Pramono Gubernur yang Baik Hati, Tapi Perlu Juga Galak dan Tegas: Perlu Ganti Pejabat yang Lebih dari 5 Tahun, dan Bisa Copot yang di Bawah 2 Tahun

Sebelum melanjutkan artikel ini, saya ingin menegaskan hal berikut: “Artikel ini saya tulis agar para pejabat dan pimpinan BUMD tidak memanfaatkan atau berlindung di balik kebaikan hati Gubernur Pramono Anung atas kesalahan maupun kegagalan kinerjanya. Sistem reward and punishment perlu ditegakkan demi mendukung keberhasilan visi dan misi Gubernur dan Wakil Gubernur Pramono–Rano dalam mewujudkan Jakarta sebagai kota global yang maju dan masyarakatnya sejahtera.”
Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)
Dari pengamatan saya, seluruh tindakan dan sikap Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung selama ini dijalankan dengan penuh kebijaksanaan, kelembutan, dan kebaikan hati. Namun, sejauh ini ia tampaknya belum menunjukkan ketegasan yang kuat dan sikap “galak,” khususnya dalam hal pemberian sanksi kepada pejabat maupun pihak lain yang seharusnya paling bertanggung jawab.
Namun, dalam hal kinerja dan tanggung jawab, tidak perlu diragukan. Sejak dilantik pada 20 Februari 2025 oleh Presiden Prabowo Subianto, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung bergerak cepat menata kota dan membenahi birokrasi. Ia datang dengan modal besar: pengalaman panjang sebagai Sekretaris Kabinet selama dua periode di era Presiden Joko Widodo.
Politikus senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini dikenal memiliki rekam jejak politik yang kuat serta komitmen nyata terhadap reformasi birokrasi dan peningkatan pelayanan publik. Salah satu langkah strategis yang diambilnya adalah pelantikan serentak 59 dari 61 jabatan struktural pada 7 Mei 2025. Tindakan ini sekaligus mengakhiri praktik penunjukan Pelaksana Tugas (Plt) secara berkepanjangan.
Program 100 Hari Kerja Gubernur Pramono Anung dan Wakil Gubernur Rano Karno menunjukkan hasil nyata, dengan sejumlah target tercapai tepat waktu dan kinerja positif yang berlanjut.
Apresiasi publik terhadap kepemimpinan mereka tercermin dalam survei Litbang Kompas pada 10–14 Juni 2025, yang menunjukkan 64,5 persen responden puas terhadap kinerja Pramono, bahkan sebagian sangat puas. Temuan ini memperkuat legitimasi politik dan administratif pasangan Pramono-Rano.
Di luar aspek manajerial, Pramono Anung dikenal sebagai pemimpin yang cerdas, teliti, dan penuh empati. Ia sangat berhati-hati dalam menyusun kebijakan, namun tegas dalam memastikan anggaran digunakan secara efektif dan transparan. Komitmennya terhadap efisiensi APBD dan percepatan digitalisasi layanan publik mencerminkan keberpihakan pada prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Namun, karakter kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung yang lembut dan cenderung kompromistis perlu diimbangi dengan ketegasan, bahkan sikap galak jika diperlukan. Kebaikan hatinya bisa menjadi celah bagi pihak-pihak tertentu dan aktor-aktor oportunistik di Jakarta untuk mengejar kepentingan pribadi.
Gubernur Perlu Mengganti Pejabat yang Telah Menjabat Lebih dari 5 Tahun dan Bisa Mencopot Pejabat yang Belum Genap 2 Tahun Masa Tugas.
Memang terdapat ketentuan yang melarang kepala daerah untuk mengganti pejabat di lingkungan pemerintah daerah dalam enam bulan pertama sejak pelantikan. Dalam konteks ini, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung secara umum belum dapat melakukan penggantian pejabat, kecuali jika telah mendapat persetujuan dari Menteri Dalam Negeri. Sejauh ini, penggantian pejabat yang dilakukan Gubernur Pramono telah memperoleh persetujuan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Larangan penggantian juga berlaku bagi pejabat yang belum menjabat selama dua tahun, khususnya untuk Pejabat Pimpinan Tinggi (PPT). Namun, penggantian tetap dimungkinkan apabila mendapat persetujuan dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB).
Ketentuan ini diatur dalam Surat Edaran Menteri PANRB Nomor 19 Tahun 2023 tentang Mutasi/Rotasi Pejabat Pimpinan Tinggi yang Menduduki Jabatan Belum Mencapai 2 (Dua) Tahun. Selain itu, karena Gubernur Pramono Anung belum melewati enam bulan masa jabatan sejak dilantik pada 20 Februari 2025, setiap penggantian pejabat juga harus memperoleh persetujuan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Adapun terkait rotasi atau mutasi pejabat yang telah menjabat lebih dari lima tahun, memang belum diatur secara eksplisit dalam satu regulasi khusus.
Namun, isu tersebut pernah dibahas dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Manajemen ASN, yang bertujuan untuk mencegah stagnasi talenta serta mendorong rotasi jabatan sebagai bagian dari sistem manajemen karier aparatur. RPP tersebut sempat dalam tahap finalisasi dan ditargetkan berlaku pada 2024 oleh Menteri PANRB saat itu, Abdullah Azwar Anas. Namun hingga kini saya belum mengetahui hasil tindak lanjut resminya.
Perlu disadari bahwa masa jabatan yang terlalu lama, khususnya lebih dari lima tahun, berpotensi menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti stagnasi kepemimpinan dan peningkatan risiko korupsi. Selain itu, masa jabatan yang terlalu panjang juga dapat menurunkan akuntabilitas serta memunculkan praktik nepotisme dan kronisme.
Dalam konteks ini, pejabat yang terlalu lama menjabat cenderung lebih rentan menyalahgunakan kewenangan, sulit diawasi secara efektif, dan dapat menghambat proses regenerasi serta inovasi dalam birokrasi. Oleh karena itu, pembatasan masa jabatan dan rotasi secara berkala merupakan langkah strategis untuk menjaga integritas, efektivitas, dan dinamika organisasi pemerintahan.
Dalam situasi seperti ini, Jakarta membutuhkan pemimpin yang tidak hanya cerdas dan berhati baik, tetapi juga berani, tegas, dan jika perlu, sedikit “galak.” Ketegasan bukanlah bentuk otoritarianisme, melainkan perwujudan nyata dari penegakan hukum dan etika pemerintahan yang dilakukan secara konsisten dan tanpa kompromi.
Ketegasan ini mencakup keberanian untuk merotasi pejabat yang telah menjabat lebih dari lima tahun, maupun mengganti pejabat yang belum genap dua tahun bertugas, selama sesuai dengan kebutuhan organisasi dan ketentuan peraturan yang berlaku. Langkah ini juga sejalan dengan prinsip reward and punishment, dengan tetap mengacu pada sistem merit.
Sikap tegas semacam itu perlu diterapkan secara konsisten terhadap seluruh pihak terkait di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, termasuk jajaran Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Contoh nyata pernah ditunjukkan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang dikenal tegas dalam menertibkan birokrasi dan menjaga integritas pelayanan publik. Gubernur Ahok tidak segan mengganti pejabat yang gagal menjalankan tugas atau dianggap tidak cakap, demi kepentingan masyarakat luas. Ketegasan seperti inilah yang terbukti mampu mendorong perubahan nyata dalam sistem pemerintahan.
Lebih dari itu, Gubernur Pramono Anung saat ini juga mendapat dukungan moral dan pengalaman dari tiga mantan Gubernur DKI Jakarta—Fauzi Bowo (Foke), Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dan Anies Rasyid Baswedan. Kombinasi dukungan tersebut menjadi modal penting bagi Pramono untuk melangkah lebih percaya diri dalam menata Jakarta secara menyeluruh dan berkelanjutan.
Pramono memiliki semua modal dasar untuk menjalankan fungsi tersebut. Ia punya latar belakang teknokratik dan birokrasi yang kuat, ditambah pengalaman politik panjang. Ia pernah menjabat sebagai anggota DPR RI selama empat periode dan menduduki posisi strategis seperti Wakil Ketua DPR RI periode 2009–2014.
Di internal PDI Perjuangan, ia pernah menjabat Wakil Sekjen dan kemudian Sekretaris Jenderal, posisi penting yang memungkinkannya memahami dinamika partai hingga ke akar rumput. Pengalamannya di dunia usaha di sejumlah perusahaan nasional, membentuknya menjadi pemimpin yang paham manajemen dari berbagai sisi.
Dengan seluruh pengalamannya itu, Pramono sebenarnya sangat mampu bersikap tegas ketika situasi mengharuskannya. Ia hanya perlu memastikan bahwa kelembutan dan ketegasan tidak ditempatkan dalam dua kutub yang berlawanan, melainkan sebagai dua sisi dari satu kepemimpinan yang utuh.
Artinya, Jakarta tidak hanya membutuhkan pemimpin yang mampu mengayomi, tetapi juga yang tegas dalam bertindak. Jakarta memerlukan gubernur yang tidak hanya bisa memimpin dengan hati, tetapi juga berani bersuara lantang dan bertindak tegas ketika aturan dilanggar. Ketegasan ini juga harus berlaku dalam menindak pejabat yang gagal menunjukkan kinerja atau prestasi, termasuk pada pimpinan BUMD.
Jika keseimbangan ini terus dijaga, maka bukan tidak mungkin Jakarta akan melesat menjadi kota global yang tidak hanya kompetitif secara ekonomi, tetapi juga manusiawi, berkeadilan, dan bermartabat. Kepemimpinan Pramono Anung akan dikenang bukan hanya karena kecerdasannya, tetapi juga karena keberaniannya mengambil sikap tepat demi kebaikan bersama.