Pajak Olahraga di Jakarta: Solusi PAD atau Beban Baru Masyarakat?

Mengingat dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkan, kebijakan ini perlu diimbangi dengan pendekatan yang lebih adaptif. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Badan Pendapatan Daerah semestinya mempertimbangkan klasifikasi yang lebih rinci terhadap jenis dan tujuan penggunaan fasilitas olahraga
Pengenaan pajak atas jasa persewaan fasilitas olahraga di Jakarta, termasuk olahraga yang sedang naik daun seperti padel, menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Kebijakan ini tertuang dalam Keputusan Kepala Bapenda DKI Jakarta Nomor 257 Tahun 2025 yang menetapkan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) sebesar 10 persen terhadap penggunaan fasilitas olahraga yang dikomersialkan.
Ketentuan itu merupakan tindak lanjut dari Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), yang pada dasarnya mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Secara hukum, kebijakan ini sah karena sesuai dengan Pasal 49 ayat (1) huruf i Perda PDRD, yang menyebutkan bahwa olahraga permainan dengan menggunakan tempat atau peralatan tertentu termasuk dalam kategori jasa kesenian dan hiburan. Artinya, fasilitas seperti lapangan padel, futsal, basket, hingga tempat yoga dan gym kini menjadi objek pajak hiburan, tanpa membedakan tujuan penggunaan—apakah untuk hiburan murni, rekreasi, kesehatan, atau pembinaan.
Namun, ketentuan tersebut dikecualikan untuk Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata bertujuan mempromosikan budaya tradisional tanpa dipungut bayaran, kegiatan layanan masyarakat tanpa dipungut bayaran, serta kegiatan kesenian dan hiburan lainnya yang tidak dipungut bayaran.
Di satu sisi, pajak daerah adalah instrumen penting untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan semakin populernya olahraga seperti padel, peluang fiskal dari sektor ini tentu menjanjikan. Namun, pengategorian seluruh fasilitas olahraga sebagai jasa hiburan menimbulkan pertanyaan, terutama jika aktivitas tersebut memiliki dimensi pembinaan atletik, rekreasi keluarga, atau gaya hidup sehat yang justru sejalan dengan tujuan pembangunan masyarakat.
Penerapan kebijakan ini secara langsung memengaruhi dua pihak utama: masyarakat pengguna dan pelaku usaha pengelola fasilitas olahraga. Bagi masyarakat, adanya tarif pajak 10 persen dapat mendorong kenaikan biaya sewa lapangan, karena pengelola kemungkinan besar akan membebankan beban pajak tersebut kepada pengguna akhir. Hal ini berpotensi membuat olahraga tertentu menjadi lebih mahal dan eksklusif, sehingga akses kalangan menengah ke bawah terhadap fasilitas olahraga menjadi terbatas.
Bagi pengelola atau pelaku usaha, terutama usaha kecil dan menengah, penerapan pajak ini menimbulkan dilema. Mereka harus memilih antara menyerap pajak demi menjaga harga tetap kompetitif, yang akan menggerus margin keuntungan, atau meneruskan beban pajak kepada pelanggan, yang bisa berdampak pada penurunan okupansi. Dalam jangka panjang, kedua skenario ini dapat menghambat pertumbuhan usaha lokal yang sedang berkembang di sektor kebugaran dan olahraga rekreatif.
Mengingat dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkan, kebijakan ini perlu diimbangi dengan pendekatan yang lebih adaptif. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Badan Pendapatan Daerah semestinya mempertimbangkan klasifikasi yang lebih rinci terhadap jenis dan tujuan penggunaan fasilitas olahraga. Misalnya, fasilitas yang digunakan untuk pembinaan atlet muda, kegiatan komunitas, atau program kesehatan masyarakat bisa diberikan insentif atau tarif pajak yang lebih rendah. Hal ini penting agar semangat berolahraga tidak luntur hanya karena kendala biaya.
Selain itu, dibutuhkan upaya sosialisasi yang memadai kepada pelaku usaha dan masyarakat mengenai dasar hukum, tujuan, serta mekanisme penerapan pajak ini. Keterbukaan informasi akan mencegah kesalahpahaman dan meningkatkan kepatuhan. Pemerintah daerah juga perlu melakukan evaluasi berkala terhadap implementasi kebijakan ini, dengan memperhatikan data okupansi fasilitas olahraga, keluhan masyarakat, serta dampaknya terhadap gaya hidup aktif warga Jakarta.
Pengenaan pajak pada jasa persewaan fasilitas olahraga memang dapat menjadi sumber PAD yang signifikan, namun pelaksanaannya harus mempertimbangkan aspek keadilan dan aksesibilitas. Olahraga bukan semata hiburan; ia adalah bagian dari kebutuhan dasar masyarakat modern untuk hidup sehat, produktif, dan terhubung secara sosial.
Menyatukan kepentingan fiskal daerah dengan tujuan pembangunan manusia adalah tantangan yang harus dihadapi dengan cermat dan kolaboratif. Pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat harus bersama-sama mencari titik temu agar kebijakan ini tidak menjadi penghalang, melainkan jembatan menuju Jakarta yang lebih sehat dan sejahtera.
The End.