Putusan MK Wajibkan Pendidikan Dasar Gratis: Program Sekolah Rakyat Perlu Evaluasi Total agar Tak Jadi Kebijakan Tumpang Tindih

Kemarin, seorang rekan wartawan senior meminta tanggapan saya terkait Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan keterkaitannya dengan Program Presiden Prabowo Subianto tentang Sekolah Rakyat. Saya sempat menghubungi rekan tersebut untuk menanyakan inti persoalan yang ingin digali, namun tidak langsung mendapat respons. Baru tadi pagi ia membalas pesan WhatsApp saya. Alhasil, baru hari ini, Sabtu, 31 Mei, saya sempat memberikan jawaban melalui artikel yang saya tulis dengan judul tersebut di atas.
Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)
Sebagaimana kita ketahui bersama, pada 27 Mei 2025 Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan penting yang menegaskan kewajiban negara untuk membiayai pendidikan dasar secara gratis. Keputusan ini tidak hanya berlaku bagi peserta didik di sekolah negeri, tetapi juga mencakup sekolah swasta tertentu yang menjadi alternatif akibat keterbatasan daya tampung sekolah negeri.
Putusan ini memperkuat amanat Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 serta Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Ketentuan dalam Undang-Undang Sisdiknas tersebut menegaskan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan dasar yang sepenuhnya dibiayai oleh negara, baik melalui pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Dalam pertimbangannya, MK menyoroti ketimpangan akses pendidikan dasar yang masih terjadi akibat keterbatasan daya tampung sekolah negeri. Kondisi ini memaksa banyak keluarga miskin menyekolahkan anaknya ke sekolah swasta bukan karena pilihan, melainkan karena terpaksa. Oleh karena itu, tanggung jawab negara dalam pembiayaan pendidikan tidak boleh lagi dibatasi hanya pada sekolah negeri, melainkan juga harus mencakup sekolah swasta yang memenuhi kriteria tertentu.
Namun, MK juga memberikan batasan yang rasional. Sekolah swasta elite, seperti yang menggunakan kurikulum internasional atau berbasis keagamaan spesifik, tidak termasuk dalam kewajiban pembiayaan oleh negara. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pilihan bersekolah di lembaga tersebut merupakan preferensi pribadi, bukan karena keterbatasan akses akibat kurangnya daya tampung di sekolah negeri.
Putusan ini memiliki dampak luas terhadap arah kebijakan pendidikan nasional. Pemerintah pusat maupun daerah harus segera melakukan penyesuaian terhadap alokasi anggaran, dan lainnya di seluruh wilayah Indonesia.
Dalam konteks ini, keberadaan Program Sekolah Rakyat yang menjadi program prioritas Presiden Prabowo Subianto, perlu dikaji ulang secara mendalam. Sekolah Rakyat dirancang sebagai sekolah berasrama penuh bagi anak-anak dari keluarga miskin ekstrem yang terdata dalam Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN).
Program tersebut menggratiskan seluruh kebutuhan hidup peserta didik, mulai dari biaya pendidikan, tempat tinggal, makan, hingga kebutuhan harian lainnya. Pemerintah telah mengalokasikan anggaran awal sebesar Rp10 triliun hingga tahun 2026, dengan pengelolaan infrastruktur oleh Kementerian PUPR dan operasional oleh Kementerian Sosial. Tahap I pembangunan dan renovasi telah dimulai di 100 lokasi pada 63 titik wilayah.
Namun, menyusul putusan MK, urgensi dan relevansi Program Sekolah Rakyat perlu dipertanyakan kembali. Hal ini masuk akal mengingat negara kini diwajibkan membiayai pendidikan dasar secara universal. Dalam konteks tersebut, program yang bersifat terbatas dan tersentralisasi seperti Sekolah Rakyat dikhawatirkan akan mengalami tumpang tindih, baik dari segi fungsi maupun penggunaan anggaran.
Apalagi, efektivitas program ini juga dipertanyakan dari sisi jangkauan dan prinsip keadilan spasial. Sekolah Rakyat yang dibangun sebagai sekolah berasrama justru berpotensi menambah ketimpangan baru karena hanya menjangkau sebagian kecil anak dari keluarga miskin ekstrem. Sementara, jutaan siswa lain di sekolah negeri dan swasta tetap menghadapi persoalan kekurangan fasilitas, guru, hingga kualitas pengajaran yang belum merata.
Secara kebijakan, pendekatan tersentralisasi seperti Sekolah Rakyat juga tidak sejalan dengan semangat desentralisasi pendidikan yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pendidikan dasar merupakan urusan wajib pelayanan dasar yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, dan bukan sepenuhnya dimonopoli pemerintah pusat.
Dengan adanya putusan MK yang mewajibkan negara membiayai pendidikan dasar jenjang SD dan SMP, pemerintah dituntut untuk menjalankannya secara konsisten dan menyeluruh. Konsekuensinya, arah kebijakan pendidikan nasional harus difokuskan pada penguatan sistem pendidikan yang sudah ada. Alih-alih membangun sekolah baru dengan biaya besar namun jangkauan terbatas, anggaran seharusnya difokuskan pada peningkatan kualitas penyelenggaraan pendidikan yang telah berjalan.
Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan pemerintah antara lain melakukan renovasi dan rehabilitasi terhadap sekolah negeri yang rusak atau tidak layak. Selain itu, pengadaan dan pemerataan guru berkualitas, termasuk pelatihan serta peningkatan kompetensi pendidik, juga menjadi kebutuhan mendesak.
Penyediaan fasilitas pendidikan seperti laboratorium, perpustakaan, dan akses terhadap teknologi informasi dan komunikasi juga harus diutamakan di seluruh wilayah, termasuk daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Di samping itu, pemerintah perlu memberikan insentif yang adil dan terukur kepada sekolah swasta yang menerima siswa dari keluarga miskin serta turut menjalankan fungsi layanan pendidikan dasar.
Pendidikan bukanlah proyek pencitraan atau simbol politik. Pendidikan adalah hak dasar warga negara yang dijamin konstitusi dan harus dijalankan sebagai sistem yang adil, merata, dan berkelanjutan. Jika arah kebijakan tidak disesuaikan dengan putusan MK, maka Program Sekolah Rakyat berisiko menjadi kebijakan yang tidak efisien, memboroskan anggaran negara, dan gagal mencapai tujuan keadilan pendidikan.
Sebagai penutup, saya ingin menegaskan bahwa pada prinsipnya, program unggulan Presiden Prabowo Subianto mengenai Sekolah Rakyat adalah ide yang baik dan visioner. Namun, dengan hadirnya Putusan Mahkamah Konstitusi, pemerintah perlu segera melakukan evaluasi total terhadap program tersebut. Semua program lintas kementerian harus diselaraskan dengan amanat konstitusi—baik dari sisi infrastruktur, pengelolaan pendidikan, maupun integrasi dengan data sosial-ekonomi.
Tanpa konsolidasi dan penyesuaian menyeluruh, cita-cita pemerataan pendidikan hanya akan menjadi slogan kosong, dan putusan MK tidak akan memberikan dampak nyata di lapangan. Putusan MK merupakan sinyal kuat bahwa negara tidak boleh abai terhadap tanggung jawab konstitusionalnya dalam menjamin pendidikan dasar yang gratis dan bermutu. Kini saatnya pemerintah berhenti merancang program-program simbolik, dan mulai fokus memperkuat pondasi pendidikan nasional secara substansial, terukur, dan menyeluruh.