Pembatalan ITF Sunter, Dugaan Pelanggaran Hukum, dan RDF Rorotan: Eks Pj Gubernur Heru dan Kadis LH Asep Perlu Jelaskan, Pramono–Rano Perlu Hati-Hati!

Foto-IST-Sugiyanto (SGY)-Emik Saat Berada di RTF Rorotan

TINDAKAN pembatalan atau penghentian proyek energi berbasis sampah, yaitu PLTSa (ITF Sunter Jakarta) ini jelas tidak sejalan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)

 

Melanjutkan tulisan saya sebelumnya mengenai RDF Plant Rorotan dan ITF Sunter, kali ini saya menulis artikel yang lebih panjang dan detail sebagaimana tercantum pada judul di atas—dan sungguh rugi besar jika tidak dibaca hingga tuntas!

 

Tujuan penulisan ini adalah agar mantan Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, serta Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Asep Kuswanto, dapat memberikan penjelasan kembali yang lebih terbuka dan gamblang kepada publik terkait persoalan ITF Sunter dan RDF Plant Rorotan. Selain itu, tulisan ini juga dimaksudkan sebagai masukan bagi berbagai pihak, termasuk masyarakat, serta sebagai pengingat bagi Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung dan Wakil Gubernur Rano Karno agar lebih berhati-hati dalam menyikapi persoalan ini.

 

Baiklah, saya mulai! Pada masa kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta periode 2007–2012, Fauzi Bowo (Foke), proyek Intermediate Treatment Facility (ITF) telah dilelang dengan nilai anggaran sekitar Rp1,3 triliun. Namun, proses penentuan pemenang lelang menghadapi berbagai hambatan, sehingga hingga terjadinya pergantian kepemimpinan dari Fauzi Bowo kepada Joko Widodo (Jokowi), permasalahan tersebut belum terselesaikan.

 

Pada tahun 2012, Gubernur Jakarta Jokowi berencana melanjutkan proyek ITF ini. Ada dua calon perusahaan pemenang lelang, yaitu PT Phoenix Pembangunan Indonesia dan PT Wira Gulfindo Sarana. Namun, hingga tahun 2013, pemenang lelang masih belum ditentukan, meskipun dokumen tender proyek ITF telah diterima oleh Gubernur Jokowi.

 

Pemerintahan Gubernur Anies Baswedan periode 2017-2022 kemudian merubah Pergub Ahok Nomor 50 Tahun 2016 menjadi Pergub No. 33 Tahun 2018 tentang Penugasan Lanjutan Kepada Perseroan Terbatas Jakarta Propertindo Dalam Penyelenggaraan Fasilitas Pengelolaan Sampah Di Dalam Kota. Pembangunan ITF diresmikan oleh Anies Baswedan di Jalan Sunter Permai/RE Martadinata, Jakarta Utara pada tanggal 20 Desember 2018.

 

Untuk mengamankan kelancaran pembangunan Intermediate Treatment Facility (ITF) di berbagai lokasi di dalam kota Jakarta, mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, mengeluarkan Pergub No. 65 Tahun 2019 Tentang Penugasan Kepada Perseroan Terbatas Jakarta Propertindo (Perseroan Daerah) Dalam Penyelenggaraan Fasilitas Pengelolahan Sampah Antara Di Dalam Kota. 

 

Kemudian, pada tahun 2020, Anies kembali mengeluarkan Pergub No. 71 Tahun 2020 Tentang Penugasan Kepada Perusahaan Umum Daerah Pembangunan Sarana Jaya Dalam Penyelenggaraan Fasilitas Pengelolahan Sampah Antara Di Dalam Kota.

 

Fokus pada permasalahan pengelolaan sampah sejatinya tercermin dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah. Pasal 4 dalam undang-undang ini menegaskan tujuan pengelolaan sampah untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, kualitas lingkungan, serta menjadikan sampah sebagai sumber daya. Selain itu, UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah juga mengamanatkan kepala daerah untuk tunduk pada ketentuan hukum, termasuk pelaksanaan proyek strategis nasional.

 

Terkait hal tersebut, dalam lingkup kebijakan nasional mengenai pengelolaan sampah, seluruh kebijakan dan program harus merujuk serta berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam kerangka regulasi tersebut, pemerintah pusat terus berupaya mencari solusi untuk mengubah sampah menjadi sumber energi.

 

Sebagai wujud dari upaya tersebut, pada tanggal 8 Januari 2016, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.

 

Demi mempercepat pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN), Presiden Joko Widodo mengubah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2016 dengan menerbitkan Perpres Nomor 58 Tahun 2017 tentang Perubahan Pertama atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016. 

 

Selanjutnya, Perpres Nomor 58 Tahun 2017 kembali disempurnakan melalui Perpres Nomor 56 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016, yang diterbitkan pada tanggal 20 Juli 2018.

 

Dalam lampiran Perpres Nomor 56 Tahun 2018, tepatnya pada huruf L, disebutkan bahwa Proyek Infrastruktur Energi Asal Sampah termasuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN). Provinsi DKI Jakarta juga tercantum dalam daftar daerah pelaksana PSN sebagaimana dimuat dalam Perpres Nomor 56 Tahun 2018 tersebut. 

 

Perpres Nomor 56 Tahun 2018 tersebut memperkuat kebijakan yang sebelumnya telah diterbitkan oleh Presiden Joko Widodo, yakni Perpres Nomor 35 Tahun 2018 yang dikeluarkan pada bulan April 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Perpres ini menjadi dasar hukum utama bagi pelaksanaan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) atau Intermediate Treatment Facility (ITF) di kota-kota terpilih, termasuk DKI Jakarta.

 

Perpres Nomor 35 Tahun 2018 juga menegaskan konsep Pembangkit Listrik Berbasis Sampah (PLTSa) yang merupakan Pengolah Sampah menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Intermediate Treatment Facility (ITF) sendiri adalah salah satu teknologi yang tercakup dalam ini, mengubah sampah menjadi energi listrik (Waste to Energy). Perpres ini juga mengamanatkan Provinsi DKI Jakarta dan 11 kota besar lainnya untuk segera membangun PLTSa atau ITF.

 

Selain mengacu pada peraturan di atas, dasar hukum untuk ITF juga tercantum dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2018 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2017-2022. Dalam bagian yang membahas permasalahan dan isu strategis daerah, terdapat poin 4.2 tentang ITF.

 

Di bagian yang sama, halaman 220 poin 3 dari Perda tersebut menjelaskan mengenai Pengolahan dan Pengendalian Sampah dan Limbah melalui Pengembangan Intermediate Treatment Facility (ITF) dengan teknologi modern, serta pemantapan sistem pengolahan sampah dan limbah terpadu termasuk pengelolaan sampah padat dan pembuangan akhir, serta pengembangan sistem sanitasi kota dengan cakupan seluruh kota.

 

Pada Peraturan Gubernur No. 25 Tahun 2022 Tentang Rencana Pembangunan Daerah Tahun 2023-2026 juga disinggung tentang pengelolaan sampah. Pada halaman 242, dijelaskan mengenai kebijakan dalam RPJMN 2020-2024. Pada halaman 243, Tabel IV.3 Matriks Pembangunan Provinsi DKI Jakarta dalam RPJMN 2020-2024 menekankan tentang pembangunan instalasi Pengolah Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL). Targetnya adalah 1 instalasi PSEL di DKI Jakarta dengan Pelaksana Pemda DKI Jakarta.

 

Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa proyek pengolahan sampah menjadi energi listrik merupakan proyek strategis nasional yang memiliki dasar hukum yang kuat. Oleh karena itu, Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) atau ITF Sunter Jakarta merupakan bagian integral dari Program Strategis Nasional (PSN) yang tidak dapat dibatalkan secara sepihak. Dengan demikian, penting bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melanjutkan pembangunan proyek ITF Sunter serta proyek PLTSa lainnya di berbagai lokasi di wilayah Jakarta.

 

Saat ini, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL) Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan sedang dalam proses revisi dan akan segera ditandatangani oleh Presiden Prabowo Subianto. Dalam revisi tersebut, proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) akan diperbarui dan diatur dengan ketentuan baru yang bertujuan mempercepat pelaksanaan pembangunan PLTSa melalui penyederhanaan perizinan serta penghapusan tipping fee (biaya pengolahan sampah).

 

Presiden Prabowo Subianto menargetkan pembangunan PLTSa di 34 kota dalam dua tahun ke depan. Pembangkit listrik berbasis sampah ini direncanakan akan dibangun di berbagai kota strategis di seluruh Indonesia.

 

Sebagai bentuk dukungan terhadap program strategis nasional tersebut, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung juga menyampaikan rencana pembangunan empat unit PLTSa di Provinsi DKI Jakarta. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Gubernur Pramono Anung dalam acara Urban Climate Action Programme (UCAP) – Climate Action Implementation (CAI) Regional Convening 2025 yang digelar di Hotel Ayana Midplaza Jakarta pada 23 Juli 2025.

 

Membatalkan Proyek Strategis Nasional PLTSa (ITF Sunter Jakarta) Berpotensi Bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan

Pada tahun 2022 terjadi pergantian kepala daerah di beberapa wilayah karena berakhirnya masa jabatan gubernur dan menjelang pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2024. Khusus di Provinsi DKI Jakarta, Gubernur Anies Rasyid Baswedan digantikan oleh Penjabat (Pj) Gubernur Heru Budi Hartono.

Singkatnya, dalam kaitannya dengan pembangunan ITF Sunter Jakarta, Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono, dengan bantuan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta Asep Kuswanto, diketahui telah membatalkan, menghentikan, atau menunda pelaksanaan proyek tersebut, serta menggantinya dengan proyek pembangunan RDF Plant Rorotan. Tindakan pembatalan atau penghentian proyek energi berbasis sampah, yaitu PLTSa (ITF Sunter Jakarta) ini jelas tidak sejalan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam konteks tersebut, apabila terdapat pejabat daerah atau Penjabat (Pj) Gubernur yang secara nyata tetap bersikeras membatalkan, menghentikan, atau tidak melanjutkan proyek PLTSa/ITF Sunter Jakarta, maka tindakan tersebut berpotensi dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap kebijakan nasional serta bertentangan dengan peraturan yang saat itu telah ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. Terlebih lagi, apabila proyek tersebut kemudian digantikan dengan proyek lain, seperti RDF, yang tidak berbasis pada teknologi PLTSa.

Dasar hukum proyek energi berbasis sampah PLTSa (ITF Sunter Jakarta) sangat kuat karena telah diatur secara tegas dalam sejumlah peraturan perundang-undangan. Ketentuan tersebut juga menegaskan bahwa PLTSa, termasuk ITF Sunter Jakarta, berstatus sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN).

Beberapa di antaranya adalah UU Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, serta Juncto pasal 201 ayat (10) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang mengatur pengisian kekosongan jabatan Gubernur oleh pejabat gubernur dari jabatan pimpinan tinggi madya hingga pelantikan gubernur, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Tambahan lagi, Juncto pasal 132A PP Nomor 49 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketiga atas PP Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menegaskan beberapa larangan bagi seorang Pejabat Gubernur. Menurut pasal ini setidaknya ada 4 hal yang dilarang dilakukan penjabat kepala daerah, yakni:

1. Melakukan mutasi pegawai;

2. Membatalkan perizinan yang telah dibuat pejabat sebelumnya;

3. Membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan pejabat sebelumnya;

4. Membuat kebijakan yang bertentangan dengan program pemerintah sebelumnya.

Namun demikian, pasal yang sama juga menyebutkan, larangan tersebut dikecualikan jika penjabat kepala daerah mendapat persetujuan dari Mendagri. Tetapi terkait protek energi asal Menteri Dalam Negeri (Mendagri) tidak akan berani mengizinkan pejabat kepala daerah membatlkan proyek Strategis Nasional PLTSa atau ITF. Sebab bila mengizinkan maka Mendagri juga dapat dianggap melanggar peraturan perundang-undangan. 

Payung hukum lainnya termasuk Perpres Nomor 56 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, Pepres Nomor 35 Tahun 2018 Tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan, serta kebijakan yang termuat dalam RPJMN 2020-2024. 

Selain itu, Perda Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Sampah yang telah diubah oleh Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Sampah, Perda RPJMD DKI Jakarta Tahun 2017-2022, serta Pergub Nomor 25 Tahun 2022 Tentang Rencana Pembangunan Daerah (RPD) Tahun 2023-2026, juga menjadi dasar hukum yang menguatkan proyek PLTSa (ITF Sunter Jakarta).

Penting juga untuk menyoroti aturan Pergub No. 65 Tahun 2019 Tentang Penugasan Kepada Perseroan Terbatas Jakarta Propertindo (Perseroan Daerah) Dalam Penyelenggaraan Fasilitas Pengelolahan Sampah Antara Di Dalam Kota, serta Pergub No. 71 Tahun 2020 Tentang Penugasan Kepada Perusahaan Umum Daerah Pembangunan Sarana Jaya Dalam Penyelenggaraan Fasilitas Pengelolahan Sampah Antara Di Dalam Kota.

Mengacu pada Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, urutan hirarki peraturan perundang-undangan Republik Indonesia mencakup Undang Dasar 1945, Ketetapan Majelis MPR, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Jelas bahwa tidak seorang pun memiliki kewenangan untuk membatalkan atau menghentikan proyek strategis nasional di bidang pengelolaan energi berbasis sampah, seperti Proyek PLTSa atau ITF Sunter Jakarta. Keputusan untuk menghentikan atau membatalkan proyek tersebut hanya dapat dilakukan oleh Presiden Republik Indonesia, yakni apabila Presiden secara resmi mencabut atau membatalkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35 Tahun 2018.

Oleh karena itu, siapa pun, termasuk Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono dan Kepala DLH Asep Kuswanto pada saat itu, memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setiap upaya membatalkan atau menghentikan atau dengan sengaja menunda proyek PLTSa (ITF Sunter Jakarta) boleh jadi atau berpotensi dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan serta bertentangan dengan kebijakan nasional yang telah ditetapkan oleh Presiden.

Pembatalan atau Penghentian Proyek ITF Tidak Beralasan: Pemerintah Pusat Telah Memberikan Subsidi Tipping Fee dan Jaminan Pembelian Listrik. 

Alasan yang dikemukakan oleh Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, terkait pembatalan atau penghentian Proyek Intermediate Treatment Facility (ITF) tidak dapat dibenarkan, mengingat adanya dukungan substansial dari pemerintah pusat. Langkah tersebut menjadi tidak tepat karena pemerintah pusat telah memberikan berbagai bentuk dukungan konkret, terutama dalam hal subsidi biaya pengelolaan sampah (tipping fee) dan jaminan pembelian tenaga listrik oleh PLN.

Pemerintah pusat dengan serius berkomitmen untuk mempercepat pembangunan Proyek Intermediate Treatment Facility (ITF) dengan memberikan bantuan biaya pengolahan sampah (tipping fee) sebesar paling tinggi Rp 500.000 per ton sampah. Dasar hukum atas bantuan ini tertuang dalam Pepres Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.

Pada Bab VI Pendanaan dalam Pepres 35 Tahun 2018 tersebut, Pasal 14 menjelaskan bahwa dana yang diperlukan untuk mempercepat pembangunan PLTSa (ITF) bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah serta dapat didukung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 

Selanjutnya, Pasal 15 ayat (1) menjelaskan penggunaan dana yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk memberikan bantuan biaya layanan pengolahan sampah kepada pemerintah daerah, dengan jumlah bantuan paling tinggi Rp 500.000 per ton sampah, sesuai dengan ayat (2). Pada ayat (3) menjelaskan alokasi anggaran untuk bantuan ini diusulkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan kepada Menteri Keuangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Selain subsidi tipping fee, pemerintah pusat juga memberikan jaminan pembelian tenaga listrik. Dalam Bab V Pembelian Tenaga Listrik pada Pasal 10 ayat (2) Pepres 35 Tahun 2018, dijelaskan bahwa Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menugaskan PT PLN (Persero) untuk membeli tenaga listrik dari Pengembang PLTSa berdasarkan usulan gubernur atau wali kota. 

Penugasan ini meliputi penunjukan langsung dan persetujuan harga pembelian tenaga listrik oleh PT PLN (Persero), dengan kemungkinan kompensasi sesuai peraturan perundang-undangan. Pasal 11 ayat (1) dalam Pepres Nomor 35 Tahun 2018 juga menetapkan harga pembelian tenaga listrik oleh PT PLN (Persero) berdasarkan kapasitas PLTSa yang dijual kepada PT PLN (Persero), dengan rumusan yang jelas. 

Formulasi ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) Pepres Nomor 36 Tahun 2018, huruf a, “untuk kapasitas hingga 20 MW (megawatt) sebesar USD 13.35 cent/kWh yang terinterkoneksi dengan jaringan tegangan tinggi, jaringan tegangan menengah, atau jaringan tegangan rendah,”  dan huruf b, “untuk kapasitas di atas 20 MW (megawatt) yang terinterkoneksi dengan jaringan tegangan tinggi atau jaringan tegangan menengah, dengan perhitungan sebagai berikut: Harga Pembelian (USD cent/kWh) = 14.54 - (0.076 x kapasitas PLTSa yang dijual ke PT PLN (Persero).”

Dengan demikian, alasan yang dikemukakan oleh Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, terkait pembatalan atau penghentian Proyek Intermediate Treatment Facility (ITF) Sunter Jakarta dengan dalih ketidakmampuan membayar biaya pengelolaan sampah atau tipping fee kepada mitra swasta tidak dapat dibenarkan.

Dengan adanya berbagai bentuk dukungan dari pemerintah pusat, baik berupa subsidi tipping fee maupun jaminan pembelian tenaga listrik oleh PLN, tidak terdapat dasar yang kuat untuk membatalkan atau menghentikan proyek tersebut. Sebaliknya, langkah pembatalan itu justru berpotensi mengabaikan komitmen pemerintah pusat dalam mewujudkan sistem pengelolaan sampah yang ramah lingkungan dan berkelanjutan sebagaimana diamanatkan dalam kebijakan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pembangunan RDF Plant Rorotan, tetapi Bukan Proyek Strategis Nasional seperti PLTSa atau ITF 

Pada masa kepemimpinan Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono, berdasarkan data dan informasi yang dihimpun, diketahui bahwa ia memutuskan untuk membatalkan atau menghentikan pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) di bidang energi berbasis sampah, yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) atau Intermediate Treatment Facility (ITF) Sunter, yang semula bertujuan mengubah sampah menjadi energi listrik.

Alasan yang dikemukakan adalah ketidakmampuan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk membayar investor sektor swasta dengan nilai investasi proyek ITF Sunter yang mencapai sekitar Rp5,2 triliun. Dalam skema operasional ITF Sunter, Pemprov DKI Jakarta diwajibkan membayar biaya pengelolaan sampah atau tipping fee kepada investor sekitar Rp500 ribu per ton sampah yang diolah selama jangka waktu 20 hingga 30 tahun.

Dalam pernyataannya, Pj Gubernur Heru Budi Hartono menegaskan bahwa Pemprov DKI Jakarta tidak menolak program Fasilitas Pengolahan Sampah Antara (FPSA) atau ITF. Namun, ia menekankan bahwa pelaksanaan pembangunan dan operasionalnya harus dilakukan tanpa mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). 

Pemprov DKI Jakarta merasa keberatan menanggung beban biaya tipping fee per ton sampah yang diolah melalui ITF, mengingat total timbulan sampah di DKI Jakarta mencapai sekitar 7.000 ton per hari, yang berarti pemerintah daerah harus mengeluarkan dana ratusan miliar rupiah setiap tahunnya.

Pada akhirnya, Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono, yang dalam pelaksanaannya juga didukung oleh Kepala DLH Asep Kuswanto, memilih untuk mengembangkan fasilitas RDF Plant Rorotan dengan menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp1,2 triliun. 

Saat itu, fasilitas RDF pertama telah beroperasi di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang dengan kapasitas pengolahan mencapai 2.000 ton sampah per hari. Selain itu, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta juga berencana membangun fasilitas RDF di Rorotan dan Pegadungan, masing-masing dengan kapasitas 2.500 ton per hari.

Dari penjelasan tersebut, menjadi bukti bahwa Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono membatalakan atau menghentikan atau menunda pembangunan PLTSa/ITF Sunter karena keberatan terhadap kewajiban pembayaran tipping fee sebesar Rp500 ribu per ton sampah selama 20–30 tahun. Meskipun demikian, Heru Budi masih membuka kemungkinan untuk melanjutkan pembangunan ITF Sunter dengan syarat bahwa Pemprov DKI Jakarta tidak perlu menanggung beban tipping fee tersebut.

Apa pun alasan yang dikemukakan oleh Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono, yang juga senantiasa diperkuat oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Asep Kuswanto pada saat itu, tetap berujung pada terhentinya pembangunan Proyek ITF Sunter Jakarta. Padahal, melalui BUMD PT Jakarta Propertindo, telah dikeluarkan dana cukup besar miliar untuk proses pembangunan ITF Sunter. 

Pertanyaannya, siapa yang harus bertanggung jawab atas penggunaan dana pembangunan ITF Sunter Jakarta tersebut — apakah PT Jakarta Propertindo (Jakpro), mantan Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Asep Kuswanto, atau pihak lainnya?

Terlebih lagi, proyek ITF Sunter kemudian digantikan dengan pembangunan Proyek Refuse Derived Fuel (RDF) Plant Rorotan yang tidak memiliki dasar hukum maupun kedudukan peraturan setara dengan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) seperti ITF Sunter Jakarta.

Refuse Derived Fuel (RDF) merupakan teknologi yang mengubah sampah menjadi bahan bakar padat untuk menggantikan batu bara. Teknologi ini berbeda dengan Intermediate Treatment Facility (ITF) yang mengubah sampah menjadi energi listrik. Dengan demikian, pengolahan sampah menggunakan teknologi RDF tidak menghasilkan energi listrik, melainkan hanya menghasilkan bahan bakar padat. Karena itu, RDF tidak dapat digolongkan sebagai bentuk pengolahan sampah yang menghasilkan energi asal sampah.

Oleh karena itu, RDF tidak memenuhi kriteria sebagai teknologi pengolahan sampah sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Dengan demikian, RDF tidak dapat dikategorikan sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN).

Pemahaman ini sejalan dengan Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, yang telah diubah melalui Perpres Nomor 58 Tahun 2017 dan Perpres Nomor 56 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016. Perpres Nomor 56 Tahun 2018 menetapkan Provinsi DKI Jakarta bersama delapan kota besar lainnya sebagai lokasi pembangunan proyek infrastruktur energi asal sampah.

Selanjutnya, dengan diterbitkannya Perpres Nomor 56 Tahun 2018, pada saat itu, menandakan bahwa Presiden Joko Widodo secara tegas menginstruksikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan 11 provinsi lainnya untuk membangun proyek infrastruktur energi berbasis sampah, yaitu PLTSa atau ITF.

Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa Refuse Derived Fuel (RDF) bukan merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) sebagaimana halnya Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) atau Intermediate Treatment Facility (ITF) Sunter Jakarta. Oleh karena itu, proyek infrastruktur energi berbasis sampah seperti PLTSa atau ITF tidak dapat digantikan, dihentikan, maupun dibatalkan dengan alasan pembangunan atau pengoperasian RDF Plant Rorotan.