PLTSa Jadi PSN di Era Presiden Prabowo, Gubernur Pramono Siapkan 4 PLTSa di Jakarta: BPK Perlu Audit Investigatif RDF Rorotan, KPK Harus Bersikap
DENGAN karakteristik tersebut, RDF Rorotan tidak memenuhi kriteria sebagai PLTSa dan tidak dapat dikategorikan sebagai PSN.
Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)
Melanjutkan dua tulisan saya sebelumnya mengenai RDF Plant Rorotan dan ITF Sunter, kali ini saya menulis artikel dengan topik sebagaimana tercantum pada judul di atas. Tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan masukan bagi berbagai pihak, termasuk masyarakat, sekaligus menjadi pengingat bagi Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung dan Wakil Gubernur Rano Karno agar turut memperhatikan aspirasi masyarakat sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan demi kebaikan bersama dan kemajuan Jakarta.
Baiklah, saya mulai. Pada 10 Februari 2025, Presiden Prabowo Subianto secara resmi menetapkan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029. Regulasi ini menjadi landasan strategis pembangunan nasional untuk lima tahun ke depan yang harus diselaraskan dengan visi dan misi pemerintahan. Dalam lampirannya ditegaskan bahwa pembangunan nasional mencakup sejumlah Proyek Strategis Nasional (PSN) yang bersifat lintas sektor dan memiliki dampak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Salah satu fokus utama RPJMN 2025–2029 adalah pengelolaan sampah dan pemanfaatannya sebagai sumber energi. Landasan hukumnya diperkuat melalui Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan, yang menegaskan bahwa sampah harus dikelola dari hulu ke hilir dan dimanfaatkan menjadi energi listrik. Dengan demikian, Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) memiliki dasar hukum yang kuat sebagai bagian dari kebijakan energi nasional berbasis lingkungan.
Perpres Nomor 35 Tahun 2018 saat ini sedang dalam proses revisi dan akan segera ditandatangani oleh Presiden Prabowo. Revisi tersebut bertujuan mempercepat pembangunan PLTSa di seluruh Indonesia melalui penyederhanaan perizinan, peningkatan investasi, dan penghapusan tipping fee (biaya pengolahan sampah). Presiden Prabowo menargetkan pembangunan PLTSa di 34 kota strategis dalam dua tahun mendatang, sebagai wujud nyata dari komitmen Indonesia menuju energi bersih dan berdaulat.
Sebagai ibu kota negara, DKI Jakarta menghadapi persoalan serius dalam pengelolaan sampah. Timbulan sampah yang mencapai ribuan ton per hari membutuhkan solusi inovatif dan berkelanjutan. Sejalan dengan kebijakan nasional, Gubernur Pramono Anung Wibowo menyatakan komitmennya untuk membangun empat unit PLTSa di Jakarta sebagai bagian dari dukungan terhadap PSN energi bersih. Komitmen ini disampaikan dalam acara Urban Climate Action Programme – Climate Action Implementation Regional Convening 2025 di Jakarta pada 23 Juli 2025. Langkah tersebut menunjukkan bahwa Pemprov DKI ingin menjadi pelopor dalam transformasi pengelolaan sampah modern sekaligus memperkuat transisi energi nasional.
Namun di sisi lain, Jakarta masih dibayangi oleh polemik proyek Refuse Derived Fuel (RDF) di Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara. Proyek senilai Rp1,28 triliun ini diklaim mampu mengolah 2.500 ton sampah per hari dan menghasilkan 875 ton bahan bakar padat (RDF) di atas lahan Pemprov DKI seluas 7,87 hektare. Meski demikian, RDF bukanlah instalasi pengolah sampah menjadi energi listrik sebagaimana diatur dalam Perpres 35/2018. Produk akhirnya hanya berupa bahan bakar padat, bukan listrik yang dapat disalurkan ke jaringan PLN.
Dengan karakteristik tersebut, RDF Rorotan tidak memenuhi kriteria sebagai PLTSa dan tidak dapat dikategorikan sebagai PSN. Pergantian proyek Intermediate Treatment Facility (ITF) Sunter—yang sebelumnya merupakan PSN—dengan RDF Rorotan justru menimbulkan pertanyaan serius tentang konsistensi arah kebijakan pengelolaan sampah di Jakarta. Keputusan tersebut dapat dianggap bertentangan dengan kebijakan nasional dan berpotensi menghambat upaya percepatan pembangunan energi bersih dari sampah.
Terkait hal tersebut, tanggung jawab penuh atas pembatalan atau penghentian proyek ITF Sunter Jakarta dan penggantian dengan pembangunan RDF Plant Rorotan berada pada mantan Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono serta Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta Asep Kuswanto. Keduanya merupakan figur yang mengambil keputusan strategis sekaligus kontroversial, yakni membatalkan atau penghentian ITF Sunter yang telah ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) dan menggantinya dengan proyek RDF Rorotan yang tidak memiliki dasar kebijakan nasional setara maupun landasan hukum yang sepadan.
Proyek RDF Rorotan dilaksanakan melalui Kontrak Nomor 2101/PPK-MAF/PN 01.02 tertanggal 26 Maret 2024 antara Pemprov DKI Jakarta dan KSO WJK, dengan dasar hukum Keputusan Gubernur Nomor 834 Tahun 2023 tentang penetapan pekerjaan perancangan dan pembangunan fasilitas RDF Rorotan menggunakan skema design and build. Sejak awal, proyek ini menghadapi berbagai masalah serius, seperti keterlambatan penyelesaian, addendum berulang, keluhan warga akibat bau menyengat, serta dugaan pencemaran udara.
Tenggat penyelesaian proyek yang semula ditargetkan rampung pada 31 Desember 2024 telah beberapa kali mengalami perpanjangan hingga 31 Desember 2025. Kondisi ini menunjukkan lemahnya manajemen proyek dan membuka peluang terjadinya potensi penyimpangan, baik secara administratif maupun finansial. Hingga kini, RDF Plant Rorotan masih berada pada tahap commissioning atau uji verifikasi dan belum beroperasi secara penuh, meskipun telah menyerap anggaran besar dari APBD DKI Jakarta.
Terkait permasalahan tersebut, diketahui bahwa pada 30 April 2025 Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta telah menyusun rencana aksi yang meliputi beberapa langkah, antara lain:
1. Memodifikasi unit Wet Scrubber yang ditargetkan selesai pada akhir Mei 2025;
2. Menambahkan unit filter emisi (Bag Filter) yang ditargetkan selesai pada akhir Agustus 2025; dan
3. Meningkatkan sistem semprotan cairan penghilang bau (spray deodorizer system) pada area bunker yang ditargetkan selesai pada akhir Juli 2025.
Selain itu, diketahui pula bahwa hingga 2 Mei 2025, DLH DKI Jakarta juga telah melaksanakan sejumlah kegiatan, termasuk mengusulkan penambahan anggaran melalui Belanja Tak Terduga (BTT) TA 2025 kepada Sekretaris Daerah DKI Jakarta untuk pengadaan sistem Wet Electrostatic Precipitator (Wet ESP) beserta sistem pendukungnya berupa pekerjaan struktur, mekanikal, elektrikal, dan instrumentasi termasuk sistem Water Mist.
Dalam konteks tersebut, proses uji coba RDF Plant Rorotan terus berlanjut. Pada Oktober 2025, DLH kembali melakukan uji coba operasi dengan janji bahwa fasilitas tersebut akan beroperasi penuh pada November 2025. Namun, publik masih meragukan kemampuan fasilitas ini untuk benar-benar mengolah 2.500 ton sampah per hari dan menghasilkan sekitar 769 ton bahan bakar alternatif.
Pertanyaan mendasar pun muncul: apakah proyek RDF Plant Rorotan benar-benar akan menjadi solusi atas krisis sampah Jakarta, atau justru berakhir sebagai proyek gagal total yang membebani keuangan daerah?
Pada titik inilah muncul kecurigaan publik terhadap kemungkinan terjadinya penyimpangan dan berbagai persoalan lain dalam pelaksanaan proyek tersebut. Kehadiran pendampingan dari Inspektorat DKI Jakarta, BPKP Perwakilan Provinsi DKI Jakarta, serta Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta selama proses pembangunan tidak serta-merta menjamin bahwa proyek ini bebas dari dugaan pelanggaran. Potensi praktik Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) tetap dapat terjadi, terutama jika melibatkan oknum internal di lingkungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta.
Dalam konteks akuntabilitas publik, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perlu melakukan audit investigatif secara menyeluruh terhadap seluruh tahapan perencanaan dan pelaksanaan proyek RDF Plant Rorotan. Kebutuhan akan audit investigatif ini menjadi sangat mendesak, terutama jika dikaitkan dengan berulangnya keterlambatan dalam mencapai operasional penuh fasilitas tersebut.
Selain itu, adanya indikasi bahwa RDF Plant Rorotan berpotensi gagal mencapai target pengolahan sebesar 2.500 ton sampah per hari dan produksi 875 ton bahan bakar padat (Refuse Derived Fuel) juga menjadi dasar kuat bagi BPK untuk melakukan audit investigatif.
Hal lain yang perlu digarisbawahi adalah bahwa proyek RDF Plant Rorotan bukan merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN), baik pada era Presiden Joko Widodo maupun Presiden Prabowo Subianto. Sebaliknya, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, yang termasuk dalam daftar PSN di bidang pengelolaan sampah adalah Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa), seperti proyek Intermediate Treatment Facility (ITF) Sunter Jakarta. Fakta ini penting menjadi pertimbangan bagi BPK dalam menentukan urgensi dan ruang lingkup audit investigatif terhadap RDF Plant Rorotan.
Audit BPK tersebut penting untuk menelusuri penggunaan anggaran, menilai kesesuaian spesifikasi teknis dengan kontrak kerja, serta memeriksa legalitas proses tender dan pelaksanaan kontrak proyek. Apabila dalam audit tersebut ditemukan adanya indikasi pelanggaran hukum, maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu segera mengambil langkah penyelidikan dan penindakan guna menelusuri potensi korupsi, penyalahgunaan wewenang, maupun konflik kepentingan yang mungkin terjadi dalam proyek tersebut.
Audit investigatif oleh BPK dan langkah penegakan hukum oleh KPK juga perlu dikaitkan dengan permasalahan pembatalan atau penundaan proyek ITF Sunter serta pembangunan RDF Plant Rorotan. Dalam konteks ini, kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang menetapkan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) menjadi bukti bahwa pembangunan PLTSa atau ITF Sunter Jakarta seharusnya mendapatkan prioritas utama, bukan justru digantikan dengan pembangunan RDF Plant Rorotan.
Sebagai penutup, perlu ditegaskan bahwa kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang menetapkan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) merupakan langkah maju dalam memperkuat tata kelola lingkungan, mendorong inovasi energi bersih, serta mengurangi ketergantungan terhadap Tempat Pembuangan Akhir (TPA) konvensional. Namun, keberhasilan kebijakan tersebut sangat bergantung pada keseriusan pemerintah daerah dalam melaksanakan proyek sesuai dengan ketentuan regulasi.
Momentum kebangkitan proyek PLTSa di era Presiden Prabowo harus dimanfaatkan oleh Gubernur Pramono Anung untuk memperbaiki tata kelola sampah di Jakarta serta mengembalikan kepercayaan publik terhadap kebijakan PSN di sektor lingkungan. Jakarta seharusnya mampu menjadi contoh bahwa pengelolaan sampah dapat diubah dari beban menjadi sumber energi terbarukan yang berkelanjutan. Semua itu hanya dapat terwujud apabila aspek hukum, teknis, dan pengawasan publik dijalankan secara konsisten, transparan, dan penuh tanggung jawab.
