Mengapa Jokowi Tak Pernah Menjawab Langsung Polemik Ijazahnya? Sebuah Respons yang Bisa Mencerminkan Kualitas Demokrasi Kita?

JIKA Obama bisa menjawab sendiri tuduhan terhadap dirinya, dan kemudian tetap dipercaya dua periode oleh rakyat Amerika, mengapa Jokowi tidak bisa melakukan hal yang sama terhadap ijazahnya?
Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)
Saya sudah sangat lelah menyaksikan polemik berkepanjangan mengenai dugaan ijazah palsu Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi). Ini adalah tulisan kelima saya tentang isu yang tak kunjung selesai ini.
Tadinya, tulisan saya yang berjudul “Polemik dan Pro Kontra Dugaan Ijazah Palsu Jokowi, Siapa yang Salah : Cara Obama Membuktikan Lahir di Hawaii Patut Dicontoh oleh Presiden ke-7 RI” saya anggap sebagai penutup. Namun, karena perdebatan terus bergulir di ruang publik, saya merasa perlu menulis kembali—bukan untuk memihak, tetapi untuk menagih akuntabilitas langsung dari orang yang paling berkepentingan: Jokowi sendiri.
Sebelumnya, saya menulis pada 7 April 2025 dengan judul “Prabowo atau Guterres: Siapa yang Bisa Tuntaskan Kasus Dugaan Ijazah Palsu Jokowi, ataukah Kasus Ini Akan Terus Menggantung Hingga Akhir Zaman?”, lalu pada 11 April 2025 dengan judul “Perlu Terobosan Hukum dari MK atau MA: Kewajiban Pembuktian Keaslian Ijazah bagi Pejabat dan Mantan Pejabat Publik Harus Berlaku bagi Penuduh dan Tertuduh”, serta 4 Mei 2025 dengan judul “Konsistensi Gelar Jokowi, Dugaan Ijazah Palsu, dan Misteri yang Dijawab oleh Rumput yang Bergoyang?”
Namun hingga kini, satu pertanyaan mendasar masih menggantung di benak publik: Mengapa bukan Jokowi sendiri yang tampil menjelaskan secara terbuka soal keaslian ijazahnya? Mengapa justru UGM dan Bareskrim yang bicara, bukan Presiden ke-7 RI, Jokowi sendiri yang langsung buka suara?
Polemik ini mencuat sejak tahun 2019 ketika warganet Umar Kholid Harahap mengangkat dugaan pemalsuan ijazah. Kemudian Bambang Tri Mulyono membawa kasus ini ke ranah hukum pada 2022 dan dilanjutkan oleh Eggi Sudjana pada 2024. Kendati telah dibantah oleh pihak Universitas Gadjah Mada (UGM) dan diklarifikasi oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri pada April 2025, keraguan di tengah masyarakat tetap belum padam.
Bareskrim Polri secara resmi memastikan bahwa ijazah Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, adalah asli. Kepastian ini disampaikan setelah dilakukan serangkaian penyelidikan menyeluruh dan uji forensik atas laporan dugaan penggunaan ijazah palsu yang dilayangkan oleh Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA). Penyelidikan mencakup verifikasi ijazah mantan Presiden Jokowi mulai dari jenjang Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi di Universitas Gadjah Mada (UGM).
Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim, Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro, menjelaskan bahwa ijazah mantan Presiden Jokowi telah dibandingkan langsung dengan ijazah milik tiga rekan seangkatannya di Fakultas Kehutanan UGM. Hasilnya menunjukkan bahwa seluruh elemen—termasuk map, tinta, jenis kertas, teknik cetak, tanda tangan, dan stempel—terbukti identik dan berasal dari satu produk yang sama. Uji forensik dilakukan oleh Laboratorium Forensik (Labfor) Polri dan menguatkan kesimpulan bahwa ijazah tersebut otentik.
Namun faktanya, karena seluruh klarifikasi disampaikan oleh pihak ketiga, publik justru merasa ada sesuatu yang belum tuntas. Klarifikasi dari UGM dan Bareskrim bersifat administratif dan legalistik. Sementara itu, dimensi etis dan moral dari tuduhan yang dialamatkan kepada Presiden dua periode—2014–2019 dan 2019–2024—tidak pernah direspons secara langsung dan personal oleh yang bersangkutan.
Di sinilah letak perbedaan mendasar dengan cara Presiden Barack Obama merespons isu sensitif terkait keabsahan akta kelahirannya di Amerika Serikat. Ketika Obama dituduh bukan warga negara AS dan dianggap tidak layak menjabat sebagai Presiden, ia tidak bersembunyi di balik institusi. Sebaliknya, ia tampil langsung dan memberikan penjelasan secara terbuka.
Presiden Amerika Serikat yang semasa kecilnya pernah tinggal selama empat tahun di Jakarta, Indonesia, justru tampil langsung dalam konferensi pers dan menunjukkan salinan lengkap akta kelahirannya yang diterbitkan oleh negara bagian Hawaii. Presiden Barack Obama tidak hanya membuka kronologinya secara terbuka, tetapi juga menyindir tuduhan tersebut dengan elegan sebagai gangguan terhadap urusan-urusan besar kenegaraan.
Itulah teladan dari Presiden AS Barack Obama: seorang pemimpin yang memilih menjawab langsung dan tuntas, bukan sekadar lewat klarifikasi yang bersifat legal-formal.
Dalam konteks Indonesia, kita memang tidak menemukan ketentuan hukum yang secara eksplisit mewajibkan Presiden untuk menunjukkan ijazahnya secara terbuka. Namun, aturan hukum mengenai syarat pendidikan tetap ada dan relevan.
Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa syarat-syarat menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur dengan undang-undang. Kemudian dijabarkan dalam Pasal 169 huruf r Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang mewajibkan calon Presiden memiliki ijazah minimal SLTA atau sederajat. Selanjutnya, Pasal 9 huruf r PKPU Nomor 22 Tahun 2018 menetapkan bahwa dokumen pendidikan minimal SLTA atau sederajat adalah salah satu syarat administratif pencalonan yang diverifikasi oleh KPU.
Sayangnya, verifikasi oleh KPU bersifat tertutup dan hanya dilakukan antar lembaga, bukan secara terbuka untuk publik. Akibatnya, ketika muncul kecurigaan baru di kemudian hari, mekanisme hukum yang tersedia mungkin justru tidak memberikan ruang bagi proses pembuktian yang transparan. Bahkan, pengadilan tampaknya—atau setidaknya berpotensi—menolak gugatan-gugatan tersebut sebelum memasuki tahap pembuktian.
Kasus Bambang Tri Mulyono maupun Eggi Sudjana, yang gugatan hukumnya terkait dugaan ijazah palsu Presiden Jokowi ditolak oleh pengadilan, bisa jadi merupakan contoh konkret yang layak dijadikan rujukan atas dugaan tertutupnya ruang pembuktian dalam isu ini.
Publik yang kritis kemudian menelusuri sendiri berbagai detail teknis: bentuk ijazah, jenis huruf, tanda tangan dosen pembimbing, hingga jenis tinta yang dinilai tidak lazim untuk tahun 1980-an. Sebagian mungkin keliru atau terlalu spekulatif. Namun munculnya aneka tafsir itu semestinya dibalas dengan klarifikasi langsung dari Jokowi, bukan hanya melalui institusi.
Dalam demokrasi yang sehat, legalitas tidak cukup tanpa legitimasi moral. Pemimpin tertinggi negara bukan hanya simbol birokrasi, tetapi juga teladan integritas. Ketika Presiden memilih diam atau sekadar menyerahkan jawaban kepada orang lain, publik bisa menafsirkan bahwa ia menghindar. Dan ketika rakyat merasa pemimpinnya bersembunyi, maka kepercayaan mulai runtuh—meskipun secara hukum ia dinyatakan benar.
Yang lebih penting dari itu semua: ini bukan soal hukum semata. Ini soal etika kepemimpinan. Ini bukan soal menyudutkan Jokowi secara pribadi, apalagi membongkar aib. Ini tentang membangun budaya demokrasi yang sehat, di mana transparansi bukan kelemahan, tapi kekuatan. Kepercayaan publik tidak dibangun di ruang sidang atau konferensi pers institusi, tetapi dari keberanian seorang pemimpin untuk tampil dan bicara apa adanya.
Jika Obama bisa menjawab sendiri tuduhan terhadap dirinya, dan kemudian tetap dipercaya dua periode oleh rakyat Amerika, mengapa Jokowi tidak bisa melakukan hal yang sama terhadap ijazahnya? Padahal Jokowi dan Obama juga sama-sama pernah memimpin negara besar selama dua periode.
Jawaban atas pertanyaan itu akan menentukan bukan hanya reputasi pribadi Jokowi, tetapi juga kualitas demokrasi kita sebagai bangsa.