Konsistensi Gelar Jokowi, Dugaan Ijazah Palsu, dan Misteri yang Dijawab oleh Rumput yang Bergoyang?

SEHARUSNYA tidak ada lagi keraguan mengenai keberadaan dan keabsahan gelar Presiden periode 2014-2019 dan 2019-2024 Ir. Joko Widodo (Jokowi).
Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)
Jika kita mengetik kata kunci “Pilwakot Solo 2005” di Google, akan muncul informasi hasil Pilkada Kota Surakarta pada tahun tersebut. Data tersebut menunjukkan bahwa pasangan calon nomor urut 1, Ir. H. Joko Widodo dan H. F.X. Hadi Rudyatmo yang diusung oleh PDI Perjuangan meraih suara terbanyak, yakni 99.961 suara atau sekitar 36,67 persen.
Menariknya, dalam info data resmi itu, nama Joko Widodo sudah tercantum dengan gelar “Ir.” (Insinyur), yang menandakan bahwa ia telah menyandang gelar sarjana kehutanan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) setidaknya sejak sebelum Pilwakot 2005. Gelar tersebut sudah digunakan secara resmi dalam dokumen Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Surakarta.
Konsistensi penggunaan gelar “Ir.” berlanjut dalam Pilwakot Solo 2010, ketika pasangan yang sama kembali memenangkan pemilu dengan perolehan suara 248.243 atau sekitar 90,09 persen. Demikian pula pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2012, dalam pengumuman resmi KPU DKI Jakarta Nomor: 267/KPU-PROV-010/V/2012, nama Ir. H. Joko Widodo kembali tercatat sebagai calon gubernur yang diusung oleh PDI Perjuangan dan Partai Gerindra, berpasangan dengan Ir. Basuki Tjahaja Purnama.
Hingga ke level nasional, pada Pilpres 2014 dan 2019, laman resmi KPU RI tetap mencantumkan nama Joko Widodo dengan gelar “Ir.”. Artinya, sejak awal karier politiknya, dari tingkat lokal hingga nasional, gelar akademik itu digunakan secara konsisten dan diakui dalam dokumen-dokumen resmi negara.
Dengan rangkaian fakta ini, seharusnya tidak ada lagi keraguan mengenai keberadaan dan keabsahan gelar Presiden periode 2014-2019 dan 2019-2024 Ir. Joko Widodo (Jokowi). Namun demikian, polemik kembali mencuat ketika salinan ijazah Jokowi beredar di media sosial. Beberapa pihak menuduh bahwa ijazah tersebut palsu, dengan berbekal analisis terhadap format, tanda tangan, maupun unsur administratif lain yang tampak dalam salinan tersebut. Ironisnya, tuduhan itu tidak dilandaskan pada kajian atas dokumen asli, melainkan semata-mata pada salinan digital yang belum diverifikasi secara resmi.
Dalam konteks ini, saya berpendapat bahwa pihak-pihak yang melontarkan tuduhan terkait dugaan ijazah palsu Sarjana UGM milik mantan Presiden Joko Widodo tidak serta-merta dapat dianggap bersalah. Mereka pada dasarnya hanya merespons informasi yang telah beredar di ruang publik dan melakukan analisis berdasarkan salinan ijazah yang tersedia, sesuai dengan keahlian masing-masing, meskipun keasliannya belum dapat dipastikan secara sah.
Jika pada akhirnya Presiden Jokowi menunjukkan ijazah aslinya dan hasil analisis mereka terbukti keliru, serta ijazah tersebut dinyatakan asli secara hukum dan melalui proses pengadilan, maka barulah mereka dapat dipersalahkan. Namun hingga saat ini, Presiden RI ke-7 Joko Widodo belum secara langsung menunjukkan ijazah aslinya kepada publik. Ketidakhadiran dokumen otentik inilah yang terus memperpanjang kontroversi dan membuka ruang bagi spekulasi yang tak kunjung usai.
Oleh karena itu, saya menyimpulkan bahwa polemik ini sebenarnya bisa diakhiri dengan cara yang sederhana dan elegan. Tidak perlu sampai dibawa ke ranah hukum. Jika sejak awal mantan Presiden Jokowi bersedia menunjukkan ijazah aslinya secara terbuka, maka semua keraguan akan sirna. Prasangka akan gugur, dan yang terpenting, energi bangsa tidak lagi tersita untuk memperdebatkan isu administratif yang sejatinya mudah dibuktikan.
Sayangnya, persoalan ini telah menyeret sejumlah nama ke ranah hukum. Sulit dipercaya bahwa seorang presiden bisa dikaitkan dengan dugaan pemalsuan ijazah, apalagi dari UGM, salah satu universitas terbaik di Indonesia. Dalam setiap pencalonan, baik sebagai wali kota, gubernur, maupun presiden, KPU tentu telah melakukan verifikasi terhadap keabsahan dokumen, termasuk ijazah.
Namun demikian, meskipun telah ada verifikasi resmi, bahkan klarifikasi dari pihak UGM, tuduhan pemalsuan ijazah tetap bergulir. Beberapa orang bahkan harus berhadapan dengan hukum karena isu ini. Bambang Tri Mulyono, penulis buku Jokowi Undercover, serta penceramah Sugi Nur Rahardja (Gus Nur), harus mendekam di penjara usai ditetapkan sebagai tersangka penyebaran ujaran kebencian dan/atau penistaan agama. Mereka dijerat berdasarkan konten video yang diunggah melalui kanal YouTube “Gus Nur 13 Official”.
Di sisi lain, mantan Presiden Jokowi juga telah melaporkan sejumlah pihak yang dianggap menyebarkan tuduhan tak berdasar ke Polda Metro Jaya. Jokowi menyampaikan laporan ini pada Rabu 30 April 2025 dengan menumpangi mobil Toyota Kijang Innova dengan nomor polisi B. 2329 SXL.
Kini, publik menanti akhir dari drama panjang ini. Sebagai mantan pemimpin tertinggi negara, transparansi adalah sebuah keniscayaan. Isu ini bukan sekadar soal hukum, tetapi menyangkut integritas dan kepercayaan publik. Bila terus dibiarkan tanpa penyelesaian yang tuntas, masyarakat akan terus bertanya-tanya tanpa jawaban pasti.
Dan mungkin, pada akhirnya, pertanyaan itu akan tetap menggantung sebagai misteri… yang hanya bisa dijawab oleh “rumput yang bergoyang.” Wallahu a’lam bish shawab.