Teror Kepala Babi untuk Wartawan Tempo : Bentuk Ketakutan Pelaku, Negara Harus Bertindak Melindungi Kebebasan Pers

Foto: INT/IST – Nama Tempo, Gambar Film The Godfather, dan Gambar teror kepala Babi dan Ilustrasi Kepala Kuda

ANCAMAN terhadap jurnalis, baik dalam bentuk teror fisik maupun simbolik, merupakan serangan terhadap kebebasan pers dan hak publik untuk memperoleh informasi

Oleh : Sugiyanto (SGY)

Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)

Sejatinya, saya enggan menulis karena Ramadan. Namun, sekali lagi, saya merasa perlu menyampaikan ini karena saya adalah pencinta kebebasan pers. Apalagi, kasus ini berkaitan dengan teror kepala babi yang dikirim kepada wartawan Tempo. Rasanya saya berdosa jika tidak membela kebebasan pers, khususnya dengan memberikan dukungan moral kepada jurnalis Tempo. Teror kepala babi yang diterima oleh wartawan Tempo, Francisca Rosana (Cica), bukan sekadar ancaman fisik, melainkan bentuk intimidasi yang sarat dengan pesan simbolik.

Dalam sejarah mafia Italia, pengiriman bangkai hewan sebagai ancaman adalah metode kuno untuk menanamkan rasa takut kepada lawan. Mafia sering menggunakan simbol tertentu dalam meneror target mereka, salah satu yang paling terkenal adalah pengiriman potongan kepala kuda—seperti yang ditampilkan dalam film The Godfather (1972). Dalam film tersebut, adegan ikonik ini melibatkan Marlon Brando sebagai Vito Andolini Corleone (Don Vito Corleone) dan Al Pacino sebagai Michael Corleone.

Penggunaan potongan kepala kuda dalam The Godfather (1972) bahkan mendapat tentangan dari para pencinta hewan. Saya sendiri tidak tega menampilkan tangkapan layar adegan tersebut dan lebih memilih foto kepala kuda yang masih utuh. Seharusnya, pencinta hewan di Indonesia dan dunia juga bersuara keras menentang teror terhadap wartawan Tempo yang menggunakan kepala babi sebagai alat intimidasi.

Dalam konteks teror tersebut, penggunaan kepala babi yang terpenggal sering kali menjadi simbol penghinaan dan teror psikologis. Dalam berbagai praktik kriminal maupun budaya tertentu, kepala babi digunakan untuk mengekspresikan kebencian mendalam serta sebagai peringatan bagi target yang dituju.
Dalam kasus teror terhadap media dan jurnalis, pesan yang ingin disampaikan jelas: mereka ingin mengintimidasi agar penyelidikan dihentikan, atau sebaliknya, menghadapi konsekuensi yang lebih serius.

Tindakan teror tersebut mengindikasikan adanya kemarahan dari pihak yang merasa terancam oleh pemberitaan jurnalistik Cica. Investigasi yang ia lakukan tampaknya telah 
menyentuh kepentingan kelompok tertentu yang memiliki kekuasaan atau kepentingan besar dalam suatu kasus. Namun, kemarahan ini tidak berdiri sendiri; ia bercampur dengan ketakutan bahwa kebenaran yang tengah diungkap bisa menyeret pelaku ke dalam eksposur publik atau konsekuensi hukum yang lebih besar.

Teror terhadap jurnalis bukanlah fenomena baru, terutama bagi mereka yang menyelidiki kasus korupsi, kekerasan, atau praktik ilegal lainnya. Tetapi justru di balik ancaman ini, terlihat betapa rentannya pelaku. Mereka tidak cukup percaya diri untuk menghadapi temuan jurnalistik secara terbuka dan memilih bersembunyi di balik ancaman anonim. Ketakutan ini menunjukkan bahwa mereka menyadari betul kekuatan jurnalisme dalam mengungkap fakta. 

Alih-alih membantah dengan bukti atau argumen yang sah, mereka justru memilih metode yang lebih primitif dan represif. Ini bukan sekadar aksi intimidasi, melainkan bukti nyata bahwa pelaku semakin terpojok. Tampaknya, mereka tak lagi mampu menghadapi jurnalis atau membantah hasil karya jurnalistik melalui mekanisme yang sah, seperti menggunakan hak jawab sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pers, atau melaporkannya ke institusi resmi, yakni Dewan Pers.

Ancaman terhadap jurnalis, baik dalam bentuk teror fisik maupun simbolik, merupakan serangan terhadap kebebasan pers dan hak publik untuk memperoleh informasi. Dalam masyarakat demokratis, segala bentuk upaya pembungkaman harus dilawan. Sebagai pilar keempat demokrasi, pers dan karya jurnalistik yang dihasilkannya harus mendapat perlindungan penuh dari negara.

Sebagaimana diketahui, peristiwa teror ini bermula pada Rabu, 19 Maret 2025, ketika kantor grup media Tempo di Palmerah Barat, Jakarta Selatan, menerima sebuah paket mencurigakan. Paket yang berisi kepala babi tersebut dikirim dalam kotak kardus berlapis styrofoam dan ditujukan langsung kepada Francisca Rosana atau Cica. Tidak ada identitas pengirim yang tertera, dan paket tersebut diserahkan oleh seorang kurir bermotor yang mengenakan helm ojek online.

Cica baru membuka paket tersebut pada Kamis, 20 Maret 2025, di ruang redaksi Tempo lantai IV, bersama rekannya, Hussein Abri Yusuf Muda Dongoran. Bau busuk segera tercium begitu kardus dibuka, dan setelah lapisan styrofoam disingkap, terlihat kepala babi dengan kedua telinganya terpotong serta masih berlumuran darah.

Pemimpin Redaksi Tempo, Setri Yasra, menduga kuat bahwa ini adalah bentuk teror terhadap karya jurnalistik Tempo. Redaksi pun segera melaporkan insiden ini ke Mabes Polri pada Jumat, 21 Maret 2025, didampingi Koalisi Keselamatan Jurnalis. Wakil Pemimpin Redaksi Tempo, Bagja Hidayat, menegaskan bahwa ini bukan kali pertama Tempo mengalami teror, meski sebelumnya bentuk ancaman lebih banyak berupa serangan bom molotov, perusakan kendaraan, atau intimidasi lewat telepon.

Lalu, bagaimana seharusnya kita, pemerintah, DPR, dan masyarakat, bersikap terhadap kasus teror ini? Menurut saya, semua pihak, terutama negara, memiliki tanggung jawab untuk menjamin kebebasan pers serta keselamatan jurnalis. 

Pemerintah, termasuk Presiden Prabowo Subianto, jajaran kementerian, dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), harus merespons insiden ini dengan tegas dan cepat.
Dalam kasus ini, Tempo telah melaporkan teror tersebut kepada aparat penegak hukum, yakni Kepolisian. Oleh karena itu, kasus ini harus diusut hingga tuntas hingga pelakunya terungkap dan mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Memperhatikan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa teror terhadap jurnalis Tempo, Cica, bukanlah kasus biasa. Kasus ini mengandung unsur upaya menghalangi kebebasan pers serta terselip ancaman terhadap jurnalis Cica. Mengingat kebebasan pers merupakan pilar keempat demokrasi, kasus ini harus menjadi perhatian dan mendapatkan pemantauan dari seluruh elemen masyarakat Indonesia. Bahkan, jika diperlukan, perhatian juga harus datang dari masyarakat internasional.