Penolakan Amplop dari Gubernur Jabar: RT Gen Z Arya Beri Pelajaran kepada KDM, Uang Bukan Segalanya

PENOLAKAN amplop oleh RT Gen Z Arya bukan sekadar penolakan, tetapi juga sebuah pesan moral kepada Dedi Mulyadi tentang integritas dan etika dan menegaskan bahwa uang bukan lah segalanya.
Oleh : Sugiyanto (SGY) Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)
Pada hari Rabu, 16 Juli 2025, saya menulis sebuah artikel berjudul, “Semangat Kepemimpinan Gen Z: Sahdan Arya, Apresiasi Wali Kota Jakarta Utara, dan Keteladanan Para Mantan Gubernur DKI Jakarta yang Fenomenal.” Dalam artikel ini, saya menyoroti tiga hal pokok penting sebagai berikut.
Pertama, apresiasi terhadap kepemimpinan RT Gen Z Sahdan Arya Maulana; kedua, penghargaan atas langkah cepat dan tepat Wali Kota Jakarta Utara Hendra Hidayat dalam memberikan apresiasi kepada Arya; dan ketiga, dorongan kepada generasi muda Jakarta untuk meneladani para mantan Gubernur DKI Jakarta yang inspiratif. Tak luput pula saya menyinggung pertemuan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, dengan RT Gen Z Sahdan Arya, yang kemudian memunculkan dinamika menarik.
Dedi Mulyadi bertemu dengan Sahdan Arya Maulana, Ketua RT muda dari Kelurahan Rawa Badak Selatan, Koja, Jakarta Utara, yang viral setelah memimpin proyek perbaikan jalan secara swadaya bersama warganya. Pertemuan tersebut terjadi karena nama Dedi Mulyadi disebut dalam video viral yang mengapresiasi gaya kepemimpinannya. Namun, pertemuan itu justru menimbulkan paradoks yang cukup menggelitik dan layak dikritisi secara etis maupun administratif.
Kejanggalan mulai terlihat ketika dalam pertemuan tersebut, Dedi Mulyadi memberikan amplop berisi uang kepada Arya dan pengurus RT-nya. Ia beralasan bahwa hal itu merupakan bentuk dukungan operasional dan bantuan kas RT. Namun, tindakan ini tidak tepat secara etika pemerintahan.
Meskipun niatnya terlihat baik, pemberian uang kepada pejabat RT yang berada di luar wilayah administratifnya—yaitu di DKI Jakarta, bukan Jawa Barat—dapat menimbulkan kesan yang keliru, seolah-olah uang adalah segalanya. Peristiwa ini menjadi pelajaran penting: penolakan amplop oleh RT Gen Z Arya bukan sekadar penolakan, tetapi juga sebuah pesan moral kepada Dedi Mulyadi tentang integritas dan etika dan menegaskan bahwa uang bukan lah segalanya.
Untungnya, Sahdan Arya dan para pengurus RT dengan tegas menolak pemberian tersebut. Mereka menyampaikan bahwa semua kebutuhan pembangunan akan dibantu dan difasilitasi oleh Wali Kota Jakarta Utara. Penolakan ini menunjukkan kedewasaan dalam berpikir dan komitmen untuk menjaga marwah kepemimpinan akar rumput yang bersih dan berintegritas. Jika uang itu diterima, bukan tidak mungkin publik akan mencurigai bahwa semua inisiatif Arya semata-mata demi mencari popularitas dan materi. Bahkan, citra positif yang telah dibangun bisa runtuh dalam sekejap.
Lebih jauh, secara struktural, RT dan pengurusnya berada di bawah pembinaan langsung Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung. Tindakan KDM tersebut—meski bersifat personal—dapat dianggap mencederai kewibawaan pemerintah DKI Jakarta. Seakan-akan, pemerintah DKI Jakarta tidak mampu memberikan dukungan konkret kepada para pemimpinnya di tingkat paling dasar.
Dalam konteks yang lebih sensitif, peristiwa ini bahkan bisa menjadi bumerang bagi Wali Kota Jakarta Utara, Hendra Hidayat. Jika ia tidak sigap dan mendahului pertemuan dengan RT Gen Z Arya, bisa jadi ia akan dianggap abai oleh publik. Untungnya, ia lebih dahulu memberikan apresiasi resmi sebelum Gubernur Jawa Barat bertemu dengan Sahdan Arya. Namun demikian, tetap saja muncul pertanyaan publik terhadap Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung: mengapa ia sendiri belum juga menanggapi fenomena Arya secara langsung?
Terkait hal ini, izinkan saya mencoba memberikan penjelasan. Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, saat ini sedang menjalankan tugas di luar negeri, termasuk menghadiri agenda di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan sejumlah kegiatan lainnya. Beliau dijadwalkan kembali ke Jakarta sekitar tanggal 20 Juli 2025.
Kemungkinan besar, setelah kembali ke Tanah Air, Gubernur Pramono akan mengundang Ketua RT Gen Z Sahdan Arya Maulana beserta jajarannya untuk berdialog dan memberikan apresiasi langsung.
Perlu diketahui pula bahwa ada figur kepemimpinan muda lain dari kalangan Gen Z, yakni Tri Krisna Mukti, Ketua RW 02 Kelurahan Pademangan Barat, yang juga layak mendapat perhatian.
Namun yang terpenting, langkah cepat dan bentuk apresiasi dari Wali Kota Jakarta Utara, Hendra Hidayat, sejatinya telah mewakili sikap dan perhatian Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, termasuk Gubernur Pramono Anung.
Sahdan Arya, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Jakarta berusia 19 tahun, terpilih sebagai Ketua RT 007 RW 008 di Kelurahan Rawa Badak Selatan. Ia menuai pujian setelah memimpin inisiatif perbaikan jalan rusak secara gotong royong, menggunakan truk molen dan material hasil musyawarah warga. Aksi ini viral dan mendapat apresiasi luas, termasuk dari Wali Kota Jakarta Utara, serta melahirkan respons positif dari berbagai kalangan.
Tindakan penolakan terhadap pemberian amplop tersebut menjadi perbincangan, terutama dalam kaitannya dengan etika pemerintahan daerah. Terlepas dari maksud baik Dedi Mulyadi, posisinya sebagai kepala daerah dari provinsi lain tidak membenarkan pemberian bantuan langsung kepada pengurus RT dari wilayah administratif berbeda. Tindakan itu berpotensi melanggar prinsip kehati-hatian dan tata kelola antar pemerintah daerah.
Secara hukum, pengelolaan pemerintahan daerah diatur oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang mengamanatkan bahwa hubungan antar pemerintah provinsi dan kota/kabupaten harus berlangsung dalam kerangka koordinasi resmi yang sah. Tata kelola pemerintahan yang baik juga wajib tunduk pada asas etika administrasi publik dan kode etik yang berlaku.
Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 22 Tahun 2022 tentang Rukun Tetangga dan Rukun Warga secara eksplisit mengatur posisi strategis RT dalam pembangunan, sekaligus menekankan pentingnya jalur komando yang jelas. Dalam hal ini, keterlibatan pejabat dari provinsi lain, tanpa koordinasi struktural, berisiko menabrak norma administratif yang telah ditetapkan.
Apalagi, pertemuan antara KDM dan RT Gen Z Sahdan Arya bukanlah bagian dari agenda resmi antar pemerintah daerah, melainkan dipicu oleh popularitas media sosial. Dari sudut pandang birokrasi, langkah tersebut memang mencerminkan kepedulian, tetapi juga bisa menjadi preseden buruk dalam menjaga batas kewenangan. Sinergi yang ideal semestinya berjalan dalam koridor yang jelas, bukan berdasarkan inisiatif personal yang melampaui batas yurisdiksi.
Polemik ini semakin relevan dalam konteks perubahan status Jakarta menjadi Daerah Khusus Jakarta (DKJ) melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 dan Undang-Undang Nomor 151 Tahun 2024. Reformulasi ini membawa konsekuensi penting terhadap sistem pemerintahan, menuntut profesionalisme dan integritas yang lebih tinggi dari seluruh pejabat, mulai dari tingkat RT hingga Gubernur.
Sementara itu, pengakuan terhadap kiprah Arya juga datang dari berbagai pihak, termasuk Badan Narkotika Nasional Provinsi DKI Jakarta, yang juga melirik RT dan RW Gen Z tersebut sebagai Duta Anti Narkoba. Ini mencerminkan pengakuan terhadap potensi kepemimpinan generasi muda dalam menciptakan lingkungan yang sehat, bersih, dan bebas dari narkoba. Wali Kota Jakarta Utara secara khusus menegaskan bahwa struktur RT/RW merupakan tulang punggung perubahan sosial, dan kepemimpinan seperti Arya sangat diperlukan dalam membangun Jakarta yang baru.
Fenomena ini menyajikan dua sisi penting pembangunan daerah. Di satu sisi, semangat regenerasi kepemimpinan muda yang progresif dan bersih. Di sisi lain, munculnya tantangan dalam menjaga batas kewenangan dan etika birokrasi. Ketegasan Sahdan Arya dalam menolak pemberian tidak resmi menjadi penegasan penting bahwa generasi baru ini tidak bisa dibeli, dan memiliki integritas yang layak diteladani oleh semua kalangan.
Pemerintah, baik pusat maupun daerah, perlu menjadikan momentum ini sebagai bahan refleksi dalam memperkuat tata kelola yang bersih, beretika, dan transparan. Kepemimpinan muda seperti Arya merupakan aset berharga yang harus dilindungi dari praktik-praktik yang berpotensi merusak marwah birokrasi.
Kisah Sahdan Arya bukan sekadar viralitas sesaat, tetapi menjadi simbol penting bahwa etika dalam pemerintahan tidak boleh dikompromikan, meski dalam pertemuan yang bersifat personal atau simbolik sekalipun.