Kesalahan Anies Mematikan Rezeki Para Penjual Kembang dan Pembersih Kubur, Tapi Pelaku Usaha Masih Bisa Untung

Ilustrasi Pemprov DKI Jakarta-(Foto-Dekannews)

Bila pro dan kontra hanya sebatas pada persoalan penutupan sementara bagi masyarakat yang ingin ziarah ke Tempat Pemakaman Umum (TPU) dengan peritiwa membludaknya pengunjung Ancol, maka akan sulit mendapatkan titik temu. Sebab masing-masing memiiki alasan yang logis dan kuat berdasarkan ketentuan aturan.

 

Oleh  : Sugiyanto
Aktivis Jakarta/ Ketua Koalisi Rakyat Pemerhati Jakarta Baru (Katar).

 

Pro dan kontra tentang tentang kebijakan gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan meniadakan ziarah kubur saat libur hari Raya Idul Fitri 1442 H, tetapi membolehkan tempat wisata, kafe, bioskop dan lainnya tetap buka masih terus menjadi pembahasan di masyarakat.

Salah satu pemicunya karena membludaknya pengunjung Taman Impian Jaya Ancol pada hari kedua libur lebaran. Saat itu pengunjung Ancol berkisar 39 ribu. Jumlah ini masih jauh dari batas 30 persen, yakni 57.000 ribu dari jumlah kapasitas Ancol  yang mampu menampung 192 ribu pengunjung. Hanya saja, pengunjung sempat menumpuk pada  tempat-tempat tertentu dan di pantai.

Kejadian inilah yang kemudian direspond negatif oleh masyarakat. Bahkan banyak warganet membandingkan kondisi Ancol tersebut dengan ritual masyarakat India di Sungai Gangga yang menyebabkan tsunami Covid-19 di negeri Bollywood beberapa waktu lalu.

Dari situlah lalu pro dan kontra atas permasalahan ini muncul. Bagi lawan politik, kejadian ini dijadikan senjata ampuh. Tidak hanya direksi dan komisaris Ancol, gubernur Anies pun diserang dan diminta ikut bertanggung jawab sebab  mebludaknya pengunjung Ancol dianggap melanggar Protokol kesehatan (Prokes) dan aturan kerumunan.

Sedangkan pagi pendukung  gubernur Anies, kebijakan membolehkan tempat wisata Ancol, Mal, Kafe dan lainnya tetap beroprasi adalah hal yang benar. Mereka menegaskan bahwa  segalanya sudah sesuai dengan ketentuan aturan pemerintah yang hanya membolehkan kegiatan usaha dibuka untuk maksimal 30 persen pengunjung saja.

Tak hanya itu, para pendukung gubernur Anies juga membandingkan tentang kejadian kerumunn pada saat libur lebaran 1442 H ini dengan banyak kerumunanan yang terjadi pada semua tempat wisata di Indonesia. Mereka juga menyindir bahwa hanya tempat wisata Ancol dan gubernur Anies saja yang diributkan, sedangkan  tempat wisata lain dan kepala daerahnya  tidak dipersoalkan.

Bila pro dan kontra hanya sebatas pada persoalan penutupan sementara bagi masyarakat yang ingin ziarah ke Tempat Pemakaman Umum (TPU) dengan peritiwa membludaknya pengunjung Ancol, maka akan sulit mendapatkan titik temu. Sebab masing-masing memiiki alasan yang logis dan kuat berdasarkan ketentuan aturan.

Namun bila Kita sedikit melompat pada masalah  kemanusian dan keadilan, maka akan terbuka persoalan lain, yakni tentang “Kemanusian Yang Adil dan Keadilan Sosial.” Ini  berarti, sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, manusia memiliki derajat, hak, dan kewajiban yang sama. Kita tak  boleh mementingkan diri sendiri. Kita harus mengutamakan kepentingan umum dalam hidup bermasyarakat. Selain itu, aturan dan hukum yang berlaku juga harus adil.

Nah, dari sinilah kita bisa melihat bahwa kebijakan menutup sementara TPU saat libur lebaran adalah menyakut pada persoalan keadilan, lantaran dampaknya mematikan rezeki masyarakat para penjual kembang dan pembersih kubur.

Semua orang tahu, pada saat menjelang dan sesudah lebaran, maka saat itulah para penjual kembang dan pembersih kubur mendapat sedikit tambahan rezeki dari kegiatan usaha dan jasa mereka. Namun harapan itu sirna dan mereka hanya bisa gigit jari.

Melalui surat Seruan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pengendalian Aktivitas Masyarakat dalam Pencegahan Penyebaran Covid-19 Pada Masa Libur Idul Fitri 1442 H yang dikeluarkan pada 10 Mei 2021, tercantum aturan tentang meniadakan kegiatan ziarah kubur mulai hari Rabu tanggal 12 Mei hingga 16 Mei 2021.

Dilain pihak gubernur Anies melalui kebijakannya tersebut malah membolehkan pelaku usaha, pengelola, penyelenggara atau penanggung jawab pusat perbelanjaan/mal, warung makan, rumah makan, kafe, restoran dan bioskop untuk beroprasi dengan menerapkan batasan jam operasional paling lama sampai dengan pukul 21.00 WIB dan membatasi jumlah pengunjung paling banyak 50% (lima puluh persen) dari total kapasitas, kecuali terhadap lokasi zona merah dan oranye yang aktivitas untuk sementara dihentikan.

Tak hanya itu Anies juga mengizinkan pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab kawasan wisata/tempat rekreasi beroprasi meski dengan  menerapkan batasan jam operasional paling lama sampai dengan pukul 21.00 Wib dan membatasi jumlah pengunjung paling banyak 30 persen dari total kapasitas,  namun dikecuali terhadap lokasi zona merah dan oranye yang aktivitasnya untuk sementara dihentikan

Aturan inilah yang menjadi sumber masalahnya, karena terkesan sangat kontraditktif. Pada satu sisi gubernur Anies meniadakan ziarah kubur yang berakibat mematikan kegiatan usaha masyarakat kecil penjual kembang dan para penjaja jasa pembersih kubur. Namun saat bersamaan Anies mengizinkan pelaku usaha atau pengelola mal, kafe, bioskop, kawasan wisata/tempat rekreasi dan lainnya tetap beroprasi meskipun dengan aturan pembatasan dan prokes yang ketat.


Sepertinya ada masalah ketidak adilan disini. Seolah-olah hanya pelaku usaha dan pengelola usaha besar saja yang diperbolehkan tetap melakukan kegiatan usaha, sedangkan masyarakat kecil penjual kembang dan penjaja jasa pembersih kubur dianggap tak ada, sehingga dibuatlah aturan meniadakan ziarah kubur.

Seharusnya, bila alasan logisnya  adalah untuk pencegahan penyebaran Covid-19, maka sejak awal aturan yang dibuat gubenur DKI Jakarta Anies Rasyid Bawesdan haruslah  adil.  Bila ada pembatasan 30 persen dan aturan prokes, maka ziarah kubur pun harus diizinkan dengan aturan pembatasan yang sama. Dan bila aturan ziarah kubur ditiadakan, maka kegiatan pelaku usaha atau pengelola mal, kafe, tempat wisata dan lainnya juga harus diberlakukan sama, yakni ditiadakan atau ditutup.

Tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Tempat wisata baru ditutup setelah terjadi peristiwa pengunjung Ancol yang membludak. Itupun setelah banyaknya kritik dari masyarakat. Namun untuk pelaku usaha lainnya seperti mal, kafe, restauran tetap masih diizinkan beroprasi. 

Sekarang nasi sudah menjadi bubur. Pada peristiwa membludaknya pengunjung Ancol, hari Jumat 14 Mei 2021 tersebut, diduga kuat telah terjadi pelanggaran protokol kesehatan dan aturan kerumunan Covid-19. Dalam hal ini gubernur Anies tak cukup hanya bersikap marah dan menegur  kepada Dirut Ancol, tetapi harus juga membentuk tim investigasi untuk membuktikan dugaan terjadinya  pelanggar prokes dan aturan kerumunan itu.

 

The End