Semiotika Politik Got
Ada yang bilang, pejabat yang kecemplung (bukan inspeksi) got itu adalah tanda-tanda alam tentang keruntuhannya. Wuihh… serem.
Oleh: Andre Vincent Wenas
Pemerhati Ekonomi-Politik
Akhirnya got naik kelas. Jadi wacana dunia sosial-politik nasional!
Ada yang masuk got untuk inspeksi saluran, dan ada juga yang masuk got lantaran kecemplung.
Inspeksi, itu artinya ya memeriksa on-the-spot (turba, turun ke bawah), kerja lapangan, kerja nyata, untuk memastikan segala sesuatunya berjalan sesuai rencana. Ini sering tidak disukai oleh bawahan yang malas dan sukanya kasih laporan ABS (asal bapak senang).
Kecemplung, ya bisa gara-gara meleng, takabur, atau tidak waspada atau malah tidak peduli pada keadaan lingkungan, lantaran sibuk dengan hal lain. Istilah dalam manajemen sering diolok sebagai, “Semua kerjaan beres kecuali kerjaan utama, semua tugas dikerjakan kecuali tugas utama.”
Akhirnya semiotika politik got yang lagi naik daun akhir-akhir ini pun mengundang banyak tafsiran.
Ada yang bilang, pejabat yang kecemplung (bukan inspeksi) got itu adalah tanda-tanda alam tentang keruntuhannya. Wuihh… serem.
Yah, kalau ingat cerita Prof. C.A. van Peursen (Strategi Kebudayaan), memanglah masyarakat kita dikenal masih hidup dalam tiga tahapan alam budaya sekaligus.
Ada yang masih di tahapan Mitis, yaitu sikap manusia dirinya masih merasa dikepung oleh berbagai kekuatan gaib di sekitarnya. Banyak dewa-dewi alam raya, penguasa kesuburan, api, keberuntungan, kesehatan (kejantanan), dan berbagai proyeksi minat atau hasrat lainnya masih eksis dalam pentas mitos kita semua.
Lalu ada juga yang berada di tahapan Ontologis. Yaitu mereka yang tidak lagi hidup dalam kepungan kuasa mitis, melainkan sudah bebas dan malah ingin meneliti segala hal. Mereka bisa mengambil jarak (distansi) terhadap obyek yang dulu dirasakan mengepung mereka (mitos). Ia mulai berteori tentang hakikat segala sesuatu (ontologi).
Kemudian ada yang sudah di tahapan Fungsional. Ini sikap dan alam pikiran yang tidak terpesona lagi oleh hal mitis. Juga ia tidak cuma ambil jarak dari obyek penyelidikannya (seperti sikap ontologis), ia melangkah lebih jauh dengan membuat semacam relasi atau suatu kebertautan yang baru terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya. Obyek dipandang menurut peran atau fungsi yang dimainkan dalam relasi keseluruhan yang saling bertautan.
Tak usah terlalu pusing dengan teori di atas. Kita sadari saja bahwa semiotika got yang barusan naik daun ini memang bisa membantu menjelaskan fenomena politik kontemporer kita.
Bahwa got atau selokan itu adalah saluran air (kotor) yang secara fungsional adalah untuk menyalurkan air pembuangan dan/atau air hujan untuk dibawa ke suatu tempat agar tidak menjadi masalah bagi lingkungan dan kesehatan.
Begitu menurut penjelasan di Wikipedia. Lalu penjelasan lanjutannya, selokan umumnya terdapat di pinggir jalan, didesain untuk mengalirkan kelebihan air hujan dan air permukaan dari jalan raya, tempat parkir, sisi jalan, dan atap.
Secara teknis keterangannya begini, besarnya selokan dihitung atas dasar curah hujan tertinggi, aliran air buangan ataupun air tanah (khususnya didaerah pegunungan), ataupun dari waduk untuk mengalirkan air keperluan irigasi. Kalau kekecilan dapat mengakibatkan air dari selokan meluap keluar dari selokan bahkan dapat mengakibatkan banjir.
Agar air dalam selokan dapat berjalan dengan lancar perlu dilakukan perawatan selokan secara reguler untuk membuang aliran air dari sampah.
Jadi, kita mau melihatnya secara praktis dan sederhana saja.
Bahwa memang perlu got (selokan, saluran air) itu diinspeksi secara rutin. Diinspeksi itu artinya yang dilihat dan diperiksa adalah got itu sendiri. Diteliti dan diperiksa, jikalau got itu adalah saluran air yang besar ukurannya mungkin perlu turun ke bawahnya untuk diperiksa.
Lalu kalau got itu tidak ada penutupnya, dan dirasa bisa membahayakan warga (terutama untuk anak kecil dan ibu hamil misalnya), ya mestilah dipasang penutupnya.
Karena kalau tidak diperiksa (diinspeksi) dengan teliti, risikonya bisa mampet, atau malah kecemplung sendiri. Apa lagi kalau intensi jalan-jalan di perkampungan kota itu bukan untuk kerja inspeksi, tapi cuma untuk pencitraan, yah bablaslah…
Masyarakat pun bisa belajar dari semiotika got, atau politisasi got ini. Bahwa memilih pemimpin yang mau merendahkan diri untuk turun memeriksa ke bawah itu ternyata lebih baik, dari pada memilih mereka yang hanya mendongak ke atas sambil melambai-lambaikan tangan dan mengabaikan eksistensi got yang ada di bawah sana.
Namun semua sudah terjadi. Apa boleh buat.
Kita hanya mau bilang, jangan terlalu kecil hati, masih banyak kok got di Jakarta yang perlu diinspeksi.
The End.
Ket :
Tulisan ini dikutip dari FB Andre Vincent Wenas, MM,MBA.