Baik Buruknya Wajah Gubernur DKI Ditentukan oleh Empat Jabatan Strategis serta Para Wali Kota dan Bupati: Banjir, Sampah, ITF-RDF, dan Kemacetan Butuh Perhatian Serius!

KINERJA dan citra Gubernur DKI Jakarta tidak hanya ditentukan oleh sosok gubernur semata, melainkan sangat bergantung pada kualitas dan performa para pejabat strategis di bawahnya
Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)
Sebelum saya melanjutkan artikel ini, perlu saya sampaikan hal berikut:
“Sekretaris Daerah (Sekda) DKI Jakarta, beserta para Asisten Sekda, Badan Kepegawaian Daerah (BKD), dan Inspektorat, memiliki peran yang sangat penting dalam membantu Gubernur menyelesaikan berbagai persoalan krusial di Jakarta. Tanpa dukungan dan keterlibatan aktif dari mereka, mustahil program-program strategis Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat berjalan secara efektif.”
Perlu dipahami bahwa kinerja dan citra Gubernur DKI Jakarta tidak hanya ditentukan oleh sosok gubernur semata, melainkan sangat bergantung pada kualitas dan performa para pejabat strategis di bawahnya. Dalam hal ini, terdapat empat posisi kepala dinas yang sangat menentukan, yakni Kepala Dinas Sumber Daya Air (SDA), Kepala Dinas Perhubungan (Dishub), Kepala Dinas Lingkungan Hidup (KLH), dan Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil.
Selain itu, lima wali kota administrasi dan Bupati Kepulauan Seribu juga memainkan peran penting di wilayah masing-masing sebagai ujung tombak pelayanan publik.
Argumentasi ini berpijak pada fakta bahwa Jakarta secara konsisten menghadapi empat persoalan utama yang belum kunjung terselesaikan, yaitu banjir, kemacetan, sampah, dan urbanisasi. Persoalan-persoalan ini bersifat sistemik dan menjadi tantangan menahun yang dihadapi siapa pun yang menjabat sebagai gubernur. Oleh karena itu, penempatan pejabat yang kompeten, profesional, dan berpengalaman pada posisi strategis tersebut merupakan sebuah keharusan.
Kepala Dinas Sumber Daya Air (SDA) memiliki tanggung jawab besar dalam menangani banjir yang menjadi momok rutin bagi warga Jakarta. Banjir bisa menimbulkan korban jiwa, kerugian ekonomi, dan kerusakan infrastruktur. Jika penanganannya lamban atau tidak efektif, maka sorotan publik akan langsung tertuju pada gubernur. Maka dari itu, kepala dinas ini harus memiliki keahlian teknis yang mumpuni dan kepemimpinan yang sigap dalam mengantisipasi dan merespons ancaman banjir.
Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) menghadapi tantangan besar dalam mengurai kemacetan yang kronis di Jakarta. Padahal, Dishub memiliki anggaran besar yang bersumber dari pajak rakyat. Selama ini kebijakan yang diambil, seperti sistem ganjil-genap, masih belum mampu menyelesaikan akar permasalahan. Solusi inovatif seperti Electronic Road Pricing (ERP) hingga kini belum terimplementasi.
Dengan terus bertambahnya jumlah kendaraan dan tidak diimbangi dengan penambahan jalan, maka krisis lalu lintas akan semakin parah. Jika kepala Dishub tidak mampu merumuskan dan menjalankan strategi transportasi publik yang terintegrasi, maka kepercayaan publik terhadap gubernur akan terus tergerus.
Masalah pengelolaan sampah di Jakarta merupakan tanggung jawab utama Kepala Dinas Lingkungan Hidup. Jakarta menghasilkan sekitar 7.000 hingga 8.000 ton sampah setiap hari, dan sebagian besar masih bergantung pada Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang yang kini telah mendekati kapasitas maksimal.
Proyek Intermediate Treatment Facility (ITF) di Sunter, yang semestinya menjadi solusi alternatif, justru mangkrak meskipun telah menghabiskan dana publik dan dari BUMD yang cukup besar. Sementara itu, proyek Refuse Derived Fuel (RDF) di Rorotan yang menelan anggaran sekitar Rp1,3 triliun juga belum beroperasi karena masih dalam tahap perbaikan teknis. Saat uji coba, RDF bahkan memicu protes warga akibat bau menyengat yang ditimbulkannya.
Hal ini jelas mencerminkan lemahnya perencanaan serta minimnya pelibatan masyarakat dalam pengembangan proyek tersebut.
Harapan agar fasilitas RDF mampu mengolah sekitar 2.500 ton sampah per hari hingga kini belum terealisasi. Lebih ironis lagi, RDF Rorotan gagal diresmikan sesuai dengan Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor e-0001 Tahun 2025 tentang Program 100 Hari Gubernur. Agenda peresmian yang direncanakan pada minggu ke-9 (21–27 April 2025) tidak terealisasi, karena proyek tersebut harus dihentikan sementara untuk evaluasi.
Kegagalan ini jelas mencoreng wajah Gubernur DKI dan menunjukkan bahwa pejabat terkait tidak mampu menjalankan amanah publik.
Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil memegang kendali atas data kependudukan yang merupakan dasar utama bagi perencanaan pembangunan. Urbanisasi yang tidak terkendali akan memperburuk masalah sosial, infrastruktur, dan pelayanan publik. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang adil namun tegas dalam mengendalikan arus penduduk. Jika tidak dikelola dengan baik, maka stabilitas sosial di Jakarta bisa terganggu, dan citra gubernur akan ikut terkena dampaknya.
Tak kalah penting adalah jabatan Kepala Dinas Pertamanan dan Hutan Kota. Meskipun terkesan “lunak”, posisi ini strategis dalam membentuk wajah kota yang hijau dan nyaman. Ruang terbuka hijau tidak hanya memperindah kota, tapi juga memiliki peran ekologis yang besar, mulai dari pengendalian suhu, penyerapan air, hingga kualitas udara. Jika dikelola secara asal-asalan, ruang publik bisa menjadi sumber masalah baru.
Kepala Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan bertanggung jawab terhadap tata ruang kota. Penyalahgunaan ruang, pelanggaran zonasi, dan pembangunan liar menjadi ancaman serius jika tidak dikendalikan. Tata ruang yang buruk dapat merusak wajah kota sekaligus menggerus kredibilitas pemerintah daerah.
Dinas Tenaga Kerja berperan penting dalam menciptakan lapangan kerja dan menjaga stabilitas ekonomi. Dinas Kesehatan wajib memastikan akses layanan kesehatan yang merata dan berkualitas. Dinas Sosial memegang peranan besar dalam menjaga ketahanan sosial masyarakat.
Satpol PP menjadi garda terdepan dalam penegakan aturan di lapangan, sementara Biro Hukum memberikan landasan legal bagi setiap kebijakan.
Semua jabatan tersebut termasuk jabatan lainnya seperti Badan Pendapatan Daerah (BPD), Badan Pengelolaan Aset Daerah (BPAD) dan jabatan lainnya, serta jajaran direksi BUMD, memiliki andil besar dalam menjaga citra dan efektivitas pemerintahan.
Selain dinas-dinas tersebut, peran lima wali kota administrasi dan satu bupati di Kepulauan Seribu juga tak bisa dikesampingkan. Mereka adalah representasi langsung gubernur di wilayah masing-masing dan harus mampu bekerja secara aktif bersama camat, lurah, RW, dan RT. Jika koordinasi ini lemah, maka pelayanan publik tidak akan optimal.
Khusus Kepulauan Seribu, sebagai wilayah terpencil dan unik, memerlukan pengawasan intensif dari Gubernur. Jika tidak, pejabat lokal bisa bertindak semaunya seperti “raja kecil” yang berpotensi menyalahgunakan kekuasaan.
Karena itu, sangat penting untuk menempatkan pejabat yang senior, berpengalaman, cakap, berintegritas, serta memiliki komitmen kuat terhadap pelayanan publik. Mereka harus mampu bekerja secara kolaboratif, komunikatif, dan responsif terhadap berbagai persoalan masyarakat.
Jika tidak memenuhi kriteria tersebut, maka pejabat yang bersangkutan wajib dievaluasi dan, bila perlu, dicopot dari jabatannya. Sistem reward and punishment harus ditegakkan secara tegas dan konsisten. Penempatan pejabat pun harus dilakukan berdasarkan sistem merit, bukan karena faktor kedekatan, kompromi politik, atau kepentingan pribadi.
Langkah awal dalam penyegaran birokrasi dapat dimulai dengan mengevaluasi para pejabat yang telah menjabat lebih dari lima tahun, atau yang terbukti tidak mampu menjalankan tugas dan target kinerjanya. Kebijakan ini sejalan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, serta peraturan pemerintah dan regulasi pelaksana lainnya yang relevan.
Reformasi birokrasi bukan hanya keharusan, tetapi keniscayaan untuk memastikan pelayanan publik berjalan optimal dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan tetap terjaga.
Dalam konteks ini, Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, tidak perlu ragu untuk mengganti pejabat—baik yang baru dilantik kurang dari dua tahun maupun yang telah menjabat lebih dari lima tahun—apabila terbukti memiliki kinerja buruk atau gagal menjalankan tugas dengan baik.
Tindakan ini sepenuhnya dapat dibenarkan secara hukum, selama dilakukan dalam kerangka perbaikan dan peningkatan kinerja birokrasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Pada kesempatan lain, saya akan menguraikan secara rinci dan mendalam mengenai kinerja serta aspek lainnya dari masing-masing jabatan strategis, termasuk posisi-posisi di Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Dalam waktu dekat, saya akan memulainya dari evaluasi terhadap jabatan Kepala Dinas Sumber Daya Air (SDA), Kepala Dinas Lingkungan Hidup (KLH), dan Kepala Dinas Perhubungan (Dishub), lalu dilanjutkan dengan jabatan strategis lainnya, termasuk para pimpinan BUMD di lingkungan Pemprov DKI Jakarta.