun Cikini, Jakarta Pusat, sehingga tidak bisa langsung merespons. Baru setelah urusan saya selesai, menjelang waktu Isya, saya memiliki waktu luang untuk mulai menulis artikel ini.

Dalam pandangan saya, tindakan Satpol PP DKI Jakarta yang menyebabkan kegaduhan dalam aksi demonstrasi di depan Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) telah mencoreng wajah Pemprov DKI Jakarta. Hal ini jelas dapat merusak citra positif Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung. Oleh karena itu, mantan Sekretaris Kabinet era Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang juga seorang politisi senior, perlu bertindak tegas dengan memberikan sanksi, baik berupa teguran maupun pemberhentian, kepada Pimpinan Satpol PP DKI Jakarta.

Aksi Satpol PP DKI Jakarta tersebut dapat dipandang sebagai tindakan pembatasan atau pelarangan terhadap hak para demonstran. Selain itu, tindakan ini mencerminkan sikap arogansi yang jelas tidak seharusnya dipertontonkan kepada publik. Selain melampaui batas kewenangan Satpol PP sebagai aparat penegak perda, peristiwa ini juga bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi serta semangat konstitusi negara yang menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Terdapat setidaknya empat alasan logis yang tidak dapat dibenarkan terkait tindakan Satpol PP DKI Jakarta yang membubarkan warga yang sedang berkemah dalam rangka protes atau aksi demonstrasi di depan Gerbang Pancasila Gedung MRP dan DPR RI pada Rabu, 9 April 2025 tersebut. 

Pertama, Satpol PP adalah aparat penegak peraturan daerah, bukan penafsir konstitusi atau pengatur lalu lintas aspirasi rakyat. Fungsi utama Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2018 tentang Satpol PP pada Pasal 2 ayat (1), yaitu untuk menegakkan peraturan daerah serta menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dalam lingkup kewenangan pemerintah daerah.

Dengan demikian, Satpol PP tidak memiliki dasar hukum untuk membatasi ataupun melarang demonstrasi di kawasan lembaga negara, seperti MPR RI. Hal ini semakin keliru mengingat adanya hak atas kebebasan berpendapat yang dilindungi oleh UUD 1945, Pasal 28E, yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kebenaran, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya,” serta, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Kedua, Gedung MPR RI terletak di wilayah yang berada di bawah otoritas nasional, bukan lokal. Kawasan Senayan, tempat berdirinya Gedung DPR/MPR RI, bukanlah sepenuhnya milik atau tanggung jawab Pemprov DKI Jakarta. Wilayah ini merupakan zona strategis nasional yang berada di bawah pengelolaan Sekretariat Jenderal MPR/DPR/DPD RI, dan menjadi simbol kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, tindakan Satpol PP yang dapat dianggap membatasi atau melarang demonstrasi di kawasan tersebut bisa dianggap sebagai bentuk campur tangan pemerintah daerah ke dalam wilayah kedaulatan institusi negara.

Ketiga, pembatasan atau pelarangan terhadap aksi demonstrasi mencederai nilai-nilai demokrasi. Aksi demonstrasi merupakan ekspresi sah dari kebebasan sipil yang dijamin oleh negara. Selama dilakukan dengan damai dan sesuai dengan peraturan hukum, aparat manapun, termasuk Satpol PP, tidak berhak membungkam suara rakyat. Sebaliknya, keberadaan aksi-aksi semacam itu justru menjadi bagian penting dari kontrol publik terhadap jalannya pemerintahan, baik terhadap lembaga legislatif maupun eksekutif.

Keempat, jika alasan pembatasan atau pelarangan adalah demi ketertiban, yang seharusnya dilakukan oleh Satpol PP adalah memfasilitasi, bukan menghalangi. Mengatur lalu lintas massa aksi, berkoordinasi dengan kepolisian, dan memastikan tidak terjadinya kerusuhan adalah langkah yang harus diambil oleh aparat pemerintah daerah. Melarang secara langsung adalah tindakan otoriter yang bisa menimbulkan preseden buruk dalam kehidupan demokrasi.

Tindakan yang dapat dianggap pembatasan atau pelarangan yang dilakukan oleh Satpol PP DKI Jakarta terhadap aksi demonstrasi jelas telah mencoreng citra Pemprov DKI Jakarta. Oleh karena itu, Pemprov DKI, khususnya Gubernur Pramono Anung dan Wakil Gubernur Rano Karno, perlu segera mengevaluasi sikap Satpol PP yang terkesan arogan dan melampaui batas. Sanksi tegas atau pemberhentian terhadap pimpinan yang bertanggung jawab harus segera dipertimbangkan.

Dalam dunia demokrasi, rakyat memiliki hak untuk menyuarakan pendapat, dan aparat berkewajiban untuk menghormati hak tersebut. Jangan sampai Satpol PP DKI justru menjadi simbol represi di ibu kota, yang seharusnya menjadi cerminan demokrasi nasional. Pemprov DKI Jakarta, yang notabene adalah ibu kota negara, merupakan simbol demokrasi nasional. Jika ibu kota gagal mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi dalam kebebasan berpendapat, hal ini akan menciptakan preseden buruk bagi daerah lain.