Massa Demonstrasi Fokus di DPR, Domain Pusat : Tepat Sikap Gubernur Pramono Tidak Turun Hadapi Massa

SIKAP Gubernur yang tampak “pasif” sesungguhnya menunjukkan pemahaman akan batas kewenangan administratif dan politik
Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)
Tulisan ini saya buat untuk memberikan pemahaman rasional kepada masyarakat, khususnya para aktivis yang mengkritik Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, karena tidak turun langsung menghadapi aksi massa.
Gelombang unjuk rasa besar beberapa waktu lalu menyasar di depan Gedung DPR RI. Lokasi tersebut jelas menjadi panggung utama aspirasi publik, sebab tuntutan yang dibawa massa ditujukan kepada elite legislatif dan pemerintah pusat. Dalam konteks seperti ini, adalah hal yang wajar apabila Gubernur DKI Jakarta memilih untuk tidak turun langsung menemui massa.
Jika Gubernur turun langsung, hal itu berpotensi menimbulkan tafsir keliru, seakan-akan ia ingin mengambil alih panggung kebijakan yang seharusnya menjadi domain DPR RI atau Presiden. Karena sasaran utama unjuk rasa adalah lembaga pusat, representasi yang sah seharusnya datang dari pimpinan DPR RI, pejabat legislatif, atau kementerian terkait, bukan gubernur.
Sikap Gubernur Pramono yang memilih bekerja di balik layar dengan memprioritaskan ketertiban dan pemulihan kota merupakan keputusan yang logis dan tepat. Kritik dari sebagian pihak memang wajar dalam konteks demokrasi. Namun jika ditinjau lebih dalam, substansi tuntutan demonstrasi itu ditujukan kepada DPR RI, bukan kepada pemerintah provinsi. Oleh karena itu, kritik yang diarahkan kepada Gubernur DKI menjadi tidak relevan.
Ada aktivis memang menilai absennya Gubernur di tengah massa membuat Jakarta seakan “tanpa pemimpin”, terlebih setelah adanya korban jiwa, seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan. Bahkan dia juga membandingkan sikap Pramono dengan Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengkubuwono X yang memilih turun langsung menemui massa.
Sesungguhnya saya juga mengetahui bahwa ada gubernur lain yang turut turun menemui massa, yakni Gubernur Jawa Barat, Kang Desi Mulyadi.
Perbandingan ini sejatinya tidak tepat. Kondisi demonstrasi di Yogyakarta dan Jawa Barat berbeda secara substansial. Di dua daerah tersebut, sasaran massa adalah pemerintah provinsi setempat sehingga wajar jika gubernurnya hadir. Sementara di Jakarta, pusat unjuk rasa adalah DPR RI dan pemerintah pusat, sehingga Gubernur DKI tidak memiliki kewajiban langsung untuk turun menghadapi massa.
Dalam pernyataan resminya di Balai Kota pada 30 Agustus 2025, Gubernur Pramono menegaskan bahwa setiap pemimpin memiliki gaya berbeda dalam menangani situasi krisis. Kehadirannya di tengah massa justru berpotensi memperkeruh keadaan karena dapat menimbulkan kesan “mengambil alih panggung”.
Dengan pengalaman panjang dalam memahami psikologi massa, Gubernur memilih bekerja secara senyap sejak pagi, meninjau titik-titik terdampak, berkoordinasi dengan Pangdam Jaya dan Kapolda Metro Jaya, serta memastikan pelayanan publik tetap berjalan.
Langkah konkret pemulihan terlihat jelas. Data Pemprov DKI per 1 September 2025 mencatat kerugian infrastruktur akibat kericuhan mencapai Rp51,1 miliar, terdiri dari kerusakan MRT Rp3,3 miliar, Transjakarta Rp41,6 miliar, serta CCTV dan fasilitas umum Rp5,5 miliar. Sebanyak 22 halte Transjakarta terdampak, enam di antaranya terbakar dan dijarah, sementara 16 lainnya mengalami kerusakan.
Pemulihan ditargetkan selesai pada 8–9 September 2025 menggunakan dana kontinjensi yang diawasi kejaksaan. Layanan Transjakarta dan MRT kembali normal sejak 1 September, bahkan digratiskan pada 31 Agustus–7 September sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah daerah.
Selain itu, layanan kesehatan juga disiagakan dengan 341 pasien tertangani, ambulans standby, dan pendampingan psikososial bagi korban. Pemerintah Provinsi turut memberikan perhatian khusus kepada keluarga korban jiwa, Affan Kurniawan, baik dalam pendidikan maupun lapangan pekerjaan. Semua ini mencerminkan tanggung jawab kepala daerah dalam menjaga ketertiban, keamanan, dan kesejahteraan warganya.
Sikap Gubernur yang tampak “pasif” sesungguhnya menunjukkan pemahaman akan batas kewenangan administratif dan politik. Kehadiran gubernur di arus demonstrasi pusat bisa menimbulkan persepsi keliru seolah daerah mengintervensi konflik nasional.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah menegaskan pembagian urusan pemerintahan antara pusat dan daerah. Dalam hal ini, unjuk rasa yang ditujukan kepada DPR RI jelas merupakan domain pemerintah pusat, sementara gubernur bertanggung jawab menjaga stabilitas daerahnya.
Kebijakan krisis membutuhkan koordinasi lintas lembaga. Gubernur Pramono memilih fokus pada koordinasi dengan aparat keamanan, pemulihan fasilitas umum, dan kelancaran layanan masyarakat. Pendekatan ini bukan kelemahan kepemimpinan, melainkan bentuk kehati-hatian agar Jakarta tetap terkendali.
Fokus penyelesaian masalah infrastruktur, transportasi, dan layanan publik telah membuahkan hasil positif. Namun demikian, perlu ada peningkatan dalam aspek komunikasi publik, agar masyarakat memahami alasan di balik setiap langkah yang diambil, sehingga tidak menimbulkan persepsi keliru.
Langkah koordinasi yang kuat dengan Kapolda, Pangdam, dan jajaran Pemprov DKI merupakan wujud nyata kepemimpinan yang bertanggung jawab. Dengan cara ini, Jakarta tetap dapat pulih dan masyarakat terlindungi tanpa harus terjadi distorsi peran antara pemerintah pusat dan daerah.