Mengganggu Prabowo, Membuka Jalan Simalakama: Ancaman bagi Keberlanjutan Pemerintahan

Foto-IST/INT-Sugiyanto (SGY)-Emik

GANGGUAN dapat berupa upaya menjatuhkan atau melemahkan pemerintahan melalui berbagai cara, baik melalui manuver politik maupun opini publik yang tidak konstruktif

Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)

Saya sebenarnya enggan menulis artikel tentang berbagai permasalahan atau isu Jakarta, nasional, dan lainnya selama bulan Ramadan. Saya berencana menunggu hingga Idul Fitri selesai. Namun, pada Kamis (20-03-25), saya menulis artikel tentang Jakarta dengan judul “Asep Kuswanto Harus Bertanggung Jawab atas RDF Rorotan yang Menimbulkan Bau, Bukan Salah Gubernur Pramono Anung.”

Karena artikel tersebut, saya terdorong untuk menulis tentang isu nasional. Meski begitu, saya akan berusaha sebisa mungkin menahan diri untuk tidak menulis artikel selama bulan Ramadan, kecuali untuk hal-hal yang saya anggap sangat mendesak, seperti judul di atas: “Mengganggu Prabowo, Membuka Jalan Simalakama: Ancaman bagi Keberlanjutan Pemerintahan.”

Kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto periode 2024-2029 harus tetap berjalan hingga tuntas sesuai dengan mandat rakyat dalam pemilu. Setiap upaya yang mengganggu jalannya pemerintahan bukan hanya berpotensi menghambat pembangunan, tetapi juga menimbulkan dilema politik yang dapat merugikan bangsa.

Dalam konteks ini, gangguan dapat berupa upaya menjatuhkan atau melemahkan pemerintahan melalui berbagai cara, baik melalui manuver politik maupun opini publik yang tidak konstruktif. Jika tekanan terhadap pemerintahan Prabowo semakin besar, hal ini bisa berujung pada pemakzulan atau pengunduran diri. 

Jika hal tersebut terjadi, secara konstitusional, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka akan menggantikan posisi Presiden. Situasi ini dapat menjadi simalakama bagi rakyat Indonesia.

Di satu sisi, mereka yang menginginkan perubahan karena menilai Prabowo dianggap gagal harus menerima kenyataan bahwa penggantinya adalah Gibran, yang dinilai masih minim pengalaman dalam kepemimpinan nasional. Hal ini dapat memperburuk ketidakstabilan politik dan memicu ketidakpercayaan publik terhadap pemerintahan.

Di sisi lain, kepemimpinan Gibran juga akan menghadapi tantangan besar, terutama karena adanya penolakan dari sebagian masyarakat. Hal ini kemungkinan terjadi karena mereka merasa kapasitas dan rekam jejaknya belum cukup kuat untuk memimpin negara sebesar Indonesia.

Jika pergantian kekuasaan terjadi dalam kondisi ini, bangsa akan terjebak dalam dilema. Artinya, akan muncul dua pilihan: mempertahankan pemimpin yang dianggap gagal atau menerima pemimpin baru yang kualitasnya masih dipertanyakan.Akibatnya, stabilitas nasional bisa terganggu, dan kebijakan strategis untuk pembangunan bisa terhambat oleh gejolak politik berkepanjangan.

Oleh karena itu, para pengkritik Presiden Prabowo sebaiknya berpikir ulang sebelum terus-menerus menyerang kebijakan dan kepemimpinannya. Kritik yang membangun tentu diperlukan dalam demokrasi, tetapi kritik yang hanya bertujuan melemahkan pemerintah tanpa menawarkan solusi konkret justru bisa berdampak negatif bagi bangsa.

Jika tujuan utama kritik adalah memperbaiki keadaan negara, maka yang lebih bijak adalah memberikan masukan yang konstruktif, bukan sekadar berupaya menjatuhkan pemimpin yang sedang menjalankan tugasnya.

Di sisi lain, Presiden Prabowo juga harus lebih berhati-hati dalam bersikap, terutama dalam menunjukkan penghormatan kepada mantan Presiden Joko Widodo. Pernyataannya dalam HUT Gerindra ke-17 di Sentul, Bogor, yang menyebut bahwa ia bisa menjadi presiden karena Jokowi, serta yel-yel “Hidup Jokowi” dan ungkapan “Ndasmu,” menimbulkan polemik di masyarakat.

Sikap ini bisa memicu kemarahan kelompok yang kecewa terhadap Jokowi dan masyarakat yang merasa diserang oleh pernyataan “Ndasmu,” yang akhirnya bisa berujung pada serangan terhadap kebijakan Prabowo sendiri. Oleh karena itu, keseimbangan dalam komunikasi politik menjadi sangat penting agar tidak memicu konflik yang tidak perlu.

Dalam situasi seperti ini, yang dibutuhkan bukanlah perpecahan, melainkan sinergi antara pemerintah dan rakyat untuk memastikan kepemimpinan nasional berjalan stabil hingga akhir masa jabatan.

Presiden Prabowo juga perlu lebih bijak dalam menyampaikan setiap pernyataan karena selalu menjadi sorotan publik. Sebagai contoh, ia sempat menyebut bahwa investasi saham bagi masyarakat kecil ibarat bermain judi. Menurutnya, investor dengan modal kecil akan kalah dengan investor besar.

Meskipun tujuannya baik, yakni agar masyarakat kecil memahami pentingnya pengalaman dan pengetahuan sebelum berinvestasi, pernyataan ini berpotensi menjadi isu negatif. 

Bagaimanapun, pasar saham adalah bagian penting dalam stabilitas ekonomi negara. Jika para investor kehilangan kepercayaan dan menarik investasinya, dampaknya bisa sangat merugikan.

Sebagai contoh, beberapa hari lalu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan drastis lebih dari 6 persen dalam penutupan perdagangan sesi pertama pada Selasa, 18 Maret 2025. Hal ini memicu penghentian sementara perdagangan saham atau trading halt oleh Bursa Efek Indonesia (BEI). Situasi ini bahkan mendorong Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco dan anggota Komisi XI untuk mendatangi BEI guna menunjukkan dukungan terhadap stabilitas pasar saham.

Selain Presiden yang perlu bersikap bijak, Prabowo juga harus mengakomodasi dan mendengarkan setiap kritik dari masyarakat. Kritik sejatinya adalah vitamin bagi pemerintah dalam mencapai kemajuan negara serta meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Namun, jika kritik tidak bersifat konstruktif, apalagi tidak didukung oleh bukti dan fakta, maka tidak perlu ditanggapi karena secara alami akan meredup dengan sendirinya.

Hal lain yang juga penting adalah adanya aspirasi masyarakat yang menginginkan proses hukum terhadap mantan Presiden Jokowi. Dalam sistem demokrasi, hal ini merupakan sesuatu yang wajar. Pemerintah harus bertindak tegas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Artinya, hukum harus ditegakkan terhadap siapa pun, termasuk mantan Presiden Jokowi.

Dalam konteks ini, segala tuntutan terhadap mantan Presiden Jokowi sah sepanjang prosesnya mengikuti prosedur hukum yang berlaku dan didukung oleh data serta fakta yang jelas. Namun jika tidak ada bukti, termasuk tak ada data dan fakta, maka segala tuntutan apapun tak bisa ditujukan kepada mantan Presiden Jokowi.

Dalam konteks ini perlu juga mempertimbangkan bahwa bagaimanapun Jokowi adalah mantan Presiden RI yang telah banyak berjasa dalam memimpin negeri ini. Meskipun demikian, pemerintah tetap harus menjunjung tinggi supremasi hukum. Dengan begitu, nama baik pemerintahan Presiden Prabowo Subianto akan tetap terjaga di mata masyarakat karena dinilai adil dan bijaksana.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa segala upaya untuk menggulingkan atau menghambat pemerintahan yang sah hanya akan memperburuk keadaan dan menciptakan ketidakstabilan yang merugikan semua pihak. 

Jika terdapat kekurangan dalam kepemimpinan, solusinya bukan sekadar melontarkan kritik tajam atau mengguncang pemerintahan. Sebaiknya, para pengkritik memberikan masukan yang konstruktif agar kebijakan yang diambil benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat