Usulan Hak Angket Terkait Pemilu Diduga Sebagai Bagian Dari Upaya TSM Untuk Menjegal dan Menggagalkan Keterpilihan Prabowo-Gibran

Capres dan Cawapres Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka-Foto-INT/IST

Kemungkinan tujuannya adalah sebagai bagian dari upaya terstruktur, sistematis, dan masif atau TSM, untuk menjegal dan menggagalkan keterpilihan Prabowo-Gibran.

Oleh  : Sugiyanto (SGY)-Emik
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (Hasrat)

 

Serangan terus dilancarkan terhadap Prabowo-Gibran oleh lawan politik, mulai dari wacana pemakzulan Presiden Joko Widodo, hoaks terkait Prabowo yang diduga korupsi pembelian jet tempur dari Qatar, film "Dirty Vote," hingga usulan hak angket di DPR.

Semua serangan tersebut diatas diduga kuat merupakan upaya terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) untuk menjegal dan menggagalkan keterpilihan Capres dan Cawapres Nomor Urut 2, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

Terkait wacana pemakzulan Jokowi muncul setelah putusan Mahkamah Konstitusi mengenai batas usia capres-cawapres, dengan hak angket menjadi isu potensial. Dorongan pemakzulan terus berlanjut, dan menjelang akhir kampanye Pemilu 2024, termasuk Pilpres, muncul lagi keinginan untuk memakzulkan Jokowi. 

Kali ini, munculnya wacana pemakzulan Jokowi dipicu oleh pernyataan Jokowi yang menyatakan bahwa Presiden boleh berkampanye. Padahal, pernyataan tersebut hanya merujuk pada aturan Undang-Undang, dan ingin dijadikan dasar pemakzulan. Dampak wacana pemakzulan Jokowi diharapkan bisa memengaruhi Pilpres 2024 dengan hasil, Prabowo dan Gibran kalah.

Memasuki masa tenang Pemilu 2024, Capres Prabowo menghadapi serangan hoaks. Ini mencakup penyebaran video dan berita palsu tentang dugaan penerimaan suap sebesar 20 juta Dolar AS. Asalnya, dari komisi sekitar 7 persen, sekitar 55,4 juta Dolar AS, yang disinyalir digunakan untuk mendanai kampanye presiden Prabowo. Hal ini jelas licik dan jahat, karena rencana pembelian Pesawat Mirage 2000-5 bekas dari Qatar, sudah dibatalkan.

Selain itu, Film "Dirty Vote" dikeluarkan pada periode atau masa tenang menjelang pencoblosan pada 14 Februari 2024. Film ini diklaim sebagai pengungkapan kecurangan dalam proses Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 oleh pemerintahan Jokowi. Meskipun tujuan film ini diduga untuk membuat Capres Prabowo kalah, hasil quick count dari berbagai lembaga survri menunjukkan Prabowo unggul atas Capres Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo.

Saat ini, sementara rakyat menunggu pengumuman resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), muncul tuduhan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) terkait kecurangan dalam Pemilu 2024. Capres Ganjar Pranowo mengusulkan hak angket di DPR, didukung oleh Capres Anies Baswedan. 

Kontroversi mengenai angket Pemilu 2024 kini menciptakan perdebatan panjang di masyarakat dan berpotensi memicu ketegangan politik yang signifikan, setidaknya dalam jangka pendek.

Harus diakui, hak angket merupakan hak penyelidikan DPR, yang dapat digunakan untuk meminta pertanggungjawaban KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkait Pemilu, termasuk terhadap pemerintah, dan Presiden Jokowi. Namun sepertinya kurang relevan untuk urusan terkait tuduhan kecurangan Pemilu, karena ada lembaga Mahkamah Konstitusi (MK). 

Selain itu, usulan hak angket terkait Pemilu memuncul kekhawatiran lain, yakni bisa menyebabkan pemakzulan Presiden Jokowi, dengan dugaan terlibat dalam Pilpres 2024. Padahal Presiden Jokowi tidak melakukan kampanye untuk mendukung siapapun dalam Pemilu 2024, termasuk Pilpres.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa usulan hak angket di DPRD terkait kecurangan Pemilu TSM diduga memiliki motif politis, mirip dengan dugaan hoaks korupsi pembelian jet tempur dari Qatar dan Film "Dirty Vote." Kemungkinan tujuannya adalah sebagai bagian dari upaya terstruktur, sistematis, dan masif atau TSM, untuk menjegal dan menggagalkan keterpilihan Prabowo-Gibran.

Sejatinya, dalam konteks perjuangan untuk meraih kemenangan dalam Pemilu 2024, termasuk Pilpres, adalah hal wajar menggunakan strategi menyerang untuk menjegal atau menggagalkan lawan politik. Namun, setelah pemilu selesai dan rakyat telah menentukan pilihan, penting untuk dihormati oleh semua pihak.

Persoalan Pemilu diatur oleh Konstitusi (UUD45) dan peraturan perundang-undangan lainnya. Ada aturan saksi pidana yang dapat ditindaklanjuti oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan pihak Kepolisian. Terkait sengketa perselisihan tentang hasil pemilu yang mencakup tuduhan kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), penyelesaiannya berada di MK, bukan melalui usulan hak angket di DPR.

Dengan demikian, wajar jika rakyat menduga kuat, bahwa usulan hak angket bertujuan menjegal dan menggagalkan keterpilihan Prabowo-Gibran, terutama karena ini muncul pertama kali pada Pemilu 2024. 

Penting untuk dicatat bahwa dalam setiap Pemilu sebelumnya, Prabowo, meskipun mengalami kekalahan, memilih jalur konstitusional dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi, bukan menggunakan hak angket DPR. 

Ini memperkuat dugaan bahwa usulan hak angket DPR dapat dianggap sebagai langkah politis untuk terus menjegal dan menggagalkan keterpilihan Prabowo-Gibran. Kesimpulan ini merujuk pada kewenangan MK yang diamanatkan oleh Konstitusi, yaitu memutus sengketa perselisihan tentang hasil pemilihan umum, termasuk mencakup tuduhan kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

 

The End.