Apakah Putusan Berkekuatan Hukum Tetap di PA Jakpus Masih Bisa Digugat? Mungkinkah Ada Peluang Pengaduan ke KY dan Laporan ke APH?

Foto – IST: Keluarga dari Pihak ZA, Bapak Basnur Bersama Sugiyanto (SGY)-Emik dan Foto Nomor Putusan Pengadilan

ASAS ne bis in idem tidak hanya menjadi bagian integral dalam hukum pidana nasional, tetapi juga merupakan prinsip universal dalam hukum internasional

Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)

Karena masih dalam suasana Hari Raya, pertama-tama saya mengucapkan: Selamat Hari Raya Idul Adha 1446 Hijriah. Happy Eid Al-Adha, Eid Al-Adha Mubarak! Semoga segala pengorbanan dan ibadah kita diterima oleh Allah SWT. Semoga kita semua senantiasa diberi kesehatan, keberkahan, serta mampu meneladani ketulusan dan pengorbanan Nabi Ibrahim AS. Taqabbalallahu minna wa minkum.

Tulisan artikel ini saya buat sebagai wujud kepedulian terhadap sesama insan manusia, khususnya antar sesama umat beragama. Selain itu, keprihatinan mendalam atas kemungkinan terkikisnya nilai keadilan dalam proses penegakan kepastian hukum turut menjadi landasan utama dari lahirnya artikel ini. Padahal, keadilan dan kepastian hukum seharusnya menjadi fondasi utama dalam sistem hukum kita.

Beberapa hari yang lalu, seorang teman menghubungi saya dan menyampaikan bahwa ada hal penting yang perlu saya ketahui. Kami pun akhirnya bertemu di kawasan Jakarta Pusat. Dalam pertemuan tersebut, kami berdiskusi panjang lebar, khususnya mengenai sebuah kasus yang sedang berlangsung di Pengadilan Agama (PA) Jakarta Pusat (Jakpus). 

Masalah yang disampaikan berkaitan dengan adanya putusan inkrah (berkekuatan hukum tetap) dari Pengadilan. Namun, terdapat kejanggalan karena putusan tersebut diduga kuat kembali digugat, meskipun secara hukum seharusnya sudah final dan mengikat dari Mahkamah Agung (MA). 

Beberapa waktu kemudian, kami kembali bertemu, kali ini dengan kehadiran Bapak Basnur. Menurut informasi dari Bapak Basnur, yang juga merupakan pihak keluarga dari ZA, diketahui bahwa sengketa tersebut berkaitan dengan gugatan harta bersama (gono-gini) antara DE dan ZA di Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

Bapak Basnur menjelaskan bahwa konflik bermula dari gugatan yang diajukan oleh DE terhadap ZA terkait pembagian harta bersama setelah 40 tahun pernikahan mereka, yang diduga kandas akibat kehadiran orang ketiga. 

Sidang digelar di Pengadilan Agama Jakarta Pusat, tepatnya di Jalan Rawasari Selatan No. 51, RT 14/9, Kelurahan Rawasari, Kecamatan Cempaka Putih.

Setelah proses perceraian selesai, ZA menggugat pembagian harta bersama. Pada tahun 2022, beberapa gugatan tersebut diterima dan dikabulkan. Namun, DE yang tidak puas dengan hasilnya mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi, tetapi ditolak. Ia lalu mengajukan kasasi ke MA, namun kembali kandas.

Berdasarkan informasi Bapak Basnur, pengacara ZA kemudian mengajukan permohonan eksekusi atas putusan yang telah inkrah berdasarkan Putusan MA No. 798 K/Ag/2023 tanggal 14 Agustus 2023. Sebagaimana diketahui, putusan kasasi MA merupakan putusan akhir dan memiliki kekuatan hukum tetap.

Bapak Basnur juga menjelaskan bahwa amar putusan tersebut — yaitu Putusan MA No. 798 K/Ag/2023 14 Agustus 2023, jo. Putusan Pengadilan Tinggi Agama DKI Jakarta No. 218/Pdt.G/2022/PTA.JK tanggal 30 Desember 2022 jo. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No. 356/Pdt.G/2022/PA.JP tanggal 26 Oktober 2022. Dalam putusan tersebut menyatakan bahwa, apabila pembagian harta tidak dapat dilakukan secara natura, maka harus dilakukan melalui pelelangan oleh Kantor Lelang Negara, dan hasilnya dibagi sesuai porsi masing-masing pihak, yakni 1/2 (seperdua) bagian. 

Pengadilan Agama telah memanggil kedua belah pihak untuk melaksanakan eksekusi putusan. Namun, DE tidak pernah hadir hingga pemanggilan ketiga. Oleh karena itu, eksekusi tetap harus dijalankan sesuai putusan Mahkamah Agung atau MA.

Meski demikian, menurut informasi Bapak Basnur, hingga kini putusan MA No. 798 belum juga dilaksanakan. Ironisnya, DE kembali mendaftarkan gugatan kedua dengan No. 808/Pdt.G/2024/PA.JP. Namun gugatan tersebut kemudian dicabut. Hal ini atas anjuran Hakim karena kasus ini telah diputus atau inkrah. Tak lama kemudian, DE kembali mengajukan gugatan ketiga dengan 85/Pdt.G/2025/PA.JP. Gugatan ketiga inilah yang menimbulkan pertanyaan dari pihak keluarga ZA.

Bapak Basnur juga menyampaikan bahwa ketika gugatan ketiga tersebut dipertanyakan, petugas panitera menyerahkannya ke PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu) PA Jakarta Pusat. Seorang staf PTSP yang berinisial I menjelaskan bahwa siapa pun berhak mengajukan gugatan, dan pengadilan tidak berwenang menolak. Hakimlah yang akan menentukan apakah perkara tersebut sama atau tidak dengan perkara yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrah).

Atas dasar ini, pihak keluarga ZA mempertanyakan mengapa putusan Mahkamah Agung (MA) No. 798 belum juga dieksekusi, sementara DE justru kembali mengajukan gugatan di tingkat pertama. Hal yang lebih memprihatinkan adalah kondisi ZA saat ini yang merupakan seorang wanita lanjut usia, berumur sekitar 70 tahun.

Asas Ne Bis In Idem dan Syarat Mutlak dalam Pengaduan ke KY dan Pelaporan ke APH

Dalam sistem hukum modern yang menjunjung tinggi keadilan, konsistensi, dan kepastian hukum, terdapat satu asas fundamental yang tidak boleh diabaikan oleh para penegak hukum, khususnya para hakim, yaitu asas ne bis in idem. Asas ini menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dituntut atau diadili dua kali atas perkara yang sama yang telah memperoleh putusan tetap atau inkrah (inkracht van gewijsde).

Asas ne bis in idem tidak hanya menjadi bagian integral dalam hukum pidana nasional, tetapi juga merupakan prinsip universal dalam hukum internasional. Ia berfungsi sebagai pelindung hak asasi manusia untuk mencegah seseorang menjadi korban ketidakadilan akibat diadili lebih dari sekali atas perbuatan hukum yang sama. Dengan demikian, asas ini menjamin kepastian hukum dan menjaga integritas sistem peradilan.

Namun, dalam praktiknya, mungkin saja tidak sedikit hakim yang boleh jadi menafsirkan atau bahkan mengabaikan asas ini secara keliru. Dalam beberapa kasus, mungkin terjadi upaya penuntutan ulang terhadap seseorang yang sebelumnya telah bebas demi hukum atau telah dijatuhi putusan berkekuatan hukum tetap. Jika terjadi, praktik semacam ini jelas bertentangan dengan prinsip due process of law.

Prinsip due process of law merupakan jaminan konstitusional agar setiap individu diperlakukan secara adil, rasional, dan tidak sewenang-wenang dalam seluruh proses peradilan. Pelanggaran terhadap prinsip ini membuka ruang bagi penyalahgunaan wewenang dan mencederai keadilan.

Penerapan asas ne bis in idem sangat penting, tidak hanya dalam hukum pidana tetapi juga dalam perkara perdata dan agama, termasuk kasus pembagian harta gono-gini di Pengadilan Agama. Artinya, jika suatu perkara yang sama (subjek dan objeknya identik) telah diputus dengan putusan yang telah inkrah, maka perkara tersebut tidak dapat diajukan kembali.

Meskipun begitu, kewenangan hakim untuk memeriksa dan menilai suatu perkara tetap harus dihormati. Salah satu syarat utama agar suatu perkara dinyatakan sebagai ne bis in idem adalah bahwa putusannya telah berkekuatan hukum tetap. Namun, tidak semua putusan inkrah secara otomatis menghalangi penuntutan ulang. Penilaian terhadap penerapan asas ini tetap menjadi kewenangan hakim.

Dalam praktiknya, boleh jadi tidak setiap perkara dapat serta-merta dikategorikan sebagai ne bis in idem. Hakim berwenang memeriksa dan memutuskan apakah perkara tersebut memenuhi unsur-unsur yang diperlukan.

Sebagai warga negara, siapa pun memang berhak mengajukan gugatan, dan tidak ada yang dapat melarangnya. Namun, penting bagi hakim, terutama di Pengadilan Agama, untuk mempertimbangkan dengan serius asas ne bis in idem sebelum melanjutkan proses persidangan. Di sisi lain, pihak tergugat juga wajib menghormati seluruh proses hukum yang berjalan demi menjaga marwah peradilan.

Secara pribadi, saya dapat memahami persoalan kasus gugatan kembali dari pihak DE tersebut. Boleh jadi kasus ini lanjut karena hakim menilai ada perbedaan substansi gugatan. Namun saya juga akan merasa prihatin apabila terjadi pengabaian terhadap asas ne bis in idem. Betapa sedihnya jika hal serupa menimpa orang tua atau keluarga kita sendiri. Dalam konteks ini, apabila gugatan yang diajukan oleh pihak DE memiliki substansi yang sama dengan perkara sebelumnya yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrah), maka secara hukum, gugatan tersebut seharusnya tidak diperiksa kembali.

Dalam hal ini, jika ZA merasa bahwa gugatan tersebut melanggar asas ne bis in idem, maka ZA berhak mengajukan pengaduan kepada Komisi Yudisial (KY). Jika ditemukan indikasi Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), maka laporan juga dapat disampaikan kepada Aparat Penegak Hukum (APH) seperti Kejaksaan, Kepolisian, atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Namun, perlu ditekankan bahwa pengaduan ke KY atau pelaporan ke APH harus disertai dengan alasan yang logis dan bukti yang cukup. Tanpa adanya bukti yang relevan dan memadai, pengaduan tersebut tidak akan dapat diproses karena menyangkut prosedur hukum yang wajib dihormati oleh semua pihak.

Setiap orang perlu memahami bahwa pengadilan tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun. Independensi hakim merupakan pilar utama dalam menjamin keadilan dan objektivitas dalam proses peradilan. Putusan yang dijatuhkan oleh hakim adalah tanggung jawab penuh dari hakim atau majelis hakim, tanpa campur tangan dari pihak luar manapun.

Namun demikian, hakim tetap wajib menjalankan prinsip kehati-hatian, terutama dalam menangani perkara yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkrah), termasuk memperhatikan asas ne bis in idem. Asas ini bukan sekadar prinsip normatif, tetapi merupakan benteng keadilan yang harus dijaga dan ditegakkan dalam setiap proses hukum di Indonesia. Urgensi penegakan asas ini tidak boleh diabaikan, karena berkaitan langsung dengan kepastian hukum dan perlindungan hak asasi para pencari keadilan.

Sebagai penutup dari artikel ini, izinkan saya menyampaikan satu hal penting yang dapat menjadi pedoman hidup bagi kita semua. Yaitu, agar kita senantiasa menjauhkan diri dari perbuatan zalim di muka bumi ini, karena Allah SWT pasti akan membalas setiap kezaliman dengan azab yang besar.
Hal ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya, Surah Al-Furqan ayat 19: “Barangsiapa di antara Kami yang berbuat zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya azab yang besar.”

Mengambil harta orang lain tanpa alasan yang benar juga merupakan perbuatan zalim yang dimurkai oleh Allah SWT. Perilaku seperti ini tidak hanya melanggar hukum manusia, tetapi juga melanggar hukum Allah.