Rekening Dormant Diblokir, Potensi Abuse of Power dan Ancaman Rush Money: Presiden Prabowo Harus Evaluasi Kepemimpinan Kepala PPATK

Foto-IST-Sugiyanto (SGY)-Emik

KEBIJAKAN pemblokiran massal terhadap seluruh rekening dormant tanpa verifikasi yang jelas atas penyalahgunaan adalah bentuk tindakan yang tidak proporsional dan cenderung otoriter.

Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)

Sebelum melanjutkan tulisan ini, izinkan saya menyampaikan sebuah peribahasa: “Buruk rupa cermin dibelah.”

Sungguh saya sedang enggan menulis artikel, lantaran banyak urusan pekerjaan dan tanggung jawab lainnya. Namun pemberitaan terbaru mengenai Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang memblokir rekening dormant (tidak aktif) sangat mengganggu pikiran.

Akhirnya, otak saya bersatu dengan jemari yang menari-nari di atas layar ponsel, menghasilkan tulisan ini.

Diketahui bahwa PPATK secara berkala bekerja sama dengan perbankan dalam melakukan pemblokiran terhadap rekening yang dianggap dormant. Rekening dormant sendiri adalah, rekening yang tidak aktif dalam kurun waktu tertentu, biasanya 3 hingga 12 bulan sesuai dengan kebijakan masing-masing bank.

Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, menyatakan bahwa langkah ini diambil karena rekening dormant sering disalahgunakan untuk aktivitas ilegal. Beberapa pelanggaran diantaranya yakni, seperti judi online, pinjaman ilegal, hingga transaksi narkotika.

Menurut keterangan Ivan dalam sejumlah media, hingga tahun 2024 tercatat lebih dari 28.000 rekening digunakan untuk aktivitas deposit perjudian online. Selain itu, dikatakan Ivan bahwa banyak di antaranya adalah rekening dormant yang berpindah tangan. Ia menyebut rekening jenis ini sebagai salah satu modus favorit dalam transaksi ilegal, karena sifatnya yang pasif dan sering kali lepas dari pantauan pemilik aslinya.

Namun, kebijakan pemblokiran massal terhadap seluruh rekening dormant tanpa verifikasi yang jelas atas penyalahgunaan adalah bentuk tindakan yang tidak proporsional dan cenderung otoriter. Jika semua rekening yang tidak aktif diperlakukan sama dan langsung diblokir tanpa dasar bukti pelanggaran, maka ini adalah kebijakan ngawur yang berpotensi melanggar prinsip hukum dan hak keuangan warga negara.

Kebijakan seperti ini jelas membuka ruang bagi praktik abuse of power, di mana otoritas menggunakan kewenangannya secara berlebihan dan sewenang-wenang. Selain itu, implikasi dari tindakan ini tidak main-main.

Jika masyarakat merasa ketakutan dan mulai kehilangan kepercayaan terhadap keamanan dan hak akses terhadap dana mereka sendiri, maka bukan tidak mungkin terjadi penarikan dana besar-besaran atau rush money yang membahayakan stabilitas sistem perbankan nasional. Saat Nasabah Panik, Bank Tak Lagi Berdaya.

Bank didirikan bukan hanya sebagai tempat menyimpan uang, tetapi sebagai pilar utama penggerak ekonomi, tempat distribusi pinjaman produktif, serta sarana transaksi keuangan yang sah.

Sementara, tujuan masyarakat menabung di bank adalah untuk keamanan dana, perencanaan masa depan, kebutuhan pendidikan, pensiun, hingga keperluan darurat.

Oleh karena itu, menabung di bank adalah bagian dari kontrak kepercayaan yang tidak boleh dilanggar secara sepihak oleh lembaga mana pun, termasuk PPATK.

Jika PPATK mencurigai adanya penyalahgunaan rekening tertentu, semestinya dilakukan pemeriksaan dan penelusuran berbasis data intelijen dan hasil audit forensik, bukan langsung melakukan pemblokiran massal hanya karena status “dormant”.

Kebijakan seperti ini juga dapat dianggap bertentangan dengan prinsip kehati-hatian (prudential principle) dalam sistem keuangan. Selain itu hal ini juga bisa berpotensi melanggar UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, serta UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) jika tidak dilakukan secara akuntabel dan transparan.

Sebagaimana diketahui, sejumlah anggota DPR RI juga telah menyampaikan keprihatinan mereka terhadap kebijakan ini. Mereka mempertanyakan akuntabilitas tindakan PPATK dan meminta penjelasan yang lebih komprehensif agar tidak menimbulkan keresahan publik.

Kita tentu mendukung pemberantasan kejahatan keuangan dan pencucian uang. Tapi langkah-langkah yang diambil harus tetap menjunjung tinggi prinsip keadilan, transparansi, dan tidak melanggar hak dasar finansial masyarakat.

Pemerintah, khususnya Presiden Prabowo Subianto, perlu segera mengevaluasi kinerja dan kepemimpinan Kepala PPATK Ivan Yustiavandana. Sebab, jika kebijakan seperti ini dibiarkan, maka bukan hanya reputasi perbankan yang rusak, tetapi juga kepercayaan publik terhadap negara.

Sebagai penutup, izinkan saya mengutip kembali peribahasa: “Buruk rupa cermin dibelah,” beserta maknanya.

Peribahasa ini mengandung pesan bahwa seseorang yang tidak mau mengakui kesalahan atau kekurangannya sendiri cenderung menyalahkan orang lain atau keadaan sebagai kambing hitam. Padahal, solusi sejatinya terletak pada kesediaan untuk bercermin, mengakui kekurangan, dan berupaya memperbaikinya.

Dengan demikian, dalam menyikapi kebijakan PPATK yang memblokir rekening dormant, publik jangan sampai menafsirkan bahwa tindakan tersebut adalah bentuk ketidakmampuan dalam mengidentifikasi rekening dormant yang benar-benar bermasalah, sehingga diambil jalan pintas dengan memblokir semua rekening dormant milik nasabah.

Dalam konteks ini, negara seharusnya memberikan rasa aman dan nyaman kepada rakyatnya—bukan justru menimbulkan kecemasan dan ketakutan. Negara harus melindungi, bukan mencurigai rakyatnya secara serampangan.