Antara Kemarahan Presiden Prabowo dan Kehati-hatian Gubernur Pramono terhadap BUMD PT FSTJ

MERESPON dugaan keterlibatan PT Food Station Tjipinang Jaya, saya menekankan pentingnya langkah konkret dan tegas dari Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung
Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)
Kasus dugaan pengoplosan beras yang melibatkan berbagai pihak, termasuk BUMD DKI Jakarta, PT Food Station Tjipinang Jaya (FSTJ), hingga kini masih terus bergulir. Informasi terbaru menyebutkan bahwa Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, telah memanggil jajaran direksi PT FSTJ.
Langkah tersebut diambil menyusul kecaman keras dari Presiden RI, Prabowo Subianto, terhadap praktik pengoplosan beras yang diduga merugikan negara hingga Rp99 triliun. Presiden Prabowo menyebut praktik tersebut sebagai bentuk pengkhianatan terhadap bangsa dan menyatakan akan menyita penggilingan padi milik para pelaku.
Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian (KPKP) DKI Jakarta menyatakan bahwa PT Food Station tidak pernah melakukan praktik pengoplosan beras. Meski demikian, Gubernur Pramono merasa perlu memanggil manajemen perusahaan untuk meluruskan isu yang berkembang dan memastikan adanya transparansi.
Atas permintaan teman-teman wartawan untuk menanggapi masalah ini, pada 17 Juli 2025 saya menulis artikel berjudul “Dugaan Pengoplosan Beras: Gubernur Pramono Perlu Segera Nonaktifkan Pimpinan PT FSTJ dan Jalankan Tujuh Langkah Penting!” Artikel tersebut menekankan pentingnya tindakan tegas dari kepala daerah dalam menghadapi persoalan serius ini.
Aktivis senior, Senator ProDEM, sekaligus Co-Founder Lembaga Advokasi Pangan Nusantara (LAKPAN), Standarkiaa Latief—yang akrab saya panggil Bang Standarkiaa—turut merespons dengan keras. Ia menegaskan bahwa persoalan ini harus ditangani dengan integritas dan keberanian politik.
Kasus ini mencuat ketika Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, sedang menjalankan tugas di Amerika Serikat dari tanggal 14 hingga 20 Juli 2025. Meskipun saat itu Gubernur tengah berada di luar negeri, kini ia telah kembali dan langsung mengambil langkah sesuai porsinya.
Awal mula kasus ini diungkap oleh Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman, yang menjelaskan bahwa investigasi dilakukan selama 18 hari, dari 6 hingga 23 Juni 2025. Berdasarkan pemeriksaan di 13 laboratorium di 10 provinsi, ditemukan bahwa 85,56 persen beras premium tidak memenuhi standar mutu, 59,78 persen dijual di atas harga eceran tertinggi (HET).
Selain itu, sebanyak 21 persen beras tidak sesuai dengan berat kemasan. Bentuk kecurangan yang ditemukan antara lain berupa pengemasan ulang beras curah sebagai beras premium serta pengurangan berat bersih dari lima kilogram menjadi hanya 4,5 kilogram.
Kondisi untuk beras medium bahkan lebih buruk: 95,12 persen dijual melebihi harga eceran tertinggi (HET), dan 9,38 persen bermasalah dalam takaran. Menteri Amran menegaskan bahwa praktik-praktik semacam ini sangat merugikan masyarakat.
Hasil investigasi tersebut kemudian dilaporkan kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Jaksa Agung ST Burhanuddin, dengan temuan bahwa 212 merek beras diduga terlibat dalam praktik pengoplosan. Temuan ini merupakan hasil investigasi bersama berbagai pemangku kepentingan terhadap 268 sampel beras dari sejumlah daerah.
Terkait hal ini, Gubernur Pramono Anung menyampaikan bahwa dirinya telah berkomunikasi langsung dengan Menteri Pertanian untuk memastikan semua temuan diungkap secara transparan dan ditindak sesuai hukum. Ia menegaskan bahwa PT Food Station memiliki peran vital dalam menjaga stabilitas harga pangan, khususnya beras, di wilayah DKI Jakarta. Karena itu, keterbukaan dan akuntabilitas sangat penting dalam menyikapi dugaan keterlibatan perusahaan ini.
Respons sangat keras juga datang dari orang nomor satu di negeri ini. Presiden Prabowo Subianto secara terbuka menyampaikan kemarahannya di hadapan publik. Ia menilai praktik pengoplosan beras sebagai bentuk pengkhianatan terhadap negara dan menegaskan bahwa para pelaku hanya memiliki dua pilihan: mengembalikan kerugian negara sebesar Rp100 triliun atau menghadapi penyitaan aset serta proses hukum yang tegas.
Dalam konteks ini, Menteri Pertanian mengungkapkan bahwa 26 dari 212 merek beras yang diperiksa telah mengakui melakukan praktik pengoplosan, sebagaimana tercantum dalam laporan Kepolisian dan Kejaksaan Agung. Temuan ini mencuat di tengah anomali harga beras: harga di tingkat petani justru menurun, sementara di tingkat konsumen mengalami kenaikan, meskipun produksi nasional meningkat sebesar 14 persen dan mencatat surplus hingga tiga juta ton.
Kejaksaan Agung memperkirakan kerugian masyarakat mencapai Rp99 triliun. Temuan serupa diperoleh oleh Satgas Pangan dan Kementerian Perdagangan, yang menunjukkan hanya satu dari sepuluh sampel beras yang lolos uji mutu.
Sejumlah produsen telah menarik produknya dari peredaran dan menyatakan komitmen untuk memperbaiki standar mutu ke depan. Pemerintah mencatat adanya peningkatan kesadaran di kalangan produsen untuk tidak lagi menjual beras di luar ketentuan mutu.
Merespons dugaan keterlibatan PT Food Station Tjipinang Jaya, saya menekankan pentingnya langkah konkret dan tegas dari Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung. Salah satu langkah yang saya usulkan adalah menonaktifkan sementara jajaran direksi dan dewan pengawas PT FSTJ. Hal ini perlu dilakukan agar proses investigasi berjalan objektif, tanpa intervensi internal.
Namun demikian, keputusan akhir sepenuhnya berada di tangan Gubernur. Dalam konteks ini, saya menilai Gubernur Pramono Anung akan mengambil langkah yang bijaksana, yakni menunggu hasil pemeriksaan dari pihak Kepolisian dan Kejaksaan sebelum menetapkan keputusan tegas terhadap direksi, komisaris, maupun pihak terkait lainnya. Dalam hal ini, tampaknya Gubernur Pramono tetap mengedepankan prinsip praduga tak bersalah hingga ada hasil resmi dari aparat penegak hukum.