Kebangkitan Nasional: Bangkit untuk Negeri yang Terbelit Utang dan Rakyat yang Menderita, atau Bangkit Menuju Negara Maju dan Rakyat Sejahtera?

NEGERI ini mesti kembali kuat, mandiri, dan bermartabat seperti pada masa keemasan kerajaan-kerajaan Nusantara, namun dalam wujud negara modern yang berkeadaban dan demokratis
Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)
Ting! Sebuah pesan WhatsApp masuk ke ponsel saya. Datangnya dari teman lama, seorang wartawan senior bernama Muhammad Fauzi. Ia mengirimkan artikel yang ia tulis hari ini, 20 Mei 2025, berjudul, “117 Tahun Hari Kebangkitan Nasional: Tapi Bangkit dari Apa?”
Inti dari artikel tersebut menyentil kesadaran kita bersama: bahwa peringatan Hari Kebangkitan Nasional ke-117 bisa menjadi sia-sia belaka bila negeri ini masih diliputi berbagai persoalan kronis seperti korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), penegakan hukum yang tebang pilih, dan berbagai kebobrokan lainnya. Menurut Fauzi, Kebangkitan Nasional sejati haruslah menjadi kesadaran kolektif yang dimulai dari para pemegang jabatan publik—untuk mengembalikan integritas, keadilan, dan tanggung jawab terhadap rakyat.
Karena kesibukan, saya bahkan sempat lupa bahwa hari ini adalah 20 Mei, Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Namun pesan dari Fauzi membangkitkan ingatan saya dan mendorong saya menulis refleksi ini, dengan judul sebagaimana di atas.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata bangkit berarti berdiri atau bangun dari duduk, atau hidup kembali. Dengan kata lain, bangkit adalah sebuah gerakan dan perubahan dari keadaan rendah menuju posisi yang lebih tinggi dan bermartabat. Sementara itu, kebangkitan adalah proses atau upaya yang terus hidup dan bergerak untuk memperbaiki keadaan.
Dalam konteks Indonesia, Hari Kebangkitan Nasional diperingati setiap tanggal 20 Mei. Hari ini ditandai sebagai momen berdirinya organisasi Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908. Harkitnas merupakan simbol kebangkitan semangat nasionalisme, persatuan, dan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan. Lebih dari sekadar mengenang, Harkitnas adalah momentum untuk membangkitkan kembali semangat kolektif dalam membangun bangsa yang adil dan sejahtera.
Bila ditelusuri lebih dalam, akar Harkitnas sesungguhnya berasal dari siklus panjang sejarah Nusantara. Setelah masa kejayaan kerajaan-kerajaan besar di tanah air seperti Sriwijaya, Majapahit, dan Mataram, rakyat Nusantara memasuki masa penderitaan panjang akibat penjajahan asing, khususnya oleh Belanda. Maka, berdirinya Boedi Oetomo adalah cermin tekad bangsa untuk bangkit dari keterpurukan, membebaskan diri dari penjajahan, dan mengembalikan kejayaan nusantara melalui perjuangan kolektif.
Boedi Oetomo—yang kini lebih dikenal sebagai Budi Utomo—didirikan oleh dr. Soetomo dan para pelajar STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen). Gagasan ini pertama kali dimunculkan oleh Wahidin Soedirohoesodo dan bertujuan untuk mendorong kemajuan bangsa dalam bidang sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Maka tak heran, tanggal 20 Mei 1908 pun dikenang sebagai titik awal kebangkitan nasional Indonesia.
Sejarah bangsa kemudian bergerak dari masa pergerakan nasional menuju Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, melewati periode revolusi, masa pendudukan Jepang, dan pelaksanaan Pemilu pertama tahun 1955. Semua fase ini merupakan rangkaian perjuangan menuju cita-cita luhur: Indonesia yang maju, berdaulat, adil, makmur, dan menyejahterakan rakyatnya.
Setelah kemerdekaan, Indonesia memasuki era Orde Lama di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno. Lalu datang Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto selama 32 tahun, hingga akhirnya memasuki era Reformasi setelah Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998. Era Reformasi inilah yang menjadi penanda demokratisasi baru di Indonesia, dan hingga tahun 2025 ini, kita telah dipimpin oleh enam presiden: B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo, dan kini Prabowo Subianto.
Namun pertanyaan besarnya: apakah semangat Kebangkitan Nasional sejak 1908 hingga 2025 ini benar-benar telah terwujud sesuai harapan para pendiri bangsa?
Apakah bangsa ini telah bangkit untuk keluar dari lilitan utang, korupsi, dan penderitaan rakyat? Ataukah kita telah berhasil bangkit menuju negara maju dan rakyat yang benar-benar sejahtera?
Realitas hari ini menunjukkan bahwa rakyat masih merindukan keadilan sosial, penegakan hukum yang adil, serta pengelolaan kekayaan alam yang berorientasi pada kepentingan rakyat, bukan segelintir elite. Kita masih menyaksikan praktik korupsi yang merajalela, ketimpangan sosial yang lebar, dan utang negara yang terus meningkat. Maka, Kebangkitan Nasional sejati belum bisa dikatakan tercapai bila kesejahteraan rakyat belum menjadi kenyataan.
Harapan rakyat pada peringatan Harkitnas hari ini adalah agar semangat kebangkitan tidak hanya menjadi seremoni tahunan, melainkan menjadi pijakan untuk membangkitkan kembali kejayaan bangsa ini. Negeri ini mesti kembali kuat, mandiri, dan bermartabat seperti pada masa keemasan kerajaan-kerajaan Nusantara, namun dalam wujud negara modern yang berkeadaban dan demokratis.
Untuk itu, hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu, korupsi harus diberantas sampai ke akar-akarnya, dan kekayaan alam—baik bumi, air, maupun ruang udara—harus dikelola sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, sebagaimana amanat Pasal 33 UUD 1945.
Bangkit bukanlah pilihan, melainkan keharusan. Namun pertanyaannya: kita mau bangkit untuk siapa? Untuk segelintir elite yang memperkaya diri? Ataukah untuk seluruh rakyat agar Indonesia benar-benar menjadi negara maju dan rakyatnya sejahtera?
Pilihan itu ada di tangan kita—hari ini, bukan esok.