Mampir ke PresRoom Balkot, Ditanya Kasus Disbud: Minggu Depan Lanjut Bahas Lainya, dan Dugaan Nepotisme di PT MRT Jakarta
Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)
Pada Jumat, 3 Desember 2025, saya menyempatkan diri mampir ke PressRoom Balaikota (Balkot) DKI Jakarta. Sudah cukup lama saya tidak berkunjung untuk bersilaturahmi dan bertemu teman-teman wartawan yang setiap hari meliput berbagai berita, khususnya soal Jakarta. Dahulu, Balkot adalah tempat saya sering berdiskusi dan membahas berbagai isu DKI Jakarta. Beberapa wartawan senior yang masih aktif di Balkot membuat suasana terasa akrab.
Seperti biasa, di Balkot kami ngopi-ngopi sambil membahas isu-isu hangat, baik lokal, nasional, maupun internasional. Pada kesempatan itu, secara spontan teman-teman wartawan bertanya kepada saya mengenai kasus korupsi di Dinas Kebudayaan (Disbud) DKI Jakarta yang sedang ditangani oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jakarta.
Sebenarnya, pada hari itu saya sedang menulis artikel tentang dugaan nepotisme di PT MRT Jakarta dengan judul, “DPRD dan Pemprov DKI Harus Tanggap: Perlu Klarifikasi Dugaan Nepotisme Eks Pj Gubernur Heru Budi dan Putrinya di PT MRT Jakarta.” Namun, karena pertanyaan dari teman-teman wartawan senior, saya merasa perlu menjawab.
Ada yang bercanda dengan bertanya, “Bang, saya sebut apa nih? Pengamat atau apa ya?” Dengan santai saya jawab, “Terserah aja, yang penting sesuai fakta dan data.”
Sebagaimana diketahui, Kejati Jakarta telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus korupsi di Disbud DKI Jakarta. Mereka adalah pemilik event organizer (EO) bodong Gatot Arif Rahmadi (GAR), Mohamad Fairza Maulana (MFM), dan Kepala Dinas Kebudayaan Iwan Henry Wardhana (IHW). Pernyataan saya mengenai kasus ini telah banyak dimuat oleh media online. Namun, untuk memperjelas, berikut adalah pandangan saya.
Pertama, saya meyakini bahwa Kejati Jakarta akan menuntut hukuman berat, dan jika terbukti di persidangan, hakim kemungkinan besar akan menjatuhkan hukuman yang setimpal. Hal ini sejalan dengan pernyataan Presiden Prabowo yang menunjukkan ketegasan terkait kasus korupsi besar dengan kerugian negara, seperti kasus senilai Rp300 triliun yang sempat disoroti.
Kedua, saya menduga praktik korupsi serupa juga terjadi di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lain di lingkungan Pemprov DKI Jakarta, khususnya dalam bentuk kegiatan fiktif. Dugaan ini melibatkan kemungkinan keterlibatan pihak eksekutif, seperti ASN di Disbud, termasuk atasan mereka seperti Asisten Sekda terkait, Inspektorat, dan lainnya. Selain itu, legislatif juga mungkin terlibat, terutama anggota DPRD yang menjadi mitra kerja Disbud dan memiliki wewenang dalam penganggaran.
Ketiga, saya mendukung upaya Kejati untuk memperluas penyelidikan, termasuk memeriksa ASN di Disbud maupun ASN lainnya, serta meminta keterangan dari anggota DPRD periode 2019–2024 dan DPRD baru periode 2024–2029. Jika terdapat cukup bukti, Kejati perlu mendorong para tersangka, termasuk Iwan Henry Wardhana, untuk menjadi justice collaborator. Ini penting untuk membongkar jaringan korupsi yang lebih luas, karena korupsi cenderung dilakukan secara berkelompok.
Saya menduga kasus ini tidak akan berhenti hanya pada tiga tersangka tersebut. Korupsi yang sistematis biasanya melibatkan banyak pihak, termasuk DPRD. Oleh karena itu, penanganan yang menyeluruh diperlukan untuk memastikan akuntabilitas. Untuk minggu depan, saya akan melanjutkan pembahasan isu-isu lainnya di DKI Jakarta, termasuk dugaan nepotisme mantan Pj Gubernur Heru Budi dan putrinya di PT MRT Jakarta, Kampung Bayem, PAM Jaya, berbagai rekomendasi BPK, hingga masalah aset Pemprov dan lainnya. Semua isu ini akan tetap menjadi fokus perhatian saya.