Rakyat Pembayar Pajak Berhak Tentukan: Pilkada Langsung atau Lewat DPRD? Voting Publik Bisa Jadi Solusi

Sugiyanto (SGY)-Emik

SEBAGAI negara yang dibangun dengan uang pajak rakyat, rakyat sejatinya menjadi tuan dalam negara ini

Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT) / Relawan Independen Pendukung Calon Presiden Prabowo Subianto 2019-2024

Negeri Nusantara ini dibangun dari uang rakyat melalui pembayaran pajak. Uang pajak inilah yang digunakan untuk membiayai pembangunan negara, menggaji pejabat, anggota legislatif, hakim, TNI, kepolisian, kejaksaan, hingga presiden sekalipun. Dengan jumlah penduduk Indonesia pada 2024 yang mencapai sekitar 281.603.800 jiwa—terbesar keempat di dunia—dapat dikatakan seluruh rakyat, tanpa terkecuali, adalah pembayar pajak yang menopang negeri ini.

Berdasarkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024, pendapatan negara direncanakan sebesar Rp2.802,3 triliun, dengan penerimaan perpajakan mencapai Rp2.309,9 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp492 triliun. Sementara belanja negara dialokasikan sebesar Rp3.325,1 triliun, terdiri atas belanja pemerintah pusat sebesar Rp2.467,5 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp857,6 triliun. Defisit APBN 2024 sebesar 2,29% dari PDB atau nominal Rp522,8 triliun akan dibiayai melalui berbagai sumber, termasuk pembiayaan utang sebesar Rp648 triliun.

Untuk RAPBN 2025, struktur pendapatan serupa. Pendapatan negara diproyeksikan mencapai Rp3.621,3 triliun, sebagian besar berasal dari pajak rakyat sebesar Rp2.490,9 triliun, ditambah PNBP sebesar Rp513,6 triliun dan pembiayaan utang sebesar Rp775,9 triliun. Fakta ini menegaskan bahwa biaya penyelenggaraan Pilkada Langsung sepenuhnya berasal dari uang rakyat, bukan dari uang pribadi siapa pun.

Jika rakyat menolak membayar pajak, roda pemerintahan akan terhenti. Tidak berlebihan untuk menyimpulkan bahwa rakyatlah pemilik kekuasaan tertinggi dan menjadi "tuan" atas penyelenggaraan negara. Prinsip Vox Populi, Vox Dei—suara rakyat adalah suara Tuhan—menegaskan rakyat memiliki hak mutlak menentukan pemimpin melalui Pilkada Langsung.

Dalam konteks wacana Pilkada yang diusulkan kembali dipilih oleh DPRD, saya enggan membahasnya lagi. Ini mungkin tulisan terakhir saya terkait isu ini. Gagasan ini bukanlah hal baru; sebelumnya pernah muncul dan akhirnya gagal setelah kesuksesan Pilkada Langsung pasca-reformasi. Euforia keberhasilan Pilkada Langsung membuktikan bahwa rakyat mampu menggunakan hak pilih untuk menentukan masa depan bangsa. Mengabaikan prinsip ini adalah langkah mundur yang tidak seharusnya terjadi.

Usulan Pilkada melalui DPRD pertama kali disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto, muncul setelah suksesnya penyelenggaraan Pilkada Serentak di 545 daerah pada 27 November 2024. Lebih dari 37 provinsi, 515 kabupaten, dan 93 kota berhasil menggelar pemilihan dengan aman dan damai. Keberhasilan ini menunjukkan kedewasaan demokrasi Indonesia dan patut membuat negara-negara lain terkesan. Indonesia berpotensi menjadi contoh negara demokrasi masa depan.

Namun di tengah keberhasilan ini, usulan agar Pilkada dipilih oleh DPRD kembali muncul. Beberapa tokoh politik, termasuk Ketua Umum PKB dan Golkar, mendukung gagasan ini, menandakan perlunya kajian mendalam. Mengingat usulan datang dari Presiden Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra, dukungan politik dari partai lain mungkin segera menyusul.

Meski ada dukungan, saya pribadi menentang keras gagasan ini, terutama untuk pemilihan gubernur. Alasan utama adalah bertentangan dengan prinsip demokrasi Indonesia, di mana kedaulatan ada di tangan rakyat. Suara rakyat adalah suara Tuhan (Vox Populi Vox Dei), sebuah landasan yang tak bisa ditawar. Rakyat berhak menentukan pemimpinnya melalui Pilkada Langsung.

Argumen bahwa Pilkada melalui DPRD dapat menghemat biaya tidak bisa diterima. Penghematan biaya tak boleh mengorbankan prinsip dasar demokrasi yang telah diterima masyarakat luas. Rakyat, sebagai pembayar pajak, mendanai seluruh proses pemerintahan, termasuk Pilkada Serentak. Oleh karena itu, rakyat berhak menentukan siapa pemimpin mereka melalui pemilihan langsung.

Sebagai negara yang dibangun dengan uang pajak rakyat, rakyat sejatinya menjadi tuan dalam negara ini. Jika mereka tidak keberatan dengan biaya Pilkada Serentak, mengapa ada pihak yang ingin mengubahnya? Pertanyaan ini patut diajukan agar kita melihat masalah ini dari perspektif lebih luas.

Meskipun saya mungkin kalah menghadapi gelombang opini dari para pendukung usulan Pilkada oleh DPRD, saya berharap ada satu langkah konkret yakni, voting publik. Rakyat, sebagai pembayar pajak, berhak menentukan apakah Pilkada harus dipilih oleh DPRD atau tetap dilaksanakan secara langsung. Jika mayoritas rakyat setuju Pilkada melalui DPRD, saya akan mendukungnya. Namun jika mayoritas menolak, usulan ini harus dibatalkan.

Di tengah perdebatan ini, kita harus ingat bahwa demokrasi adalah milik rakyat. Jika kita menginginkan demokrasi sejati, hak suara rakyat harus dihormati. Setiap keputusan, terutama terkait hak politik rakyat, harus berdasar kehendak mayoritas. Wacana Pilkada melalui DPRD sebaiknya diputuskan melalui mekanisme demokratis, yakni voting publik yang transparan.