Era Syafrin Liputo 6,5 Tahun, Kemacetan Makin Parah: Perjalanan 10 KM di Jakarta Kini 25 Menit 31 Detik, Naik dari 23 Menit 20 Detik pada 2023

Foto-IST-Sugiyanto (SGY)-Emik

KEMACETAN di Jakarta tidak hanya menimbulkan kerugian waktu dan menurunkan produktivitas, tetapi juga meningkatkan polusi udara, memicu stres dan gangguan kesehatan mental, menyebabkan kelelahan berlebihan, serta melahirkan rasa

Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)

Beberapa hari sebelumnya, saya banyak menulis isu lingkungan, hutan, dan daerah aliran sungai (DAS), terutama terkait bencana banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumatra Utara (Sumut), dan Sumatra Barat (Sumbar) yang sangat besar dan memilukan. Kini saya kembali fokus membahas isu dan persoalan Jakarta. Sebelumnya, saya juga kerap menulis tentang berbagai masalah di Jakarta, seperti banjir, sampah, kemacetan, dan isu-isu lainnya.

Sebelumnya, tiga minggu lalu, tepatnya pada 17 September 2025, saya menulis artikel berjudul “Duet Pramono–Rano Perlu Mempertimbangkan Penggantian Kadishub DKI Syafrin Liputo karena Telah Menjabat Lebih dari Enam Tahun.” Tulisan tersebut merupakan bagian awal yang secara khusus membahas persoalan di Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta, mulai dari masa jabatan dan rotasi pejabat hingga berbagai isu lainnya, yang kemudian berlanjut dalam artikel ini.

Baiklah, saya melanjutkan pembahasan terkait masa jabatan Kadishub DKI Jakarta Safrin Liputo selama enam tahun lima bulan (6,5 tahun) sejak dilantik pada 8 Juli 2019, serta persoalan kemacetan di Jakarta. Semoga uraian ini dapat menjadi masukan positif bagi Pemprov DKI Jakarta, khususnya bagi Gubernur Pramono Anung Wibowo dan Wakil Gubernur Rano Karno.

Izinkan saya menyampaikan pendapat bahwa bagi masyarakat Jakarta, kemacetan bukanlah cerita fiksi, melainkan kenyataan pahit yang harus mereka hadapi setiap hari. Publik berharap Dinas Perhubungan atau Dishub DKI Jakarta mampu menghadirkan langkah konkret dan terobosan nyata untuk mengurangi kepadatan lalu lintas yang semakin memburuk.

Dishub DKI tidak semestinya merasa puas hanya karena rilis TomTom Traffic Index 2024 menunjukkan peringkat kemacetan Jakarta turun menjadi posisi ke-90 dunia. Penurunan peringkat ini juga dibarengi kabar bahwa Jakarta bukan lagi kota termacet di Indonesia, karena Bandung kini berada pada posisi teratas, disusul Medan, Palembang, Surabaya, dan Jakarta di peringkat kelima. Bagi warga Jakarta, yang terpenting bukan sekadar kabar menggembirakan, melainkan bukti nyata bahwa kemacetan dapat diatasi bukan justru memburuk tanpa solusi yang efektif.

Data tersebut memang tampak positif, namun masyarakat Jakarta tidak boleh terjebak dalam optimisme semu. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kemacetan justru semakin parah, terutama pada jam-jam sibuk yang kerap memicu frustrasi dan stres pengguna jalan. Kondisi ini juga sejalan dengan data resmi TomTom Traffic Index 2024, yang mencatat waktu tempuh perjalanan sejauh 10 kilometer di Jakarta mencapai 25 menit 31 detik, atau setara dengan tingkat kemacetan 43 persen.

Angka dari TomTom Traffic Index 2024 tersebut jelas lebih tinggi dibandingkan data tahun 2023 dan 2022 yang menggunakan patokan jarak 10 kilometer. Pada 2023, Jakarta menempati peringkat ke-30 dari 387 kota termacet dunia di 55 negara dan 6 benua, dengan waktu tempuh 23 menit 20 detik untuk jarak 10 kilometer atau setara dengan tingkat kemacetan 53 persen. Pada 2022, Jakarta berada di posisi ke-29 dari 389 kota termacet dunia di 56 negara dan 6 benua, dengan waktu tempuh 22 menit 40 detik untuk jarak yang sama dan tingkat kemacetan identik, yakni 53 persen.

Sementara itu, pada 2021, 2020, dan 2019, TomTom Traffic Index masih menggunakan patokan persentase kemacetan. Pada 2021, Jakarta menempati peringkat ke-46 dunia dari 404 kota dengan tingkat kemacetan 34 persen. Artinya, perjalanan seseorang di Jakarta membutuhkan waktu 34 persen lebih lama dibandingkan kondisi tanpa hambatan lalu lintas. Pada 2020, tingkat kemacetan Jakarta tercatat sebesar 36 persen, menempatkannya pada peringkat ke-31 dunia dari 416 kota di 57 negara.

Pada 2019, tingkat kemacetan Jakarta masih berada di posisi 10 besar dari 416 kota termacet di 57 negara dalam TomTom Traffic Index, dengan tingkat kemacetan mencapai 53 persen. Temuan riset TomTom Traffic Index — termasuk data tahun 2019 hingga 2023 serta 2024 — juga telah diberitakan secara luas oleh berbagai media online nasional dan media darling lainnya.

Perbandingan data dari tahun ke tahun, khususnya pada 2022, 2023, dan 2024, menunjukkan gambaran yang sangat jelas. Meskipun peringkat global Jakarta dalam indeks kemacetan menurun, peningkatan durasi perjalanan justru membuktikan bahwa tingkat kemacetan secara nyata semakin parah dan terus memburuk. Kondisi ini berlangsung pada era kepemimpinan Syafrin Liputo sebagai Kepala Dishub DKI Jakarta, yang telah menjabat sangat lama, yakni selama enam tahun lima bulan (6,5 tahun) sejak dilantik pada 8 Juli 2019. Situasi ini tentu patut menjadi perhatian serius bagi semua pihak, terutama Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo.

Sebagaimana diketahui, mulai tahun 2022 TomTom memasukkan variabel durasi perjalanan per 10 kilometer dalam laporan lalu lintasnya. Sebelumnya, untuk tahun 2019, 2020, dan 2021, TomTom Traffic Index masih menggunakan tingkat kemacetan dalam persentase.

Dengan demikian, perbedaan persepsi mengenai tingkat kemacetan sangat mungkin dipengaruhi oleh perubahan metodologi yang dilakukan TomTom Traffic Index. Pergeseran metode analisis tersebut berpotensi besar memengaruhi akurasi perbandingan data antar-tahun, termasuk data 2022, 2023, dan 2024 yang telah menggunakan pendekatan berbasis jarak 10 kilometer dan durasi perjalanan. Karena itu, penurunan atau kenaikan peringkat global tidak selalu mencerminkan kondisi riil di lapangan. Justru durasi perjalanan menunjukkan bahwa mobilitas di Jakarta semakin lambat dan tingkat kemacetan kian memburuk.

Meski persentase indeks kemacetan pada 2024 turun dibandingkan 2023, waktu tempuh perjalanan justru meningkat, dengan durasi 10 kilometer mencapai 25 menit 31 detik. Padahal, pada 2023 TomTom Traffic Index mencatat waktu tempuh 10 kilometer di Jakarta hanya 23 menit 20 detik. Bahkan pada 2022, waktu tempuh untuk jarak yang sama hanya 22 menit 40 detik. Fakta ini menunjukkan bahwa kondisi kemacetan secara nyata semakin parah dan terus memburuk.

Kemacetan pada jam sibuk tetap menjadi momok bagi mobilitas warga Jakarta. Pada Jumat sore, sekitar pukul 18.00–19.00 WIB, waktu tempuh untuk menempuh jarak 10 kilometer dapat mencapai 30–33 menit. Seluruh data ini merupakan temuan objektif dari perusahaan navigasi Belanda, TomTom, bukan sekadar opini. Bahkan, merujuk data dari INRIX—perusahaan analitik lalu lintas global asal Amerika Serikat—Jakarta masih berada di peringkat ke-7 sebagai kota termacet dari 946 kota di 37 negara pada tahun 2024. INRIX juga mencatat bahwa kecepatan rata-rata kendaraan bermotor di pusat kota Jakarta hanya sekitar 13 mil per jam atau setara 20 kilometer per jam.

Menurut laporan INRIX 2024 Global Traffic Scorecard, Jakarta naik menjadi kota termacet ke-7 di dunia, meningkat dari posisi ke-10 pada 2023. Pengemudi di Jakarta kehilangan rata-rata 89 jam per tahun akibat kemacetan—naik 37 persen dibanding tahun sebelumnya—dan angka ini setara dengan tingkat kemacetan di kota-kota besar seperti New York dan London. Laporan yang dirilis pada Januari 2025 dan berdasarkan data tahun 2024 tersebut menyoroti bahwa peningkatan kemacetan terutama disebabkan oleh laju urbanisasi yang tinggi dan masih dominannya penggunaan kendaraan pribadi.

Adapun urutan kota termacet di dunia menurut INRIX 2024 Global Traffic Scorecard adalah Istanbul, Turkiye; disusul New York, Amerika Serikat; Chicago, Amerika Serikat; Mexico City, Meksiko; London, Inggris; Paris, Prancis; dan pada urutan ke-7 dunia adalah Jakarta, Indonesia. Seluruh data dan rilis INRIX 2024 serta 2023 Global Traffic Scorecard telah dipublikasikan secara luas oleh berbagai media online nasional dan media darling lainnya. Semua data baik dari TomTom maupun INRIX merupakan fakta berbasis pengukuran, bukan opini atau persepsi semata.

Dampak Kemacetan serta Antisipasi dan Solusi

Kemacetan di Jakarta tidak hanya menimbulkan kerugian waktu dan menurunkan produktivitas, tetapi juga meningkatkan polusi udara, memicu stres dan gangguan kesehatan mental, menyebabkan kelelahan berlebihan, serta melahirkan rasa frustrasi dan kejengkelan di kalangan masyarakat. Pemborosan energi yang terjadi setiap hari semakin menambah beban yang harus ditanggung warga, termasuk potensi kerugian ekonomi yang sangat besar.

Kerugian ekonomi akibat kemacetan di Jakarta diperkirakan mencapai Rp65–100 triliun per tahun, menunjukkan bahwa upaya penanganan kemacetan selama ini belum efektif. Sesungguhnya banyak faktor signifikan yang memengaruhi kemacetan di Jakarta, salah satunya adalah belum diterapkannya Electronic Road Pricing (ERP), yang kemungkinan besar membuat beban kemacetan tidak kunjung terurai. Dalam kondisi seperti ini, wajar apabila muncul kekecewaan dan kritik dari masyarakat kepada pemerintah daerah, karena Dinas Perhubungan DKI Jakarta dinilai gagal menjalankan kebijakan strategis tersebut.

Dalam perspektif kebijakan publik, data kemacetan merupakan instrumen penting dalam perencanaan transportasi. Hal ini sejalan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang mengamanatkan pemerintah daerah melakukan pengendalian lalu lintas berdasarkan analisis dampak serta kondisi nyata di lapangan. Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 2014 tentang Transportasi juga mewajibkan penerapan manajemen dan rekayasa lalu lintas secara berkelanjutan sebagai langkah strategis untuk mengurangi tingkat kemacetan.

Kondisi Jakarta saat ini menunjukkan bahwa implementasi kedua regulasi tersebut belum berjalan optimal. Penurunan peringkat internasional tidak dapat dijadikan indikator keberhasilan apabila fakta di lapangan justru memperlihatkan waktu tempuh perjalanan yang semakin memburuk. Masyarakat membutuhkan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan lalu lintas, peningkatan efektivitas manajemen transportasi, serta komitmen yang lebih kuat dari Dishub DKI Jakarta agar mobilitas warga semakin lancar, bukan semakin terhambat.

Berdasarkan uraian tersebut, evaluasi terhadap kinerja Dishub DKI Jakarta, termasuk opsi pergantian atau rotasi Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Syafrin Liputo, merupakan langkah yang logis. Setelah menjabat selama enam setengah tahun, sudah saatnya dilakukan penyegaran sekaligus membuka kesempatan bagi ASN lain untuk mengemban posisi tersebut.

Pandangan saya tersebut selaras dengan artikel sebelumnya yang berjudul “Duet Pramono–Rano Perlu Mempertimbangkan Penggantian Kadishub DKI Syafrin Liputo karena Telah Menjabat Lebih dari Enam Tahun,” sebagaimana telah saya uraikan di atas. Artikel ini bukan hanya merupakan kelanjutan, tetapi juga penegasan atas persoalan kemacetan serta kebutuhan akan pergantian atau rotasi pejabat di lingkungan Dishub DKI Jakarta.

Dalam konteks pergantian pejabat, khusus bagi Syafrin Liputo, rotasi justru dapat menjadi ruang pengembangan karier dengan menempati jabatan eselon II lainnya, seperti Asisten Deputi, Wali Kota, atau posisi setingkatnya. Dalam jangka panjang, pengalaman tersebut bahkan dapat membuka peluang bagi Syafrin untuk menduduki jabatan strategis di Pemprov DKI Jakarta, seperti Asisten Sekda, Deputi Gubernur, atau Sekretaris Daerah.