Rebranding Bank DKI : Gubernur Pramono Pahami Manajemen Krisis dan Ekuitas Merek, Publik Dukung Jakarta Menuju Kota Global

Foto: IST – Sugiyanto (SGY)-Emik

REBRANDING ini bukan sekadar pergantian nama dan logo, melainkan merupakan langkah strategis dalam proses transformasi menyeluruh untuk memperkuat tata kelola, meningkatkan profesionalisme, serta mendukung posisi Jakarta sebagai kota global

Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)

Sebelum melanjutkan artikel ini, saya ingin menyampaikan hal berikut: “Jika setelah pergantian nama Bank DKI menjadi ‘Bank Jakarta’ masih terus muncul masalah besar, seperti gangguan layanan yang terjadi pada malam takbiran IdulFitri 1446 Hijriah dan beberapa hari sesudahnya, maka sebaiknya Gubernur DKI Jakarta segera melakukan pergantian total terhadap jajaran Direksi dan Komisaris Bank Jakarta. Sebab, salah satu tujuan utama rebranding adalah untuk memajukan kinerja perbankan, bukan justru terus menimbulkan masalah demi masalah.”

Dua hari lalu, pada Minggu, 22 Juni 2025, terdapat hal menarik dalam peringatan Hari Ulang Tahun ke-498 Kota Jakarta. Pada momen tersebut, Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, meresmikan perubahan nama Bank DKI menjadi Bank Jakarta. Rebranding ini bukan sekadar pergantian nama dan logo, melainkan merupakan langkah strategis dalam proses transformasi menyeluruh untuk memperkuat tata kelola, meningkatkan profesionalisme, serta mendukung posisi Jakarta sebagai kota global.

Informasi ini saya peroleh dari pemberitaan tentang kehadiran Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, di Taman Literasi Martha Christina Tiahahu, Blok M, Jakarta Selatan, pada Minggu (22/6/2025). 

Singkat kata, tampak jelas bahwa Gubernur Pramono berharap perubahan ini menjadi bagian dari reformasi besar terhadap manajemen Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) tersebut. Rebranding ini juga merupakan tahap awal dari persiapan Bank Jakarta untuk melantai di bursa saham melalui penawaran umum perdana (Initial Public Offering/IPO) pada tahun 2026.

Dalam kontekks ini saya meyakini bahwa Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, mengambil kebijakan rebranding Bank DKI sebagai respons terhadap gangguan layanan yang terjadi pada malam takbiran Idulfitri 1446 Hijriah dan beberapa hari setelahnya. Berangkat dari permasalahan tersebut, Pramono menggagas rebranding Bank DKI dan menyebut dua opsi nama baru: Bank Jakarta atau Bank Global.

Atas munculnya gagasan rebranding Bank DKI tersebut, dalam hati saya berkata, “Masyarakat Jakarta patut bersyukur memiliki gubernur dan pemimpin yang memahami konsep manajemen krisis dan ekuitas merek.”

Artinya, gagasan rebranding mungkin dapat dimaknai sebagai langkah cepat dan cerdas yang diambil oleh Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, untuk memulihkan kepercayaan publik. Salah satu langkah konkret yang ditempuh adalah menonaktifkan Direktur IT Bank DKI pada saat itu. Keputusan ini diambil karena insiden serupa telah terjadi berulang kali, dan kasus ini merupakan yang ketiga kalinya. Terlebih lagi, persoalan tersebut mencakup dugaan kebocoran data dan dana, yang tergolong sangat serius.

Menurut pandangan saya, gangguan sistem yang terjadi pada malam takbiran dan beberapa hari setelahnya dan lainnya kemungkinan besar dianggap sebagai persoalan yang sangat serius oleh Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung. Oleh karena itu, besar kemungkinan Gubernur Pramono merasa perlu segera mengambil langkah cepat dan tegas, termasuk dengan menggagas rebranding Bank DKI sebagai bagian dari solusi menyeluruh atas permasalahan tersebut.

Dalam konteks tersebut jika tidak sigap bersikap maka boleh jadi  akan muncul hal yang paling dikhawatirkan yakni, menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap Bank DKI. Seperti kita ketahui bersama, bisnis perbankan sangat bergantung pada kepercayaan. Opini negatif, bahkan yang muncul sekilas, dapat menimbulkan efek domino yang fatal, tidak hanya bagi Bank DKI, tetapi juga bisa berdampak pada stabilitas bank-bank lainnya.

Pelajaran Berharga dari Krisis Moneter 19971998

Terkait persoalan perbankan, kita tentu masih mengingat bahwa Indonesia pernah mengalami fenomena rush money pada tahun 1997–1998, saat negara ini dilanda krisis ekonomi yang sangat berat. Kondisi tersebut memicu kepanikan masyarakat dan penarikan dana secara besar-besaran (bank run) dari berbagai bank, sehingga hampir seluruh perbankan nasional mengalami krisis likuiditas yang parah.

Untuk menyelamatkan sistem perbankan, pemerintah bekerja sama dengan IMF dan membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada Januari 1998 melalui Keputusan Presiden No. 27 Tahun 1998. BPPN diberi mandat untuk melakukan restrukturisasi perbankan, menyelesaikan aset bermasalah, serta memulihkan dana negara. Namun, karena kinerjanya dinilai tidak memuaskan, BPPN dibubarkan pada tahun 2004 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.

Sebagai bagian dari upaya penanggulangan krisis, pemerintah dan Bank Indonesia menyalurkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp147,7 triliun kepada 48 bank. Namun, penyaluran BLBI kemudian diduga menjadi skandal besar karena diduga sarat penyimpangan dan penyalahgunaan dana oleh sejumlah pihak penerima.

Masalah lain yang masih hangat dalam ingatan publik adalah kasus Bank Century. Kasus ini menimbulkan pro dan kontra karena melibatkan Bank Century yang tergolong bank kecil. Namun, Sri Mulyani, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), dianggap memiliki peran penting dalam penetapan Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik. Kasus ini kemudian diduga merugikan keuangan negara hingga triliunan rupiah.

Dua contoh kasus di atas menggambarkan bahwa persoalan perbankan yang berkaitan dengan kepercayaan publik dapat menimbulkan dampak luas dan serius, bahkan terhadap stabilitas negara. Oleh karena itu, setiap permasalahan di sektor perbankan yang menyangkut kepercayaan publik harus segera ditangani dengan solusi yang tepat, cepat, dan menyeluruh.

Dalam hal ini, kepercayaan dan respons masyarakat dapat menjadi pintu masuk untuk menyelesaikan masalah. Namun, di sisi lain, hal tersebut juga bisa menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan bisnis perbankan.

Saya ingin mengangkat beberapa contoh terkait kepercayaan dan respons publik melalui narasi-narasi yang mampu menyentak kesadaran dan menggiring opini ke arah yang sulit dikendalikan. Narasi-narasi ini saya sampaikan sebagai penegasan bahwa menjaga kepercayaan publik merupakan fondasi utama bagi keberlanjutan bisnis perbankan

Beberapa narasi tersebut antara lain: “Saat Nasabah Panik, Bank Tak Lagi Berdaya”, “Bank Tidak Bangkrut Karena Uang, Tapi Karena Kepercayaan”, serta “Ketika Uangmu Aman, Sampai Semua Orang Datang Menariknya.” 

Contoh narasi lainnya yang tak kalah menggugah antara lain: “Rush Bank: Ketakutan yang Membunuh Sebelum Neraca Runtuh”, “Daya Tahan Bank Hanya Setipis Keyakinan Nasabah”, “Hancurnya Bank Dimulai dari Bisik-Bisik di Antrian”, dan “Kisah Nyata: Bank Tidak Tumbang Karena Angka, Tapi Karena Rasa Takut.”

Narasi-narasi tersebut menunjukkan bahwa persepsi publik—bukan semata data keuangan—dapat menjadi pemicu utama terjadinya keguncangan. Oleh karena itu, menjaga komunikasi yang jujur, transparan, dan empatik menjadi sama pentingnya dengan menjaga rasio keuangan. Semua ini pada akhirnya bermuara pada satu tujuan: membangun dan mempertahankan kepercayaan publik terhadap industri perbankan.

Langkah Strategis Gubernur Jakarta dan Target 2029 Menuju Kota Global Peringkat 50 Dunia

Munculnya gagasan perubahan nama Bank DKI mendorong saya untuk menduga bahwa Gubernur DKI Jakarta saat itu memiliki pemahaman yang mendalam serta penguasaan yang luas terhadap berbagai bidang, termasuk industri perbankan. Seperti diketahui, Bank DKI merupakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang berada langsung di bawah tanggung jawab Gubernur.

Boleh jadi, gagasan transformasi Bank DKI merupakan pilihan strategis dari Gubernur Pramono Anung untuk mengubah citra Bank DKI, yang saat itu tengah menghadapi berbagai persoalan. Langkah ini mungkin dipilih Gubernur Pramono agar publik dapat memberikan penilaian yang lebih positif terhadap institusi tersebut, yang kini dikenal dengan nama Bank Jakarta.

Rebranding, dalam konteks persoalan besar yang dihadapi sebuah perusahaan, bertujuan untuk memperbaiki citra dan reputasi yang rusak serta menciptakan peluang baru untuk pertumbuhan.
Selain itu, rebranding juga menjadi langkah penting dalam merespons krisis secara cepat dan efektif, guna meminimalkan dampak negatif serta memulihkan kepercayaan publik terhadap perusahaan.

Rebranding sendiri tidak dapat dipisahkan dari konsep ekuitas merek. Keduanya saling berkaitan erat.  Ekuitas merek adalah nilai yang melekat pada suatu merek, yang mencakup persepsi, asosiasi, dan loyalitas pelanggan.

Ketika sebuah perusahaan menghadapi krisis besar, ekuitas merek dapat terdampak serius, menyebabkan penurunan nilai dan daya saing. Dalam hal ini, rebranding bertujuan untuk membangun kembali, bahkan meningkatkan ekuitas merek. Langkah ini perlu dilakukan bersamaan dengan menciptakan persepsi baru yang positif, memperkuat asosiasi merek, dan membangun kembali loyalitas pelanggan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, bukan hanya seorang politisi senior yang sarat pengalaman dalam birokrasi pemerintahan, melainkan juga memiliki pemahaman mendalam tentang persoalan ekonomi, bisnis, dan dunia perbankan, termasuk prinsip-prinsip utama dalam manajemen krisis dan ekuitas merek.
Beruntunglah masyarakat Jakarta memiliki pemimpin seperti Pramono Anung—mantan pengusaha, eks anggota DPR RI, dan mantan Sekretaris Kabinet selama dua periode.

Kini, masyarakat Jakarta menaruh harapan besar kepada Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, agar di bawah kepemimpinannya, Kota Jayakarta—yang sejak 22 Juni 1527 menjadi cikal bakal Jakarta dan baru saja merayakan Hari Ulang Tahun ke-498—dapat semakin maju menuju status kota global.

Gubernur menargetkan agar Jakarta masuk dalam 50 besar kota global dunia pada tahun 2029. Saat ini, Jakarta menempati peringkat ke-74 dari 156 kota, berdasarkan laporan Global City Index 2024.

Survei Litbang Kompas pada 10–14 Juni 2025 terhadap 400 warga Jakarta menunjukkan bahwa kota ini memiliki modal sosial yang kuat untuk mencapai target tersebut. Sebanyak 87,9 persen responden menyatakan dukungan terhadap arah pembangunan Jakarta sebagai kota global, meskipun tidak lagi menyandang status ibu kota negara.

Publik juga berharap Gubernur Pramono Anung mampu mewujudkan keadilan sosial dan meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat Jakarta. Sebab, keberhasilan sebuah kota global tidak semata-mata diukur dari kemegahan fisik, melainkan dari kualitas hidup dan kesejahteraan yang dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.

Sebagai penutup, saya meyakini bahwa di bawah kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung, hasil survei Litbang Kompas yang menunjukkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap upaya mengatasi ketimpangan ekonomi—yang saat ini baru mencapai 33,3 persen—akan mampu dibalik, menjadi tingkat kepuasan yang mencapai 66,7 persen.