Pengamat : Pemilihan Walikota Dan Bupati Di Jakarta Inkonstitusional

Diskusi Bertajuk ‘Bincang – bincang Jakarta Pasca Tidak Lagi Sebagai Ibukota NKRI’. (Ist)

Jakarta, Dekannews - Pengamat Kebijakan Publik Sugiyanto sepakat dengan wacana Walikota dipilih langsung melalui Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) setelah Jakarta tidak lagi berstatus Ibukota.

Sebab SGY sapaan akrab Sugiyanto,  beralasan penunjukkan walikota oleh gubernur selama ini adalah Inkonstitusional. Pasalnya dalam UUD 1945 hasil amandemen pasal 18 menyebutkan gubernur dan walikota dipilih secara langsung.   

“Jadi Walikota dan Bupati yang dipilih Gubernur sesuai UU 29 tahun 2007 tentang Pemprov DKI sebagai Ibukota Negara itu bertentangan dengan UUD 1945 pasal 18. Sebab Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih secara demokratis,” ujarnya dalam diskusi yang bertajuk ‘Bincang – bincang Jakarta Pasca Tidak Lagi Sebagai Ibukota NKRI’, di sebuah rumah makan di Kawasan Tanjung Priok Jakarta Utara, Rabu (22/6).

Diskusi tersebut juga turut menampilkan sejumlah narasumber diantaranya anggota Komisi II DPR-RI dari Fraksi Demokrat Santoso, Tokoh Bamus Betawi 1982 Haji Oding, dan Husni Hasanudin dosen politik dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, dan sejumlah tokoh betawi.  

SGY sapaan akrab Sugiyanto melanjutkan, masalahnya terjadi saat perubahan Undang-Undang 34 Tahun 1999 tentang kekhusus Jakarta. Aturan ini diganti dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tetapi sayangnya tidak mengganti nama Walikota ataupun Bupati yang dalam UUD45 hasil amandemen telah ditegaskan dipilih secara demokratis.

Masih kata SGY, seharusnya bila tak ingin melanggar konstitusi maka nomenklatur walikota dan bupati pada UU 29/2007 tersebut diganti dengan nama Kepala Administrasi Jakarta Utara, Selatan, Barat, Pusat, Timur dan Kepulauan Seribu, bukan lagi dengan nama walikota dan bupati.  

“Jadi konsekwensi mengunakan nomenklatur walikota dan bupati maka berlaku rumus UUD45 hasil amandemen pasal 18 ayat (4) yang menegaskan Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih secara demokratis, yakni melalui pemilihan langsung,” terang SGY.

Ketika ditanya tetang  UU khusus Jakarta No 29/2007 yang bisa dijadikan puyung hukum walikota dan bupati di Jakarta dipilih oleh Gubernur, SGY membenarkan bahwa konstitusi menegaskan Negara menghormati status satuan daerah yang bersifat khusus atau istimewa.  

Namun menurut SGY  UU khusus Jakarta itu bukan untuk mengkhususkan walikota dan bupati tidak dipilih langsung, melainkan tentang kekhususan Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

“Bayangkan bila kita mengunakan alasan UU khusus Jakarta. Kemudian Gubernur DKI Jakarta ditunjuk oleh presiden seperti walikota dan bupatinya ditunjuk Gubernur. Tentu akan mendapat banyak penolakan karena dinggap tidak demokratis. Lalu apa bedanya dengan walikota dan bupati, yang ditunjuk oleh Gubernur,” ungkap SGY.

Terkait gagasan tentang pemilihan langsung walikota, SGY menyarankan harus ada Badan Persiapan yang akan membahas hal ini. Badan tersebut juga nanti akan bekerja khusus untuk mengkaji dan menyusun regulasinya.  

"Harus dibentuk badan khusus dari masyarakat Jakarta untuk menyusun berbagai hal. Badan ini nanti yang memperjuakan walikota dan bupati atau gabungannya dipilih secara langsung oleh masyakat Jakarta, termasuk mempersiapkan JR UU IKN agar otomin Jakarta berada di daerah tingkat dua bukan dipropinsi,” tutup SGY. (Zat)