Pilkada Dipilih DPRD Tak Perlu Diangkat Lagi: Usulan Ubah UUD untuk Dua Partai Saja dan Calon Independen Pilpres serta Pileg
PILKADA langsung kerap dikritik karena biaya politik yang tinggi. Namun, persoalan ini tidak hanya terkait sistem pemilu itu sendiri, melainkan juga karena regulasi dan praktik politik yang belum optimal
Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)
Sesungguhnya saya ingin menulis banyak hal tentang Pilkada Jakarta, isu DKI Jakarta, dan masalah nasional lainnya. Namun, saya berpikir, wacana Pilkada yang dipilih DPRD lebih prioritas untuk dibahas, karena ini menyangkut prinsip dasar kedaulatan yang ada di tangan rakyat.
Terkait hal tersebut, munculnya usulan untuk mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah (Pilkada) melalui DPRD adalah wacana lama yang sudah tidak relevan untuk dibahas lagi.
Indonesia telah menjalani reformasi politik yang menghasilkan berbagai perubahan mendasar dalam sistem demokrasi, termasuk pelaksanaan Pilkada langsung. Menghidupkan kembali wacana ini justru kontraproduktif terhadap semangat reformasi yang diperjuangkan sejak 1998-1999.
Memang benar, Pilkada langsung kerap dikritik karena biaya politik yang tinggi. Namun, persoalan ini tidak hanya terkait sistem pemilu itu sendiri, melainkan juga karena regulasi dan praktik politik yang belum optimal.
Sistem Pilkada langsung, jika diatur dengan lebih ketat dan transparan, sebenarnya bisa mengurangi biaya politik, termasuk persoalan politik uang atau money politik.
Masalahnya adalah banyaknya celah dalam regulasi, seperti lemahnya pengawasan dana kampanye, yang menjadi pintu masuk bagi politik transaksional. Partai politik juga memiliki andil besar dalam menciptakan ekonomi biaya tinggi, karena sering berorientasi pada kemenangan semata, tanpa memperhatikan keadilan publik dan idealisme.
Jika alasan utama perubahan adalah biaya tinggi, maka seharusnya fokus diarahkan pada evaluasi sistem dan penguatan regulasi. Gagasan untuk mengganti mekanisme yang telah memberikan ruang lebih besar kepada rakyat untuk menentukan pemimpinnya justru dapat dianggap sebagai suatu ketidakadilan.
Reformasi politik telah menghasilkan berbagai capaian penting, salah satunya adalah pemilihan langsung oleh rakyat. Oleh karena itu, hal ini harus tetap dihormati sebagai wujud penghormatan terhadap kedaulatan rakyat.
Pilihan ini mencerminkan penghormatan terhadap kedaulatan rakyat, memberikan mereka hak penuh untuk memilih presiden, anggota legislatif, dan DPD serta kepala daerah.
Mengembalikan Pilkada ke DPRD justru merupakan langkah mundur yang mengkhianati semangat reformasi.
Perlu diingat, berkat perjuangan reformasi, para pejabat saat ini dapat duduk menjabat di posisi mereka. Namun, ironisnya, kini mereka justru mengusulkan untuk meruntuhkan hasil perjuangan reformasi tersebut. Bukankah ini bentuk ketidakadilan terhadap sejarah dan aspirasi rakyat yang telah berjuang untuk perubahan?
Jika wacana Pilkada oleh DPRD terus diangkat, maka hal ini sama saja dengan mengusulkan kembalinya sistem sentralistik. Pada era Orde Baru atau zaman penjajahan Belanda, hal serupa pernah terjadi, di mana kepala daerah dipilih oleh Presiden atau ditunjuk oleh Pemerintah Kolonial, bukan melalui mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat.
Atas hal tersebut, lebih baik sekalian saja mengubah kembali UUD 1945 agar Presiden kembali dipilih oleh MPR, sekaligus membatasi sistem multi-partai menjadi hanya dua partai, seperti di Amerika Serikat, dengan tetap membuka peluang bagi calon independen dalam Pilpres dan Pileg. Langkah ini dianggap dapat membuat proses politik lebih sederhana, murah, dan berkeadilan. Namun, apakah solusi ini relevan dengan realitas politik? Tentu saja tidak.
Sejatinya, saya mampu mengurai secara lebih detail dan rinci tentang pro dan kontra, serta dampak positif dan negatif dari wacana Pilkada dipilih oleh DPRD. Saya juga memahami sejarah, ketentuan, dan perubahan aturan terkait hal ini. Namun, saya merasa enggan untuk melakukannya karena saya merasa seperti sedang menulis tentang sebuah pengkhianatan terhadap kedaulatan yang sejatinya berada di tangan rakyat.
Dengan demikian, wacana untuk mengembalikan Pilkada kepada DPRD adalah langkah mundur yang tidak sejalan dengan semangat reformasi dan demokrasi. Masalah utama dalam Pilkada langsung bukan terletak pada sistemnya, melainkan pada implementasi dan regulasi yang lemah.
Daripada menghidupkan wacana lama yang tidak relevan, lebih baik kita fokus pada evaluasi dan perbaikan sistem agar tidak terjadi pemborosan anggaran dan politik uang. Dengan begitu, demokrasi di Indonesia akan semakin berkualitas dan benar-benar berpihak kepada rakyat.