Polemik Putusan MK: Wewenang MPR dan Opsi Amandemen Gubernur Ditunjuk Presiden, Partai Penyeimbang, hingga Kembali ke UUD 1945 Asli

Foto-IST-Sugiyanto (SGY)-Emik

PUTUSAN Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 telah menimbulkan kerumitan konstitusional yang serius, dan hanya dapat diselesaikan melalui forum tertinggi dalam perubahan hukum

Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)

Ini mungkin menjadi tulisan terakhir saya mengenai polemik Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024. Sebelum melanjutkan artikel ini, izinkan saya menyampaikan satu hal penting:

“Hanya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang berwenang menyelesaikan polemik Putusan MK yang terkait dengan perubahan norma dalam konstitusi, bukan DPR maupun Pemerintah. Terbuka berbagai opsi, mulai dari penunjukan gubernur oleh Presiden, pembentukan partai penyeimbang, hingga wacana kembali ke UUD 1945 yang asli.”

Sebelumnya, saya juga telah menulis sejumlah artikel yang membahas persoalan ini, termasuk artikel terakhir yang terbit pada 14 Juli 2025 berjudul:
“Menimbang Asas Keadilan dan Kemanfaatan dalam Menyikapi Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024.”

Dalam tulisan tersebut, saya menyarankan agar DPR dan Pemerintah tidak melaksanakan putusan MK tersebut dengan pendekatan berbasis asas keadilan dan kemanfaatan, karena potensi konflik hukum dan politik yang besar. Putusan tersebut, menurut saya, berisiko menimbulkan jalan buntu (deadlock) bahkan gejolak politik berkepanjangan.

Sebagaimana diketahui, Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 memisahkan Pemilu Legislatif tingkat lokal atau daerah (DPRD) dan Pilkada dari Pemilu Nasional, serta menetapkan bahwa pelaksanaannya dilakukan paling singkat dua tahun dan paling lama dua setengah tahun setelah Pemilu Nasional tahun 2029. Pemilu Nasional sendiri hanya akan memilih anggota DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden.

Implikasi dari putusan ini bukan sekadar teknis administratif, tetapi menyentuh aspek konstitusional secara serius. Pasalnya, DPRD merupakan bagian dari struktur pemilu nasional lima tahunan sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Dengan kata lain, putusan ini membuka celah inkonstitusionalitas terhadap siklus pemilu yang telah ditetapkan konstitusi.

Dalam hampir semua artikel saya sebelumnya, saya cenderung menolak putusan ini karena dinilai berpotensi melanggar konstitusi dan mencederai prinsip kedaulatan rakyat. Mahkamah Konstitusi dalam hal ini, tampaknya telah membentuk norma baru yang secara fungsional menyerupai kewenangan pembentuk undang-undang. Padahal, tugas MK seharusnya terbatas pada menafsirkan hukum, bukan membentuk norma hukum baru.

Memang harus saya akui bahwa setiap putusan MK terkait uji materi undang-undang terhadap UUD 1945 pada akhirnya akan melahirkan norma baru. Namun, seharusnya norma tersebut tidak bertentangan atau berpotensi melanggar konstitusi itu sendiri.

Namun di sisi lain, saya juga menilai putusan ini dapat menjadi pembelajaran penting bagi anggota DPR yang sebelumnya diam dan pasif ketika MK juga mengabulkan permohonan terkait batas usia pencalonan presiden/wakil presiden. Imbas dari putusan tersebut memungkinkan Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, maju sebagai calon wakil presiden pada Pilpres 2024 mendampingi Prabowo Subianto.

Terlepas dari persoalan di atas, saya kemudian menyadari bahwa pelaksanaan Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 adalah hampir mustahil secara konstitusional. Kita kini dihadapkan pada situasi buah simalakama: jika DPR dan Pemerintah tidak menjalankan putusan MK, maka dianggap melanggar prinsip final and binding dari putusan MK.

Ketentuan tentang hal tersebut tertuang dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020.

Namun jika putusan tersebut dijalankan, maka ada potensi pelanggaran terhadap Pasal 22E UUD 1945 yang mengatur bahwa pemilu dilakukan secara serentak setiap lima tahun untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD.

Beberapa pihak mengusulkan solusi berupa pemilu sela untuk DPRD yang masa jabatannya hanya 2,5 tahun. Namun, konsep ini tidak memiliki dasar konstitusional yang sah. Tidak ada satu pun norma dalam UUD 1945 yang mengenal istilah “pemilu sela” atau “pemilu sementara” untuk DPRD. Masa jabatan DPRD telah ditentukan konstitusi selama lima tahun.

Dengan begitu, meski menggunakan istilah baru atau mekanisme alternatif, pelaksanaan pemilu DPRD di luar siklus lima tahunan tetaplah berisiko melanggar konstitusi.

Hanya MPR yang Berwenang Mengubah Konstitusi, Bukan MK, DPR, Presiden, atau Lembaga Lainnya

Potensi munculnya berbagai persoalan akibat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 memang menyerupai benang kusut—rumit, ruwet, dan membuat kepala penat. Namun, seberapa kusut pun benang itu, tetap harus diurai satu per satu demi menemukan jalan keluar.

Oleh karena itu, satu-satunya solusi yang sah, konstitusional, dan tepat adalah melalui perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR.

Perubahan konstitusi dapat dilakukan secara terbatas untuk merespons putusan Mahkamah Konstitusi, atau diperluas hingga mencakup kewenangan MPR dalam mengambil keputusan terkait usulan agar gubernur ditunjuk oleh Presiden. Namun, secara pribadi saya dengan tegas menolak gagasan penunjukan gubernur oleh Presiden, karena hal tersebut bertentangan dengan prinsip bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, dan suara rakyat adalah suara Tuhan.

Selain itu, gagasan untuk kembali ke UUD 1945 dalam bentuk aslinya juga dapat dibahas dan dipertimbangkan oleh MPR. Seluruh pandangan tersebut—baik terkait perubahan konstitusi maupun usulan untuk kembali ke naskah asli UUD 1945, serta isu-isu relevan lainnya—merujuk pada ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa:

“Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.”

Harus diakui bahwa masih banyak hal dalam Konstitusi kita yang perlu diubah agar sesuai dengan kondisi dan dinamika demokrasi modern saat ini. Salah satu contohnya adalah perlunya aturan mengenai keberadaan partai penyeimbang di DPR, sehingga tidak seluruh partai tergabung dalam koalisi pemerintahan yang sedang berkuasa.

Pada dasarnya, putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan solusi atas berbagai persoalan yang muncul pasca amandemen UUD 1945. Ketika MPR saat itu sepakat untuk mengubah Konstitusi, berbagai masalah yang kini timbul belum sepenuhnya dapat diprediksi. Oleh karena itu, kini menjadi relevan untuk mempertimbangkan perubahan kembali terhadap beberapa ketentuan tersebut.

Salah satu persoalan yang mencuat adalah terkait sistem dan pelaksanaan pemilu. Isu mengenai koalisi partai di parlemen dengan pemerintah juga perlu mendapat perhatian serius. Koalisi mayoritas antara partai pemenang pemilu di parlemen dan pemerintah berpotensi melemahkan fungsi legislatif. Oleh karena itu, persoalan ini penting untuk dimasukkan dalam pembahasan perubahan atau amendemen konstitusi.

MPR adalah lembaga negara yang terdiri dari anggota DPR dan DPD sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945. Meskipun kini tidak lagi disebut sebagai lembaga tertinggi negara, MPR tetap merupakan lembaga pelaksana kedaulatan rakyat karena anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

Sesungguhnya, kedudukan MPR memiliki posisi strategis yang mencerminkan kehendak rakyat, bahkan dapat dianggap berada di atas lembaga-lembaga negara lainnya, termasuk Presiden. Oleh karena itu, wajar apabila penyelesaian terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi dipertimbangkan melalui kewenangan MPR.

Secara lebih rinci, kewenangan MPR juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019. Pasal 4 UU tersebut menyatakan bahwa MPR berwenang:

a. Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dengan dasar kewenangan ini, hanya MPR yang memiliki otoritas untuk melakukan perubahan norma konstitusi—jika memang dikehendaki—guna mengakomodasi konsekuensi dari Putusan MK 135/PUU-XXII/2024. Tanpa langkah konstitusional melalui MPR, DPR dan Pemerintah tidak akan memiliki landasan hukum yang sah untuk mengabaikan atau melaksanakan putusan MK tersebut.

Kesimpulannya, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 telah menimbulkan kerumitan konstitusional yang serius, dan hanya dapat diselesaikan melalui forum tertinggi dalam perubahan hukum, yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam kapasitasnya untuk melakukan perubahan terbatas terhadap UUD 1945.

Bahkan, jika dipandang perlu, MPR dapat mengubah ketentuan lain dalam konstitusi yang relevan—termasuk mengambil keputusan untuk kembali ke UUD 1945 dalam naskah aslinya.

Upaya di luar jalur tersebut berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum dan krisis konstitusional yang membahayakan sistem demokrasi kita.