Klaim Pejabat Gubernur DKI Heru Budi APBD DKI Paling Rendah se-Jawa Tidak Akurat!

Aktivis Senior Jakarta-Sugiyanto (SGY)-Foto-IST

Namun, fakta bahwa APBD DKI Jakarta tetap merupakan yang terbesar di antara provinsi-provinsi di Pulau Jawa tidak hanya dapat dilihat dari perbandingan jumlah anggaran APBD Provinsi lain dan APBD tingkat kabupaten serta kota. 

 

Oleh : Sugiyanto (SGY)
Aktivis Senior Jakarta

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah mencapai persetujuan mengenai Kebijakan Umum Anggaran dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2024 dengan total Rp 81,5 triliun. 

Anggaran ini sedang dalam tahap diskusi dan direncanakan akan diterapkan pada tahun anggaran 2024, dengan proyeksi akhir APBD DKI Jakarta berkisar antara Rp 81-83 triliun.

Banyak pihak menyatakan bahwa APBD DKI Jakarta, yang berkisar antara Rp 81 hingga 83 triliun setiap tahun, tergolong sangat besar. Namun, kontradiktifnya, tingkat kesejahteraan masyarakat Jakarta belum optimal, dengan masih banyak warga miskin dan pengangguran.

Meskipun APBD yang cukup besar ini, Pemerintah Provinsi DKI masih belum mampu atau bahkan belum memprioritaskan untuk menjalankan konstitusi dalam rangka membatu dan memelihara seluruh fakir miskin dan anak terlantar di Jakarta. 

Kendala yang signifikan di Jakarta seperti banjir, kemacetan, permasalahan sampah, polusi udara, kekurangan ruang terbuka hijau, pemukiman liar, dan lainnya masih belum terselesaikan sepenuhnya.

Dalam konteks APBD DKI ini, belum lama ini, Pejabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, mengklaim bahwa APBD DKI Jakarta merupakan yang paling rendah di antara seluruh provinsi di Jawa. Ia juga mempertanyakan fakta bahwa anggaran Jakarta dianggap yang paling besar.

Alasan di balik klaim ini adalah bahwa APBD DKI digunakan untuk seluruh wilayah provinsi, sedangkan Jakarta tidak memiliki APBD untuk tingkat kabupaten atau kota. Heru juga membandingkan APBD DKI dengan APBD Banten.

Pendapat ini sepertinya logis, Heru Budi juga memberikan contoh perhitungan: DKI Jakarta mendapatkan APBD berkisar sebesar Rp 83 triliun, sementara Gubernur Provinsi A, B, C masing-masing mendapatkan APBD sebesar Rp 36 triliun, Rp 30 triliun, dan Rp 24 triliun. Meskipun APBD gubernur lain terlihat lebih kecil, angka tersebut hanya mencakup wilayah provinsi dan belum memasukkan APBD tingkat kabupaten dan kota. 

Jika APBD Provinsi lain dan APBD tingkat kabupaten serta kota dijumlahkan, maka total anggarannya bisa mencapai Rp 136 triliun, sedangkan APBD Provinsi DKI Jakarta hanya Rp 83 triliun. Meskipun pendekatan ini digunakan, Heru merasa bingung dan heran dengan metode perhitungan yang menyebut APBD DKI sebagai yang paling besar. 

Namun, fakta bahwa APBD DKI Jakarta tetap merupakan yang terbesar di antara provinsi-provinsi di Pulau Jawa tidak hanya dapat dilihat dari perbandingan jumlah anggaran APBD Provinsi lain dan APBD tingkat kabupaten serta kota. 

Lebih penting lagi untuk mempertimbangkan ukuran APBD Provinsi dan jumlah penduduk serta luas wilayahnya. Provinsi DKI Jakarta memiliki luas daratan sekitar 661,52 km2 dan wilayah laut seluas 6.977,5 km2 dengan lebih dari 110 pulau tersebar di Kepulauan Seribu. Penduduk DKI Jakarta diperkirakan mencapai 11 juta jiwa.

Jika APBD DKI Rp 83 triliun dibagi dengan 11 juta jiwa penduduk DKI Jakarta, maka setiap jiwa penduduknya memiliki alokasi sekitar Rp 7.545.454,- (Tukuh juta lima ratus empat puluh lima ribu empat ratus lima puluh empat rupiah). Dengan basis inilah pemerintah provinsi dan DPRD DKI Jakarta bisa merancang kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Di sisi lain, untuk Provinsi Banten, luas wilayahnya mencapai 9.662,92 km2 dengan penduduk sekitar 13 juta jiwa. APBD Provinsi Banten sekitar Rp 12 triliun, sementara total APBD 6 Kabupaten dan 4 Kota di Provinsi Banten sekitar Rp 25 triliun. Total APBD se-Provinsi Banten berkisar Rp 37 triliun. 

Jika total APBD Provinsi Banten dan Kabupaten/Kota dibagi dengan jumlah penduduknya, maka setiap jiwa penduduknya memiliki alokasi sekitar Rp 2.846.153,- (Dua juta delapan ratus emat puluh enam ribu seratus lima puluh tiga rupiah). Dengan data ini, pemerintah provinsi dan DPRD DKI Jakarta juga dapat merancang kebijakan untuk kesejahteraan rakyat.

Bandingkan juga dengan APBD Provinsi Jawa Barat yang meliputi 27 Kabupaten dan Kota, dengan penduduk sekitar 49 juta jiwa dan luas wilayah 35.377,76 km2. Total APBD Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten/Kota mencapai sekitar Rp 121 triliun. Jika total APBD Provinsi Jawa Barat dibagi dengan jumlah penduduknya, maka setiap jiwa penduduknya memiliki alokasi sekitar Rp 2.469.387,- (Dua juta empat ratus enam puluh sembilan ribu tiga ratus delapan puluh tujuh rupiah). 

Jika menggunakan metode perbandingan luas wilayah, APBD DKI Jakarta sebesar Rp 83 triliun dibagi dengan luas wilayah 661,52 km² akan menghasilkan alokasi anggaran sebesar Rp 125,46 miliar per km²-nya untuk pengembangan wilayah di Jakarta.

Sementara itu, Provinsi Banten dengan luas wilayah 9.662 km² dan total APBD Rp 37 triliun, akan mengalokasikan dana sebesar Rp 3,82 miliar per km²-nya untuk pembangunan seluruh wilayah provinsi. 

Untuk Provinsi Jawa Barat dengan luas wilayah 35.377,76 km² dan APBD sekitar Rp 121 triliun, alokasi anggaran per km²-nya hanya sekitar Rp 3,4 miliar untuk membangun seluruh provinsi di Jawa Barat.

Dari perbandingan di atas, terlihat bahwa APBD DKI Jakarta tetap menjadi yang terbesar di antara provinsi-provinsi lain di Jawa. Contoh perhitungan APBD Provinsi Banten dan Jawa Barat ini mewakili kondisi di provinsi-provinsi lainnya di Jawa.

Berdasarkan metode perbandingan jumlah APBD dengan jumlah penduduk atau luas wilayah, APBD Provinsi DKI Jakarta tetap yang terbesar di antara provinsi-provinsi lain di Jawa. 

Dengan demikian, pernyataan atau klaim Pejabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono bahwa APBD DKI Jakarta adalah yang paling rendah di antara provinsi di Jawa adalah tidak akurat.

The End