Pidana Narkotika
Oleh : Anton Suriyadi Siagian, SH, MH
Paradigma ini juga menunjukan bahwa hakikat pemidanaan tidak bisa terlapas dari kontek kehidupan sosial dan kebijakan pemidanaan harus memperhatikan hukum yang hidup di tengah masyarakat.
Indonesia telah merdeka 76 tahun dan sejak zaman dulu telah mengenal falsafah pemidanaan berbagai kitab hukum kuno dan hukum adat dari berbagai hukum kitab tersebut telah mengenal asas legalitas dan asas proporsionalisme yang menjadi pilar dari hukum pidana modern sehingga kita selaku aparat penegak hukum yang harus terintegrasi dalam system peradilan pidana dan mampu berkerjasama dalam suatu integreted administration of criminal justice system, sehingga terjadi koordinasi yang baik. Di tinjau dari prespektif pecandu, penyalahgunaan dan korban penyalahgunaan narkotika yang merupakan gangguan pengunaan narkotika adalah suatu penyakit kronis kambuhan (chronic relapsing diseases).
Rehabilitasi perlu berkesinambungan agar dapat mempertahankan perilaku yang sehat dan aman. Indikator keluaran program rehabilitasi perubahan perilaku, proses pikir dan emosi, pilihan rehabilitasi perlu bervariasi untuk mengakomodasi berbagai kebutuhan pasien (semua baik, tidak ada yang terbaik). Penempatan pecandu, penyalahguna dan korban penyalahgunaan kedalam lembaga rehabilitasi ini sudah sepatutnya dilakukan. Bila kita lihat dari amanah Undang – Undang Dasar 1945, Undang – Undang No 36 tahun 2009 tentang kesehatan maupun Undang – Undang No 35 tahun 2009 tentang narkotika.
Di dalam UUD 1945 yang berkaitan dengan hak asasi manusia dan penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan.
Di dalam UU No 36 tahun 2009 tentang kesehatan di dalam pasal (4), pasal (5), pasal (9), yang berbunyi, pasal (4) setiap orang berhak atas kesehatan. Pasal (5) setiap orang mempunyai hak yang sama atas sumber daya di bidang kesehatan. Pasal (9) setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setingi-tingginya.
Dengan dasar-dasar tersebut maka sudah sepatutnya bahwa penempatan pecandu, penyalahgunaan dan korban penyalahgunaan narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi sesuai dengan tujuan, Undang- Undang tersebut di atas terlebih Undang-Undang No 35 tahun 2009 tentang narkotika yang mempunyai kekhususan yaitu tegas, keras, namun humanis, tegas keras di berlakukan untuk para Bandar pengedar maupun produsen yang di berikan sanksi sesuai dengan pasal-pasal yang dipersangkakan, sedangkan humanisnya adalah diberlakukan kepada pengguna, penyalahgunaan dan korban penyalahgunaan narkotika.
Tujuan undang-undang no 35 tahun 2009 tentang narkotika seperti yang tercantum dan diatur dalam pasal 4 huruf D Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika.
Rehabilitasi sesuai dengan amanah pasal 54 Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang narkotika bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Pasal 103 Undang-Undang 35 tahun 2009 tentang narkotika bahwa : Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat: Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan / atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut terbukti melakukan tindak pidana narkotika.
Menetapkan untuk memerintah yang bersangkutan menjalani pengobatan dan atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana.
Masa Menjalani pengobatan dan/ atau perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a di perhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.
Pasal 127 ayat (3) dalam hal penyalahguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat di buktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Secara spesifik penempatan rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika yang sedang dalam proses hukum di atur dalam pasal 13 ayat (4) penempatan dalam lembaga rehabilitasi medis dan/ atau rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tingkat pemeriksaan setelah mendapat rekomendasi dari tim dokter sampai dengan ayat (6) PP No 25 tahun 2011 tentang pelaksanaan wajib lapor pecandu narkotika, permenkes No 2415 tahun 2011 tentang Rehabilitasi Medis Pecandu, Penyalahgunaan, dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, PP No.1305 Tahun 2011 tentang Institusi Penerima wajib lapor.
Ketentuan Peraturan perundang-undangan di atas telah mengamanatkan para pecandu dan penyalahgunaan Narkotika secara humanis, namun dalam penanganan pecanduan dan korban penyalahgunaan Narkotika yang telah memasuki ranah hukum masih perlu dilakukan secara lebih cermat dan teliti dengan proses asesmen lebih dulu dalam menentukan layak tidaknya pecandu dan korban penyalahgunaan Narkotika yang telah ditetapkan sebagai tersangka dan/atau terdakwa untuk ditetapkan ke dalam lembaga rehabilitasi medis dan/atau sosial.
Bila kita melihat kedalam peraturan bersama dengan beberapa kementerian dan lembaga terkait bahwa bagi narapidana yang termasuk dalam kategori pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika, dan bukan pengedar Bandar atau kurir sebagaimana yang tertuang dalam pasal 7 peraturan bersama tetapi terlebih dahulu dilakukan assesmen sebagai penilaian awal dalam melaksanakan perawatan dan rehabilitas bagi penyalahgunaan narkotika, dalam asisment tersebut dapat dilakukan masing-masing ditetapkan oleh pimpinan instansi terkait sepertu Badan Narkotika Nasional Provinsi dan Badan Narkotika Nasional Kota guna untuk dilakukan assemen terpadu yang terdiri dari berbagai instansi dengan maksud untuk mengetahui Tentang riwayat kesehatan, riwayat penggunaan Narkotika, riwayat pengobatan dan perawatan, riwayat keterlibatan pada tindak Kriminal, riwayat psikiatris, serta riwayat keluarga sosial pecandu Narkotika.
Tim Asesmen Terpadu, yang tercantum dalam pasal 8 ayat (2) Tim Asesmen Terpadu yang dimaksud dalam ayat (1) diusulkan masing-masing pimpinan instansi terkait tingkat Nasional, Provinsi dan Kab/Kota dan ditetapkan oleh Kepala Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Nasional Kab/Kota. Ayat (3) Tim Asismen Terpadu terdiri dari : a. Tim Dokter yang meliputi Dokter dan Psikolog, b. Tim Hukum terdiri dari unsur Polri, BNN, Kejaksaan dan Kemenkumham.
Dengan demikian Pecandu, Penyalahgunaan dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, masih mempunyai Kesempatan dan tidak Kehilangan Masa Depan sehingga dapat menyongsong hari esok yang lebih baik lagi.