SURAT TERBUKA UNTUK MAJELIS KEHORMATAN MAHKAMAH KONSTITUSI (MK)

Foto Facebook Sugiyanto (SBY) /ist

SURAT TERBUKA UNTUK MAJELIS KEHORMATAN MAHKAMAH KONSTITUSI (MK) 

Nomor : ISTIMEWA-001/VII/2025

Perihal : Dugaan Pelanggaran Konstitusi dalam Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 dan Permohonan Sidang Etik Kepada Hakim MK serta Info Soal Kemungkinan Melakukan JR atas Putusan MK

Kepada Yth.
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Republik Indonesia (Masa Jabatan 02 Januari-31 Desember 2025). Jalan Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10110. 
di Tempat

Dengan hormat,

Perkenankan saya, Sugiyanto, dengan nama panggilan SGY atau Emik, warga DKI Jakarta, menyampaikan surat terbuka ini sebagai bentuk keprihatinan dan kepedulian terhadap arah demokrasi serta konstitusionalisme di Indonesia. Surat ini saya tujukan khususnya berkaitan dengan terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024.

Sebagai warga negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai konstitusi dan demokrasi, saya merasa terdorong untuk menyuarakan kritik serta kegelisahan publik atas putusan tersebut. Sebab menurut hemat saya, putusan MK ini berpotensi membawa konsekuensi serius terhadap kedaulatan rakyat, terutama dalam konteks prinsip-prinsip dasar yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Ringkasan Putusan dan Perubahan Fundamental

Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 menetapkan bahwa pemilu nasional dan pemilu daerah dipisahkan dengan jeda waktu minimal 2 tahun dan maksimal 2 tahun 6 bulan, atau 2,5 tahun. Dengan demikian, skema Pemilu Serentak Lima Kotak yang telah digunakan sejak 2019 secara resmi diakhiri.

Dampak Konstitusional dan Politik

Putusan ini menimbulkan dugaan bahwa MK telah melampaui batas kewenangannya dan bertindak sebagai legislator positif, suatu peran yang seharusnya berada di bawah kewenangan DPR dan Pemerintah.

Dalam Pasal 22E UUD 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa pemilihan umum (pemilu) diselenggarakan setiap lima tahun sekali untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD. 

Dengan memisahkan jadwal pemilu DPRD dari pemilu DPR, Mahkamah Konstitusi atau MK diduga telah menciptakan bentuk pemilu baru yang tidak diatur dalam konstitusi. Tindakan ini berpotensi melanggar Konstitusi yakni, prinsip keserentakan dan periodisasi lima tahunan sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945.

Selain itu, pemisahan jadwal tersebut membuka ruang bagi perpanjangan masa jabatan anggota DPRD dan Kepala Daerah yang berpotensi diperpajang tanpa proses elektoral. Di sisi lain, hal ini juga memungkinkan penunjukan Penjabat (Pj) Kepala Daerah untuk jangka waktu yang panjang tanpa melalui proses pemilu yang demokratis. Situasi ini selain berpotensi melanggar Konstitusi, juga patut diduga sebagai bentuk perampasan kedaulatan rakyat.

Putusan ini juga menimbulkan berbagai dampak serius lainnya, antara lain pemborosan logistik dan anggaran akibat pelaksanaan dua pemilu terpisah. 

Selain itu, juga dapat berpotensi terjadi fragmentasi legitimasi politik yang berpotensi mengganggu kesinambungan pemerintahan pusat dan daerah. Dampak lainnya adalah potensi munculnya kekaburan yurisdiksi dalam penyelesaian sengketa pemilu lokal, yang dapat memicu kembali konflik kewenangan antara MK dan MA, serta, ada kemungkinan bisa mengganggu stabilitas hukum dan politik di daerah.

Tidak dapat dimungkiri bahwa publik mencurigai adanya dugaan kepentingan politik jangka pendek di balik putusan ini. Dugaan kecurigaan tersebut cukup beralasan, terutama karena terbukanya celah bagi penempatan Pj Kepala Daerah dalam waktu yang lama—padahal posisi tersebut memiliki kewenangan luas namun tidak didasarkan pada legitimasi rakyat.

Jika dugaan tersebut benar, maka putusan Mahkamah Konstitusi atau MK tersebut dapat diduga—dan sekaligus dapat dipandang—sebagai bentuk pembajakan konstitusi. Terkait secara khusus dengan pemisahan antara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan pengangkatan Penjabat atau Pj Kepala Daerah, berikut beberapa catatan kaki yang ingin saya sampaikan:

“Untuk apa pemerintah, DPR, termasuk Mahkamah Konstitusi, membenarkan bahwa pilkada masuk ke dalam rezim pemilu. Sebelumnya, sengketa hasil pilkada ditangani oleh Mahkamah Agung (MA), kemudian dialihkan ke Mahkamah Konstitusi. Dahulu, pilkada dilaksanakaon secara terpisah-pisah di setiap daerah, namun kemudian dirancang melalui undang-undang untuk dilaksanakan secara serentak, mulai tahun 2024.”

Catatan kaki berikutnya adalah:

“Pilkada serentak ini merupakan penegasan terhadap amanat konstitusi yang menyatakan bahwa Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD. Dalam praktiknya, pilkada juga dimasukkan dalam kerangka Pemilu yang diselenggarakan secara serentak. Hal ini terjadi karena Pilkada telah dianggap sebagai rezim pemilu.”

Catatan kaki selanjutnya yaitu: 

“Lalu, mengapa putusan MK yang terbaru justru mengembalikan pilkada ke posisi semula—sebagai pemilihan yang terpisah dari pemilu nasional? Bukankah ini berarti kita kembali ke titik awal persoalan tata kelola pilkada yang sebelumnya telah coba diselesaikan melalui desain pemilu serentak? Apakah seluruh kebijakan mengenai pilkada serentak selama ini hanyalah uji coba atau semacam eksperimen tanpa perhitungan politik dan kalkulasi kebijakan yang matang? Siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas hal ini?”

Catatan kaki lainnya yakni:

“Keterpaksaan publik untuk menerima keberadaan Pejabat (Pj) Kepala Daerah demi terselenggaranya Pilkada Serentak 2024 merupakan bentuk pengorbanan besar dalam demokrasi. Jelas, ini adalah luka demokrasi yang semestinya tidak perlu terulang. Bagaimana mungkin, ketika rakyat seharusnya menggunakan hak demokrasinya untuk memilih kepala daerah secara langsung, justru hak tersebut dirampas oleh aturan yang tidak demokratis melalui mekanisme penunjukan Pj? Ini adalah preseden yang tidak boleh dibiarkan terjadi kembali.”

Preseden Sebelumnya: Pelanggaran Etik, Bukan Pembatalan Putusan

Sebagaimana kami ingat dalam Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, meskipun terbukti terjadi pelanggaran etik berat oleh Ketua MK saat itu, putusan tetap berlaku karena sifatnya final dan mengikat. Hal ini menegaskan bahwa satu-satunya jalan untuk menguji integritas putusan MK adalah melalui jalur etik, bukan pembatalan secara hukum.

Permohonan Surat Terbuka

Meskipun putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, hal tersebut tidak menjadikannya kebal terhadap evaluasi etik. Berdasarkan pemahaman ini, saya mengajukan permohonan melalui surat terbuka kepada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).

Surat terbuka ini saya sampaikan untuk mengajukan lima permintaan kepada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) sebagai berikut: 

Pertama, saya meminta agar MKMK melakukan penilaian terhadap dugaan pelanggaran etik, khususnya yang melibatkan hakim konstitusi dalam pengambilan Putusan No. 135/PUU-XXII/2024.
Dugaan pelanggaran tersebut mencakup berbagai tindakan, antara lain dugaan pelanggaran terhadap kode etik dan perilaku hakim, termasuk dugaan atau indikasi ketidakmandirian dan ketidakprofesionalan. Selain itu, terdapat pula dugaan bahwa putusan tersebut melanggar ketentuan dalam Konstitusi yang diduga berkaitan dengan norma etik, serta norma-norma etik lainnya yang relevan dalam proses pengambilan putusan.

Kedua, agar MKMK untuk mempertimbangkan bahwa pemilu yang diselenggarakan secara terpisah berarti harus menjalani dua kali tahapan, dua kali penggunaan anggaran, dua kali mobilisasi aparat keamanan dan logistik, serta dua kali lipat potensi kerawanan politik dan konflik sosial. Kondisi ini tentu akan menimbulkan beban anggaran yang sangat besar di tengah situasi ekonomi yang sulit dan utang negara yang masih tinggi.

Ketiga, agar MKMK mempertimbangkan bahwa potensi penundaan Pemilu DPRD dan pemilihan Kepala Daerah merupakan keputusan yang berpotensi dapat menghalangi hak dasar setiap warga negara. Dalam hal ini, khususnya bagi warga negara yang memiliki keinginan untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPRD atau Kepala Daerah di seluruh Indonesia pada Pemilu 2029 mendatang.

Selain itu, kondisi tersebut juga berpotensi melanggar Konstitusi, khususnya terkait ketentuan dasar mengenai kedaulatan yang berada di tangan rakyat. Prinsip ini tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Ketentuan ini bukan sekadar slogan, melainkan landasan konstitusional yang menegaskan bahwa rakyat adalah pemegang otoritas tertinggi dalam kehidupan bernegara, termasuk memilih pemimpimnya lewat Pemilu. 

Keempat, saya meminta agar MKMK menelusuri kemungkinan adanya intervensi eksternal, konflik kepentingan, atau dugaan motif politik yang menyimpang dalam proses pengambilan putusan tersebut.

Selain itu, saya juga mendorong MKMK untuk meninjau dan mengevaluasi kembali seluruh putusan Mahkamah Konstitusi yang mendasari argumentasi bahwa pilkada merupakan bagian dari rezim pemilu. Hal ini mencakup pula dasar hukum mengenai peralihan kewenangan penyelesaian sengketa pilkada dari Mahkamah Agung (MA) ke Mahkamah Konstitusi (MK), serta keterkaitannya dengan ketentuan bahwa pilkada serentak merupakan bagian integral dari pemilu.

Kelima, agar MKMK mendalami putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut dengan meninjau dari asas keadilan dan kemanfaatan. Prinsip ini menekankan pentingnya keadilan substantif dalam penegakan hukum. Asas keadilan dan kemanfaatan merupakan dua prinsip penting dalam hukum yang saling berkaitan. Asas keadilan menekankan pada pemberian hak dan kewajiban yang setara kepada semua pihak serta memastikan bahwa putusan hakim bersifat imparsial. Sementara itu, asas kemanfaatan menyoroti nilai guna dari suatu peraturan atau putusan hukum bagi individu maupun masyarakat secara luas. 

Dalam konteks ini, terdapat dugaan kuat bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 berpotensi menimbulkan kegaduhan berkepanjangan dalam ranah hukum tata negara, bahkan dapat menyebabkan kebuntuan (deadlock) konstitusional. Hal ini mungkin terjadi karena putusan tersebut ibarat buah simalakama: jika tidak dijalankan, dianggap melanggar Konstitusi; namun jika dijalankan, justru berpotensi menabrak Konstitusi itu sendiri.

Selain itu keputusan MK tersebut juga belum  sepenuhnya mencerminkan asas keadilan dan kemanfaatan secara memadai. 

Oleh karena itu, izinkan saya mengajukan pertanyaan kepada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK): Apakah, demi mempertimbangkan asas keadilan dan kemanfaatan serta demi menegakkan kepatuhan terhadap Konstitusi, putusan MK tersebut dapat dikesampingkan? Tentu saja, rakyat Indonesia menantikan jawaban yang jujur, adil, dan berjiwa kenegaraan dari MKMK.

Atas penyampaian lima poin dalam surat terbuka ini, saya memohon agar MKMK berkenan menyampaikan hasil evaluasinya secara terbuka kepada publik sebagai wujud transparansi, akuntabilitas, dan komitmen terhadap integritas lembaga peradilan konstitusi.

Selain menyampaikan surat terbuka ini, saya juga menginformasikan tentang kemungkinan mempertimbangkan untuk mengajukan judicial review (JR) terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut—kepada MK itu sendiri. Langkah ini tentu akan saya kaji secara mendalam dari berbagai aspek, termasuk landasan hukum serta kemungkinan implementasinya. 

Dalam konteks ini, jika jalur judicial review (JR) memang dimungkinkan untuk ditempuh, saya sangat berharap adanya dukungan dari pihak-pihak yang memiliki kesamaan pandangan. Saya juga berharap mereka bersedia memberikan dukungan konkret, termasuk jika diperlukan, mengambil langkah serupa secara bersama-sama.

Permintaan akan dukungan ini saya sampaikan karena saya hanyalah warga biasa yang peduli terhadap prinsip bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Kepedulian ini didasarkan pada komitmen untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip dasar demokrasi, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi, peraturan perundang-undangan, dan hukum positif lainnya yang berlaku.

Saya menyadari bahwa tidak ada lembaga atau individu yang dapat membatalkan putusan MK. Namun, sebagai warga negara, saya merasa memiliki hak dan kewajiban untuk menjaga marwah demokrasi dan supremasi konstitusi. Jika MK, sebagai penjaga konstitusi, mulai menafsirkan UUD 1945 secara lentur, maka masa depan demokrasi kita mungkin bisa berada dalam ancaman.

Pertanyaan mendasar pun muncul: Jika MK sendiri melanggar konstitusi, siapa yang memiliki kewenangan untuk membatalkannya? Siapa sebenarnya yang menjaga konstitusi? Apakah jawabannya tetap rakyat?

Karena itu, saya berharap MKMK dapat merespons surat terbuka ini. Selain itu, saya juga memohon agar MKMK dapat menjalankan tugasnya secara objektif, profesional, dan berpihak kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.

Demikianlah surat terbuka ini saya sampaikan kepada MKMK. Harapannya, surat ini dapat dimaklumi dan diterima, meskipun berasal dari seorang warga awam seperti saya.

Sebagai penutup, izinkan saya menyampaikan sebuah peribahasa: “Marah akan tikus, rengkiang dibakar.” Artinya, karena marah atau tidak suka terhadap sesuatu yang kecil, seseorang justru merusak atau mengorbankan sesuatu yang jauh lebih besar dan berharga yang berkaitan dengan hal kecil tersebut.

Namun saya meyakini putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak mencerminkan peribahasa ini.

Saya berharap seluruh rakyat Indonesia dapat bersama-sama menjaga konstitusi agar tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang mungkin bisa dilakukan dengan upaya membuka celah bagi penyimpangan tafsir. Dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa demokrasi berjalan sebagaimana mestinya—yakni dengan kekuasaan yang diperoleh melalui mandat rakyat dalam proses yang demokratis.

Hal ini tentu hanya dapat dicapai melalui pemilihan umum (Pemilu) yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, sesuai dengan ketentuan konstitusi. Ketentuan ini juga berlaku untuk pemilihan Kepala Daerah—Gubernur, Wali Kota, dan Bupati—yang harus dilaksanakan secara demokratis dan selaras dengan prinsip-prinsip Pemilu sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945.

Hormat saya,
Ttd
Sugiyanto (SGY)–Emik