Perlu Terobosan Hukum dari MK atau MA: Kewajiban Pembuktian Keaslian Ijazah bagi Pejabat dan Mantan Pejabat Publik Harus Berlaku bagi Penuduh dan Tertuduh

MAHKAMAH Konstitusi (MK) atau Mahkamah Agung (MA) perlu didorong untuk menetapkan standar hukum baru
Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)
Pagi tadi, usai berolahraga, saya menerima panggilan telepon dari seorang teman wartawan. Ia bertanya sekaligus meminta pandangan saya terkait isu dugaan ijazah palsu yang melibatkan mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pertanyaannya berkisar pada respons dari berbagai pihak, termasuk dari pihak Jokowi, terhadap tuduhan tersebut yang hingga kini masih menjadi sorotan publik.
Sebelumnya, pada Senin, 7 April 2025, saya menulis sebuah artikel berjudul “Prabowo atau Guterres: Siapa yang Bisa Tuntaskan Kasus Dugaan Ijazah Palsu Jokowi, ataukah Kasus Ini Akan Terus Menggantung Hingga Akhir Zaman?” Tulisan tersebut lahir dari rasa jengah saya terhadap berlarut-larutnya isu dugaan pemalsuan ijazah seorang presiden. Padahal, isu seperti ini sejatinya dapat diselesaikan dengan sangat sederhana, namun justru terus bergulir tanpa arah dan tanpa kejelasan hukum yang tuntas.
Saya menilai bahwa polemik ini telah cukup mengganggu kewarasan publik dalam memilah dan memahami informasi yang seharusnya bersifat transparan serta dapat diakses secara adil oleh seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, saya merasa perlu menulis artikel lanjutan sebagai bentuk kepedulian, sekaligus sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh seorang teman wartawan.
Setelah selesai menunaikan salat Jumat dan memiliki waktu luang, saya langsung menyusun tulisan ini sebagai upaya untuk memberikan pandangan yang jernih dan konstruktif atas isu yang terus bergulir tersebut.
Sebagaimana diketahui, kasus dugaan ijazah palsu Jokowi telah mencuat sejak tahun 2022 dan hingga kini belum menemukan penyelesaian yang benar-benar final. Padahal, Universitas Gadjah Mada (UGM) sudah mengeluarkan klarifikasi resmi yang menyatakan bahwa ijazah Jokowi adalah asli. Pihak kampus menjelaskan bahwa Jokowi masuk kuliah pada tahun 1980 dan lulus pada tahun 1985.
Namun demikian, isu ini tetap hidup dan terus mencuat di ruang publik, bahkan telah masuk ke ranah hukum. Beberapa pihak yang mengajukan tuduhan akhirnya dijerat proses pidana. Meskipun telah ada klarifikasi akademik, ketidakjelasan dalam pembuktian langsung di hadapan publik membuat sebagian masyarakat tetap mempertanyakan keabsahan ijazah tersebut.
Dalam konteks ini, saya berpendapat bahwa demi menjaga integritas dokumen akademik pejabat publik, Mahkamah Konstitusi (MK) atau Mahkamah Agung (MA) perlu melakukan terobosan hukum yang bersifat progresif. Beban pembuktian seharusnya tidak hanya dibebankan kepada pihak penuduh, tetapi juga kepada pihak yang dituduh. Argumentasi ini logis dan relevan, terutama bila menyangkut figur pejabat tinggi negara, baik yang sedang menjabat maupun yang telah purnatugas. Langkah ini penting untuk mencegah fitnah yang terus berulang serta menjaga kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Dalam situasi yang serba tidak pasti ini, Mahkamah Konstitusi (MK) atau Mahkamah Agung (MA) perlu didorong untuk menetapkan standar hukum baru. Diperlukan aturan yang mewajibkan setiap pejabat publik untuk secara terbuka dan transparan menunjukkan bukti keaslian dokumen ijazah apabila muncul dugaan pemalsuan. Pihak-pihak yang berkepentingan perlu mengajukan gugatan atau judicial review terhadap aturan hukum yang ada untuk didaftarkan di lembaga MK atau MA.
Langkah ini bertujuan agar kasus dugaan ijazah palsu dapat diselesaikan dengan tepat dan jernih. Jika tidak ditangani secara tegas dan terang, maka kasus seperti ini akan terus menggantung tanpa kepastian. Lebih dari itu, isu ini berpotensi merusak reputasi bangsa dan menurunkan legitimasi demokrasi secara keseluruhan. Sudah saatnya lembaga peradilan tertinggi di negeri ini bergerak demi menjaga martabat negara dan kewarasan publik.
Hingga hari ini, kasus dugaan ijazah palsu sarjana kehutanan UGM yang dikaitkan dengan Jokowi belum juga menemukan titik akhir, bahkan cenderung mengalami peningkatan eskalasi. Ini tentu menjadi persoalan serius yang memerlukan perhatian semua pihak. Menyelesaikan polemik ini bukan semata tugas pengadilan, tetapi juga tanggung jawab moral pemerintah dan seluruh elemen penegak hukum.
Menanggapi tuduhan tersebut, Jokowi sendiri telah menyatakan bahwa tuduhan itu adalah fitnah yang diulang-ulang tanpa dasar. Ia mengingatkan bahwa UGM telah menegaskan keaslian ijazahnya, dan bahwa rekan-rekan seangkatannya juga mengetahui kebenaran tersebut. Ia pun menyatakan bahwa kewajiban untuk membuktikan ada pada pihak penuduh, bukan pada dirinya sebagai tertuduh.
Namun demikian, dalam praktiknya, jika tidak ada terobosan hukum yang memadai, kasus ini akan terus menggantung tanpa kejelasan. Prinsip hukum menyatakan bahwa untuk membuktikan sebuah ijazah palsu, harus ada ijazah asli sebagai pembanding. Jika ijazah asli tidak pernah diperlihatkan secara langsung kepada publik atau institusi yang netral, maka tidak akan pernah ada kepastian hukum yang memuaskan semua pihak. Hal inilah yang membuat isu ini terus bergulir dan menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat.
Kini, masyarakat terbelah menjadi dua kubu: satu yang meyakini ijazah Jokowi palsu, dan satu lagi yang percaya ijazahnya asli. Oleh karena itu, perlu dicari jalan keluar yang berlandaskan prinsip keadilan dan solusi yang saling menguntungkan (win-win solution). Tujuannya bukan hanya untuk meredakan konflik opini publik, tetapi juga untuk memperkuat prinsip transparansi dalam sistem demokrasi.
Sejatinya, saya memandang bahwa isu dugaan pemalsuan ijazah Jokowi sebenarnya dapat diselesaikan dengan cara yang sangat sederhana. Yang dibutuhkan hanyalah sikap legawa dari Jokowi untuk secara terbuka menunjukkan ijazah aslinya dan bersedia menjalani proses verifikasi melalui mekanisme yang sah, terbuka, dan independen.
Dengan langkah tersebut, kepercayaan publik diyakini dapat segera pulih, dan polemik ini pun akan mereda dengan sendirinya. Namun hingga kini, mantan Presiden Jokowi belum pernah menunjukkan secara langsung ijazah asli sarjana kehutanan dari Universitas Gadjah Mada, sehingga tuduhan dugaan ijazah palsu masih terus mencuat dan belum mereda di tengah masyarakat.
Untuk itu, sebagai solusi paripurna atas persoalan ini, saya kembali menekankan perlunya upaya hukum, baik melalui gugatan atau mekanisme lain, agar Mahkamah Konstitusi (MK) atau Mahkamah Agung (MA) dapat menetapkan standar hukum baru. Aturan hukum yang diharapkan adalah ketentuan yang mewajibkan setiap pejabat publik, termasuk mantan pejabat, untuk secara terbuka menunjukkan bukti keaslian ijazah jika muncul keraguan atau dugaan pemalsuan.
Langkah ini tidak hanya penting untuk menyelesaikan polemik terkait ijazah Jokowi, tetapi juga dapat menjadi preseden hukum yang kuat untuk memperkuat etika, akuntabilitas, dan tanggung jawab pejabat publik di masa depan. Jika memungkinkan, lembaga legislatif seperti DPR RI atau bahkan Presiden juga dapat mendorong lahirnya regulasi baru yang secara khusus mengatur hal ini.
Harapannya, melalui terobosan hukum dan regulasi yang tepat, persoalan ini dapat segera diselesaikan dengan baik, tanpa perlu terus berkepanjangan seperti yang terjadi saat ini.