Tunggakan Pajak Mobil yang Ditumpangi Jokowi Dibayar : Keteladanan yang Terlanjur Terluka Tetap Menjadi Sorotan Publik

Sugiyanto (SGY)-Emik

MESKIPUN pada 1 Mei 2025 pajak kendaraan itu telah dilunasi dan statusnya telah aktif hingga 3 Maret 2026, persoalan tidak serta-merta selesai

Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)

Pagi ini, 1 Mei 2025, saya menulis sebuah artikel berjudul “Keteladanan yang Tercoreng karena Mobil Nunggak Pajak: Bayangan Simbolik dan Etika di Balik Laporan Jokowi serta Potensi Masalah Baru.” Tulisan tersebut terinspirasi oleh unggahan seorang teman dalam grup WhatsApp, yang membagikan pemberitaan dari media online RMOL (REPUBLIK MERDEKA).

Sekitar pukul 12:21 siang di hari yang sama, teman saya kembali memposting berita lanjutan dari media yang sama dengan judul, “Mobil yang Ditumpangi Jokowi saat Melapor ke Polda Metro Jaya Akhirnya Bayar Pajak.” Fakta ini mendorong saya menulis artikel lanjutan ini sebagai respons sekaligus penegasan bahwa berita tersebut benar adanya. Tulisan artikel ini pun juga merujuk pada pemberitaan media online RMOL (REPUBLIK MERDEKA) tersebut, dengan tetap merujuk pada ketentuan asas praduga tak bersalah, yakni jika data dan informasi lainnya juga benar.

Sebagaimana saya singgung dalam tulisan sebelumnya, pada 30 April 2025 publik dikejutkan dengan kabar bahwa kendaraan Toyota Kijang Innova hitam dengan nomor polisi B 2329 SXI yang ditumpangi Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo, saat mendatangi Polda Metro Jaya untuk melaporkan dugaan fitnah ijazah palsu, ternyata tercatat menunggak pajak lebih dari Rp6,3 juta. Jumlah tersebut mencakup denda Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ).

Meskipun pada 1 Mei 2025 pajak kendaraan itu telah dilunasi dan statusnya telah aktif hingga 3 Maret 2026, persoalan tidak serta-merta selesai. Justru, sorotan publik kini lebih tertuju pada aspek simbolik dan etis. Hal ini menjadi semakin signifikan karena kendaraan tersebut diketahui terdaftar atas nama PT Indonesia Berlian Yasawirya, perusahaan milik putri Jokowi, Kahiyang Ayu.

Secara hukum, penggunaan kendaraan yang menunggak pajak memang masih diperbolehkan selama STNK masih berlaku. Namun publik tidak hanya menilai dari sisi legalitas, melainkan juga dari sisi moral dan simbolik, terlebih ketika yang bersangkutan adalah seorang mantan presiden yang masih memiliki pengaruh besar di ruang publik dan politik nasional.

Sebagai tokoh publik, setiap tindakan dan simbol yang melekat pada Jokowi akan selalu menjadi sorotan. Penggunaan kendaraan yang menunggak pajak dalam kegiatan resmi—apalagi dalam konteks pelaporan hukum yang disorot luas oleh media dan dikawal Paspampres—memperlihatkan adanya kelalaian administratif yang melukai citra keteladanan.

Kelalaian kecil semacam ini memiliki dampak besar dalam dunia politik yang sangat sensitif terhadap simbol dan persepsi. Fakta bahwa kendaraan tersebut dimiliki oleh perusahaan anak Jokowi membuka ruang bagi publik untuk mempertanyakan kepatuhan pajak atas aset-aset lain yang dimiliki keluarga mantan presiden, terutama yang dikelola melalui badan usaha.

Kahiyang Ayu, selaku pemegang saham mayoritas sekaligus direktur PT Indonesia Berlian Yasawirya, seharusnya memikul tanggung jawab administratif secara penuh untuk memastikan tidak terjadi pelanggaran pajak sekecil apa pun. Jika status sosial menjadikannya dekat dengan lingkar kekuasaan, maka hal ini juga tidak dapat dijadikan alasan atas kekhilafan administratif. Jika hal ini dijadikan alsannya, maka sangat mudah dimaknai publik sebagai bentuk ketidakadilan dalam penerapan hukum dan tata kelola birokrasi negara.

Peristiwa ini seyogianya menjadi momentum refleksi atas pentingnya integritas dan kepatuhan administratif dari seluruh tokoh publik, tanpa kecuali. Rakyat menaruh harapan dan standar tinggi terhadap para pemimpin, tidak hanya saat mereka menjabat, tetapi juga setelah purna tugas. Keteladanan adalah warisan moral yang tidak boleh dikoyak oleh kelalaian, seberapapun kecilnya.

Tindakan cepat dalam melunasi tunggakan memang patut diapresiasi. Namun hal itu belum cukup untuk menghapus bekas simbolik dari peristiwa ini. Diperlukan langkah korektif menyeluruh, sistem administrasi yang lebih tertib, dan kesadaran tinggi bahwa tindakan kecil pun dapat merusak kredibilitas yang dibangun bertahun-tahun.

Keteladanan bukan soal besar atau kecilnya tindakan, melainkan soal konsistensi dan kesadaran moral. Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang tak hanya patuh hukum, tetapi juga menjadi contoh nyata dalam tanggung jawab sosial dan etika publik.

Sebagai informasi tambahan, mobil Toyota Kijang Innova hitam bernopol B 2329 SXI yang digunakan Jokowi pada 30 April 2025 saat melapor ke Polda Metro Jaya memang telah dilunasi pajaknya. Mobil ini terdaftar atas nama PT Indonesia Berlian Yasawirya yang berkantor di Cilandak, Jakarta Selatan, dan memiliki 55 bidang usaha. Kahiyang Ayu menjabat sebagai direktur sekaligus pemegang saham mayoritas, sementara Meingga Mahaning Nurwahridya tercatat sebagai komisaris.

Dalam kunjungannya ke Polda Metro Jaya, Jokowi tampil mengenakan batik cokelat dan dikawal oleh Paspampres. Ia secara resmi melaporkan lima orang atas dugaan pencemaran nama baik dan pelanggaran UU ITE terkait tuduhan penggunaan ijazah palsu. 

Namun, alih-alih fokus tertuju pada substansi laporan, perhatian publik justru bergeser ke kendaraan yang ditumpanginya. Inilah paradoks dari kekuasaan simbol: satu kelalaian kecil bisa mengganggu narasi besar tentang keteladanan seorang pemimpin.