Usulan Pilkada Dipilih DPRD: Pertarungan Antara Kedaulatan di Tangan Rakyat atau Ketum Partai?

Sugiyanto (SGY)-Emik

JIKA Pilkada benar-benar beralih menjadi dipilih oleh DPRD, maka ini dapat diartikan sebagai pergeseran kedaulatan dari rakyat ke ketum partai

Oleh : Sugiyanto (SGY)

Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT) / Relawan Independen Pendukung Prabowo Saat Pilpres 2019-2024

Wacana Pilkada dipilih oleh DPRD kembali mencuat ke permukaan, menjadi perdebatan hangat di tengah masyarakat. Isu ini bukan sekadar perubahan teknis pemilihan kepala daerah, tetapi menyangkut prinsip dasar demokrasi: apakah kedaulatan tetap berada di tangan rakyat atau justru beralih ke tangan para ketua umum (ketum) partai politik?

Pada Sabtu, 14 Desember 2024, saya menulis artikel berjudul “Pilkada Dipilih DPRD Tak Perlu Diangkat Lagi: Usulan Ubah UUD untuk Dua Partai Saja dan Calon Independen Pilpres serta Pileg.” Dalam tulisan tersebut, saya mengajukan gagasan bahwa jika Pilkada memang ingin diubah menjadi dipilih oleh DPRD, maka semestinya kita juga membuka peluang bagi calon independen untuk maju di pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan legislatif (Pileg). 

Gagasan ini menyentuh paradoks mendasar: mengapa demokrasi rakyat dibatasi dalam konteks Pilkada, sementara di sisi lain partisipasi independen dalam Pilpres dan Pileg tetap tertutup rapat?

Dalam beberapa hari terakhir, sejumlah ketua umum (ketum) partai, seperti PKB dan Golkar, mulai merespons wacana Pilkada dipilih oleh DPRD dengan alasan perlunya kajian lebih mendalam. 

Respons tersebut menunjukkan bahwa gagasan tersebut tidak lagi sebatas wacana, tetapi memiliki potensi besar untuk diwujudkan. Potensi tersebut semakin menguat karena usulan Pilkada dipilih DPRD berasal dari Presiden Prabowo Subianto, yang juga menjabat sebagai ketua umum Partai Gerindra. Kemungkinan besar, dukungan dari ketum partai lainnya hanya tinggal menunggu sinyal “siap, Pak.”

Jika Pilkada benar-benar beralih menjadi dipilih oleh DPRD, maka ini dapat diartikan sebagai pergeseran kedaulatan dari rakyat ke ketum partai. Ungkapan “Vox populi, vox dei” (suara rakyat adalah suara Tuhan) hanya akan menjadi kenangan manis dalam sejarah demokrasi di negeri ini. Padahal, Indonesia baru saja sukses menyelenggarakan Pilkada serentak, yang menjadi bukti kematangan demokrasi di mata dunia.

Biaya Tinggi Bukan Alasan

Argumen yang sering digunakan untuk mendukung Pilkada dipilih DPRD adalah biaya Pilkada serentak yang tinggi. Namun, rakyat tidak pernah memprotes besarnya anggaran Pilkada selama manfaat demokrasi benar-benar dirasakan. Pilkada serentak adalah pesta demokrasi yang memberikan hak kepada rakyat untuk memilih pemimpinnya sendiri, menegaskan kedaulatan rakyat.

Sebaliknya, yang membuat rakyat marah adalah kegagalan negara dalam memberantas korupsi dan ketidakadilan dalam pengelolaan kekayaan negara. Banyak pejabat terlibat dalam praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), bekerja sama dengan pelaku usaha untuk menggerogoti kekayaan negara. Akibatnya, kekayaan alam yang melimpah tidak mampu dimanfaatkan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat. 

Sebagian besar pendapatan negara dalam rencana APBN 2025, yang sebesar Rp3.621,3 triliun, berasal dari pajak rakyat, ditambah dengan utang negara sekitar Rp775,9 triliun. Secara rinci, pembiayaan pembangunan negara tahun 2025 ini terdiri atas penerimaan perpajakan sebesar Rp2.490,9 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp513,6 triliun, dan pembiayaan utang sebesar Rp775,9 triliun.

Apabila kekayaan alam negeri ini dikelola dengan baik, biaya Pilkada serentak yang dianggap tinggi hanyalah angka kecil dibandingkan dengan manfaat besar dari kebebasan rakyat dalam memilih pemimpin mereka sendiri. Sebagai catatan, pemerintah diperkirakan telah mengalokasikan dana sekitar 30-35 triliun rupiah untuk pelaksanaan Pilkada serentak.

Perang Terhadap Rakyat

Memunculkan gagasan untuk mengubah mekanisme Pilkada menjadi dipilih DPRD tidak hanya menggeser kedaulatan rakyat, tetapi juga mungkin dapat dianggap sebagai bentuk “perang” para ketum partai terhadap rakyat Indonesia. Jika wacana ini terus diusung, maka rakyat Indonesia harus menunjukkan kecerdasannya dalam demokrasi. 

Apakah rakyat hanya akan pasrah menerima keputusan ini, atau akan melawan demi mempertahankan kedaulatan mereka?

Pilkada dipilih DPRD bukan hanya soal efisiensi anggaran, tetapi menyangkut hak fundamental rakyat dalam menentukan nasib mereka sendiri. 

Jika para ketum partai sepakat untuk mengesahkan Pilkada dipilih DPRD hanya melalui revisi UU Pilkada tanpa menyentuh UUD 1945, maka mereka telah mengkhianati prinsip dasar demokrasi dan kedaulatan rakyat.

Cara Jitu Menghemat Biaya Pilkada Serentak

Ada banyak cara efektif untuk menekan biaya Pilkada serentak, di antaranya melalui digitalisasi proses Pilkada. Pemanfaatan teknologi digital, baik untuk kampanye maupun pemungutan suara, dapat memangkas berbagai biaya yang biasanya diperlukan.

Misalnya, kampanye dapat dilakukan melalui media sosial atau platform daring resmi yang diawasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Selain lebih hemat biaya, cara ini juga memungkinkan transparansi yang lebih baik. 

Dalam hal pemungutan suara, penerapan e-voting menjadi solusi modern. E-voting memungkinkan pemilih mencoblos secara daring, sehingga kebutuhan logistik fisik seperti surat suara, kotak suara, dan Tempat Pemungutan Suara (TPS) dapat diminimalkan.

Di samping itu, perbaikan regulasi juga menjadi langkah penting. Pengawasan dana kampanye yang lebih ketat harus diterapkan untuk menutup celah terjadinya politik transaksional. Sistem Pilkada langsung, jika diatur dengan lebih ketat dan transparan sebenarnya bisa mengurangi biaya politik, termasuk persoalan politik uang atau money politik. 

Partai politik perlu diatur agar tidak hanya berorientasi pada kemenangan, tetapi juga mempertimbangkan prinsip keadilan publik dan idealisme. Dengan demikian, biaya Pilkada dapat ditekan tanpa mengorbankan integritas proses demokrasi. 

Dalam hal ini, jika alasan utama perubahan adalah biaya tinggi, maka seharusnya fokus diarahkan pada evaluasi sistem dan penguatan regulasi. Untuk itu, yang harus diperbaiki adalah regulasi, sistem Pilkada, dan penerapan teknologi, bukan malah mengembalikan Pilkada ke mekanisme pemilihan oleh DPRD.

Kini, pilihan ada di tangan para ketua umum partai: apakah mereka akan terus memperjuangkan Pilkada melalui DPRD, atau menyerah pada aspirasi rakyat yang menghendaki pemilihan langsung? Keputusan ini menjadi ujian besar atas komitmen mereka terhadap demokrasi. Prinsipnya sebenarnya sederhana: prinsip global dan "vox populi, vox dei" (suara rakyat adalah suara Tuhan) harus menjadi dasar acuan dalam menentukan arah Pilkada.