Apresiasi untuk DPRD DKI: Mendesak Klarifikasi Kabar Direksi TransJakarta ke Bali untuk Latihan Padel saat Halte Dirusak Massa

DPRD DKI melalui Komisi B perlu mendesak klarifikasi terbuka dari direksi TransJakarta sekaligus mengevaluasi apakah tindakan tersebut melanggar prinsip kepatutan
Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)
Izinkan saya menyampaikan penghormatan setinggi-tingginya kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta, khususnya atas sikap terbuka dan responsif dalam menemui para demonstran di Kantor Dewan pada Kamis, 4 September 2025.
Langkah tersebut patut diapresiasi karena mencerminkan keterbukaan DPRD terhadap aspirasi masyarakat sekaligus menunjukkan kesediaan lembaga perwakilan untuk mendengar suara rakyat secara langsung, termasuk terkait isu gaji dan tunjangan anggota Dewan. Apresiasi ini menjadi catatan penting bahwa DPRD DKI Jakarta masih menempatkan kepentingan publik di atas segalanya.
Di balik penghargaan tersebut, terdapat harapan agar DPRD DKI, khususnya Komisi B yang membidangi mitra kerja Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), segera menindaklanjuti kabar keberangkatan sejumlah pimpinan PT Transportasi Jakarta (TransJakarta) ke Bali.
Kabar itu mencuat melalui pemberitaan sebuah media online yang menyebutkan kegiatan tersebut berupa latihan padel dan melibatkan sekitar 70 orang dari jajaran manajemen, termasuk Direktur Utama Welfizon Yuza, Direktur Keuangan, SDM, dan Umum Mayangsari Dian Irwantari, Direktur Operasional dan Keselamatan Daud Joseph, serta beberapa kepala divisi.
Yang menimbulkan keprihatinan adalah keberangkatan itu dilakukan pada saat situasi Jakarta genting, ketika terjadi kerusuhan yang merusak 22 halte TransJakarta. Wajar bila publik mempertanyakan sensitivitas sosial serta prioritas direksi dalam menjalankan amanahnya.
Media yang sama melaporkan telah berupaya meminta klarifikasi kepada pihak TransJakarta, namun belum memperoleh jawaban resmi. Kepala Departemen Humas dan CSR TransJakarta, Ayu Wardhani, sempat merespons, tetapi dengan syarat agar pernyataannya tidak dikutip. Sementara itu, Komisaris TransJakarta Johan Budi menyarankan agar klarifikasi ditanyakan langsung kepada Direksi atau Humas. Ketidakjelasan pernyataan resmi ini justru memperkuat spekulasi publik.
Memang ada media online lain yang menyinggung persoalan ini, seakan-akan sebagai klarifikasi. Namun karena bukan merupakan penjelasan resmi dari Direksi atau internal TransJakarta, publik tetap berhak menganggapnya belum sahih.
Permintaan agar DPRD DKI bersikap tegas sangat relevan, terlebih bila dikaitkan dengan respon positif pimpinan Dewan saat menerima massa dari Aliansi Mahasiswa Peduli Sosial dan Demokrasi (AMPSI) yang berunjuk rasa di depan gedung DPRD DKI Jakarta pada 4 September 2025. Saat itu hadir pimpinan dewan antara lain Ima Mahdiah, Basri Baco, Wibi Andrino, dan Rani Mauliani, yang disambut hangat oleh para pendemo. Selain menyatakan kesediaan mengevaluasi soal gaji dan tunjangan, DPRD juga berjanji membahas evaluasi terhadap BUMD DKI Jakarta.
Salah satu Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Basri Baco, yang juga Koordinator Komisi B, menegaskan bahwa hasil pertemuan dengan para demonstran akan dijadikan rekomendasi kepada Gubernur DKI Jakarta. Evaluasi menyeluruh terhadap semua BUMD dianggap perlu dilakukan agar pengelolaan keuangan dan aspek lainnya lebih transparan.
Dalam konteks kabar keberangkatan direksi TransJakarta ke Bali di tengah kondisi Jakarta yang bergejolak, persoalan ini tidak hanya menyentuh ranah manajerial, tetapi juga berimplikasi politis. Kepercayaan masyarakat terhadap Pemprov DKI Jakarta maupun DPRD bisa terkikis, sebab publik menuntut BUMD dikelola secara profesional dan berorientasi pada pelayanan, bukan pada kenyamanan segelintir pejabat.
Karena itu, DPRD DKI melalui Komisi B perlu mendesak klarifikasi terbuka dari direksi TransJakarta sekaligus mengevaluasi apakah tindakan tersebut melanggar prinsip kepatutan. Jika terbukti, rekomendasi sanksi, bahkan pemberhentian direksi, dapat dipertimbangkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sebaliknya, jika kabar itu tidak benar, TransJakarta tetap berkewajiban memberikan klarifikasi resmi agar tidak menimbulkan kesalahpahaman yang berlarut-larut. Mengabaikan kewajiban klarifikasi justru berpotensi memicu sengketa informasi publik di Komisi Informasi, yang pada akhirnya merugikan citra TransJakarta, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, maupun Gubernur sebagai pemegang kendali BUMD.
Transparansi dalam hal ini bukan sekadar persoalan etika, melainkan kewajiban hukum yang tidak dapat ditawar. Karena itu, DPRD DKI Jakarta sebaiknya segera memanggil Direksi TransJakarta untuk memberikan penjelasan terbuka dan komprehensif. Evaluasi lebih lanjut, termasuk kemungkinan sanksi, merupakan kewenangan DPRD bersama Gubernur sesuai regulasi pengelolaan BUMD.