Putusan Kasasi Keluar, Lenny Gunarti Hidayat kembali Kuasai Tanah Waris

Lokasi tanah ahli waris Lenny Gunarti Hidayat di Jalan Batu Tulis, No. 40-40A, Kel. Kebon Kelapa, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat.(ist)

Jakarta,Dekannews - Ahli Waris almarhum Suryadi Hidayat, Lenny Gunarti Hidayat, kini bisa bernapas lega. Setelah menempuh 48 tahun berperkara hukum, tanah waris miliknya di Jalan Batu Tulis, No. 40-40A, Kel. Kebon Kelapa, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat, dapat dikuasainya kembali.

Kepastian hak atas tanah miliknya itu setelah keluar Putusan Kasasi No.2588K/Pdt/2023 tanggal 5 Oktober 2023. Putusan itu memperkuat Putusan PK No. 558PK/Pdt/2014 tanggal 28 Agustus 2015, yang mana diantara Amar Putusannya menyatakan, "Penggugat sebagai yang paling berhak atas tanah seluas 833 M² terletak di Jl. Batu Tulis No.40-40A. Kel. Kebon Kelapa, Kec. Gambir, Jakarta Pusat, dan "memerintahkan kepada tergugat III (untuk memberikan tanpa bukti hak milik atas tanah kepada penggugat".

Tergugat III adalah Kantor Pertanahan Kota Madya Jakarta Pusat.

Firdaus yang bertindak sebagai kuasa hukum Lenny Gunarti Hidayat, menyebut, berdasarkan Penetapan DAFT No.52.Eks/2018/PN.Jkt.Pst Tanggal 19-01-2019 sebetulnya akan dilaksanakan Eksekusi atas obyek eksekusi tersebut. "Namun terpaksa harus ditunda karena ada Perlawanan dari Moe Yunny Raharja, yang memposisikan sebagai Pihak Ketiga (Derden Verzet) dengan Perkara No. -406/ Pdt.G.Bth/ 2019/ PN.Jkt Pst," kata Firdaus kepada awak media, Rabu (22/11/2023).

Dengan mengandalkan bukti SHM No.888/Kebon Kelapa Tanggal 16 Mei 2015, Pelawan (Moe Yunny Raharja dalam pokok inti tuntutannya minta Pengadilan untuk menyatakan Putusan MA No.558PK/-PDT/ 2014 tanggal 28-08-2015, putusan yang Non Executable (putusan yg tidak bisa dilaksanakan dan memohon agar Pelawan dinyatakan sebagai satu-satunya pemilik sah atas tanah sengketa.

Tetapi, kata Firdaus, ternyata Pelawan berdasar bukti-bukti yang diajukan, yakni SHM No.888/Kebon Kelapa Tanggal 16 Mei 2015, tidak mampu meyakinkan Pengadilan/Hakim bahwa Pelawan sebagai pemilik sah atas tanah termaksud.

"Sebaliknya Terlawan (Ahli Waris) mampu meyakinkan Hakim atas prinsip pembuktian Preponderance of evidence, yakni bukti-bukti yang lebih kuat dari lawan, sehingga sesuai hukum harus dimenangkan Hakim," jelas Firdaus.

Nah, berdasarkan prinsip peradilan tersebut, Perlawanan Moe Yunny Raharja ditolak dan dinyatakan sebagai "Pelawan yang tidak benar. Putusan No.406/ Pdt.G.Bth/ 2019 ini dikuatkan oleh Putusan Banding No.105/ Pdt/ 2021/PT. DKI dan juga dikuatkan oleh Putusan MA No.2588K/Pdt/2023 Tanggal 5 Oktober 2023, dengan pertimbangan Putusan Yudex facti tidak salah dan telah benar menerapkan hukum".

Disebutkan bahwa sengketa atas tanah tersebut sebenarnya telah ada putusan-putusan pengadilan yang secara hukum menempatkan (Alm) Suryadi Hidayat sebagai yang paling berhak atas tanah sengketa. 

Hal itu tertuang dalam Putusan No.309/1975 Perdata / PN.Jkt. Brt.Sel yo No.174/ 1980 Perdata.PT.DKI serta dalam putusan .NO.558PK/PDT/2014 yang pada pokok intinya menyatakan SHGB No. 2462/Kebon Kelapa a.n. Hendry Lathianza dan Martin Lunardi dan SHM No.663/Kebon Kelapa atas Thian Tjoeng Shoeng tidak berkekuatan hukum.

Selain itu juga didukung Putusan MA No.19PK/ TUN/2012 tanggal 12 Februari 2013 (yang menyatakan batal dan tidak sah SHGB No.2462/Kebon Kelapa a.n. Hendry Lathianza dan Martin Lunardi  sebagai Warkah yang SUDAH TIDAK BERKUATAN HUKUM yang digunakan untuk menetbitkan SHM NO.888/Kebon Kelapa a.n Moe Yunny Raharja.

Firdaus juga mempertanyakan bagaimana mungkin status hukum warkah yang sudah tidak berkekuatan hukum dijadikan alas terbitnya SHM No.888??

Secara hukum, lanjut Firdaus, dengan kandasnya upaya hukum Moe Yunny Raharja merujuk keluarnya Putusan MA No.2588K/Pdt/2023 tanggal 5 Oktober 2023, secara hukum telah mempertegas bahwa Moe Yunny Raharja "tidak mempunyai Legal Standing dan tidak berhak lagi mengklaim atas tanah miik Ahli Waris Lenny Gunarti Hidayat.

"Walaupun SHM No.888/Kebon Kelapa Tanggal 16 Mei 2015 tersebut masih belum dibatalkan/dicabut oleh Kepala Badan Pertanahan kota administrasi Jakarta pusat, kepentingan Moe Yunny Raharja sudah tidak ada lagi secara hukum di lahan tersebut," tegasnya.

Dalam kaitan itu pula, Firdaus berharap institusi yang berwenang untuk menerbitkan dan membatalkan sertifikat tanah Moe Yunny Raharja.

Hal itu, katanya merujuk pada kewenangan jabatan dan juga berpedoman dari sumber hukum yang ada, yakni “Yurisprudensi MA NO.111K/TUN/ 2000”. Di mana intinya menyebutkan, jika  setelah diteliti ada kekeliruan administrasi dan cacat yuridis dikemudian hari, maka atas inisiatif sendiri (spontane vernietiging) ATR/BPN dapat membatalkan sertifikat tersebut demi tertibnya administrasi dibidang pertanahan dan adanya kepastian hukum serta kepatuhan hukum bagi institusi terkait dibidang pertanahan.


Sengketa sejak 1975

Persoalan tanah di Jalan Batu Tulis, No. 40-40A Kel. Kebon Kelapa, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat, sudah berlangsung sejak 1975 antara penyewa dan pemilik lahan.

Firdaus menyebut ihwal gugatan berawal dari pihak penyewa yang merasa telah membeli tanah tersebut dari N.V. Oei, sebuah Perusahaan Perdagangan, Perindustrian, Pembangunan, Vaan dan Ekspedisi Oei, di masa itu. 

"Di tahun yang sama setelah itu, Thian Tjhong Shoeng mengajukan permohonan sertifikat, tapi ditolak oleh BPN. BPN beralasan karena di obyek tanah itu sudah ada sertifikat atas nama Suryadi dengan nomor 128 Kebon Kelapa, Kecamatan Gambir," terangnya.

Suryadi kemudian digugat ke pengadilan. Tapi, kata Firdaus, gugatan Thian Tjhong Shoeng ditolak. "Pak Suryadi Hidayat ini dari tahun 1966 telah memiliki HGB, setelah tahun 1968 ditingkatkan menjadi hak milik," bebernya.

Dalam perjalanan, penyewa Thian Tjhong Shoeng memohon dibatalkannya sertifikat 128 ke BPN dan disetujui. Karena sertifikatnya dibatalkan, Suryadi yang merasa dirugikan lantas menggugat BPN dan Thian Tjhong Shoeng. 

"Pemilik (Suryadi) menggugat hingga PK di tahun 1994," ulas Firdaus.

Dia menyebut di obyek tanah seluas 833 M² milik Suryadi ada rumah induk (disewakan) dan rumah paviliun ditempati oleh Suryadi. "Entah bagaimana si penyewa rumah induk bisa terbit sertifikat HGB No. 663 Kebon Kelapa a/n Thian Tjhong Shoeng. 

Thian Tjhong Shoeng meninggal di tahun 2002. Pada tahun 2007, dua kakak beradik anak Thian Tjhong Shoeng, Hendry Lathianza dan Martin Lunardi membuat sertifikat terhadap rumah paviliun menggunakan warkah yang pernah ditolak oleh pengadilan di tahun 1975.

Sejurus kemudian di tahun 2007, keluar sertifikat No. 2462 di atas tanah milik Suryadi. Munculnya sertifikat No. 2462 yang baru diketahui oleh Suryadi di tahun 2009 itu kemudian digugat ke PTUN. 

"Tingkat awal sampai kasasi Pak Suryadi kalah. Tapi di tahun 2013 mengajukan PK dan akhirnya menang. Sertifikat 2462 kemudian dibatalkan," ucap Firdaus.

Rupanya persoalan tidak berhenti sampai di situ. Hendry Lathianza dan Martin Lunardi berbekal sertifikat yang telah dibatalkan warkahnya oleh pengadilan di tahun 1975, tanpa hak diduga menjual tanah tersebut ke Moe Yunny Raharja. Alhasil, Moe Yunny Raharja sebagai pihak ketiga ikut terseret dalam kasus itu.

Moe Yunny Raharja melakukan perlawanan terhadap eksekusi yang seharusnya dilaksanakan pada 2019. Namun, upaya perlawanannya hingga tingkat banding ditolak.  

Terhadap kehadiran Moe Yunny Raharja di lahan milik kliennya itu disebutnya sebagai pihak yang salah alamat. "Dia kemungkinan membeli dari Hendry Lathianza dan Martin Lunardi. Anda bisa simpulkan sendiri siapa yang keliru dalam hal ini," ujar Firdaus.(tfk)