Karena Tinggal di Lingkungan Muhammadiyah, Saya Masuk Partai : Ingin Stop Aktivisme dan Fokus pada Urusan Pribadi
DALAM waktu dekat, saya mungkin akan secara terbuka mendeklarasikan keputusan untuk berhenti dari semua aktivitas politik, aktivisme, dan tulisan yang bersifat publik.
Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)/Relawan Independen Pendukung Prabowo Saat Pilpres 2019-2024
Saya lahir dan besar di lingkungan yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai Muhammadiyah. Tempat tinggal saya berada di Kelurahan Warakas, Gang 1 Dalam, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara, di dekat Masjid Baitul Mu’minin. Masjid ini menjadi pusat aktivitas keagamaan dan sosial masyarakat setempat, dengan para sesepuh dan pengurusnya yang hampir semuanya adalah aktivis Muhammadiyah.
Sejak kecil, saya terbiasa mengikuti kegiatan di Masjid Baitul Mu’minin, mulai dari belajar mengaji hingga menghadiri pengajian. Lingkungan inilah yang membentuk cara pandang saya, meskipun saya tidak pernah memiliki Kartu Tanda Anggota (KTA) Muhammadiyah. Secara pemikiran, saya merasa menjadi bagian dari Muhammadiyah, bahkan mungkin lebih mendalam daripada mereka yang resmi menjadi anggota. Bagi saya, prinsip dasar panduan di Muhammadiyah jauh lebih penting daripada sekadar Kartu Anggotanya.
Ketika gelombang Reformasi melanda Indonesia pada tahun 1998, saya mulai tertarik pada politik. Ketokohan mantan Ketua PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Amien Rais, menjadi inspirasi besar bagi saya. Beliau bukan hanya pemimpin Muhammadiyah, tetapi juga tokoh utama dalam gerakan Reformasi.
Pada saat itu, Amien Rais bersama tokoh-tokoh lainnya membentuk Majelis Amanat Rakyat (MAR), yang kemudian melahirkan Partai Amanat Nasional (PAN). Karena tinggal di lingkungan Muhammadiyah, saya terseret hingga terlibat secara alami dalam rapat-rapat pembentukan PAN. Hal ini terjadi karena banyak tokoh lokal Muhammadiyah di tempat tinggal saya yang juga aktif dalam proses tersebut.
Dari PAN hingga Bergabung dan Mundur dari Partai Perindo
Selama beberapa tahun, saya aktif di PAN. Namun, seiring berjalannya waktu, saya mulai melihat perubahan dalam lanskap politik. Di PAN, saya mengenal dekat beberapa tokoh papan atas pada waktu itu, seperti sahabat Amin Rais Bang Sabri Saiman, mantan Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir, serta Ketua Umum PAN saat ini, Bang Zulkipli Hasan. Ketika Amien Rais membentuk Partai Ummat, saya sempat mendukung teman-teman yang mendirikan partai tersebut. Namun, akhirnya saya memutuskan untuk bergabung dengan Partai Perindo.
Meskipun saya tidak secara resmi mengajukan surat mundur dari Perindo, secara pribadi, saya sudah tidak aktif lagi, alias sudah berhenti sebagai pengurus dan keluar dari keanggotaan Partai Perindo. Tulisan dalam artikel ini mungkin bisa menjadi cara untuk menjelaskan hal ini yang terkait dengan ketidakaktifan saya di Perindo. Dengan penuh hormat, saya mengucapkan terima kasih kepada Perindo atas penerimaan saya dalam keanggotaan dan kepengurusan, khususnya di DKI Jakarta.
Setelah beberapa tahun berkiprah, saya menyadari bahwa aktivitas politik dan partai tidak lagi menarik minat saya. Saya memutuskan untuk berhenti dari semua kegiatan partai dan memilih menjadi independen. Pengalaman saya di dunia politik selama lebih dari dua dekade memberikan banyak pelajaran, mulai dari memahami urusan pemerintahan hingga menjalin relasi dengan jurnalis dan aktivis lainnya.
Menjadi Penulis Artikel dan Keinginan untuk Berhenti (Stop)
Seiring berjalannya waktu, saya menemukan minat yang mendalam dalam menulis. Saya mulai mencurahkan berbagai pemikiran ke dalam bentuk artikel yang membahas beragam isu, mulai dari sosial dan politik hingga kehidupan sehari-hari. Dunia politik, aktivisme, media, dan publikasi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian saya selama ini.
Dalam perjalanan ini, pikiran saya selalu dipenuhi oleh begitu banyak ide untuk ditulis, seolah tak pernah habis. Jika diikuti, saya mungkin bisa menulis 4-5 artikel setiap hari dari berbagai gagasan yang ingin saya tuangkan. Namun, kini saya merasa waktunya telah tiba untuk mengakhiri atau "berhenti (stop)” dari semua aktivitas politik dan aktivisme, serta mulai fokus pada urusan pribadi. Saya merasa perlu memberikan perhatian lebih pada hal-hal yang lebih esensial dalam hidup saya.
Perjalanan waktu selama hampir 26 tahun memang terasa begitu cepat. Kita sering kali hanyut dan terlena, bagaikan orang yang kehausan di padang pasir dan terus minum tanpa henti. Jika dihitung sejak tahun 1998 hingga 2024, perjalanan saya di dunia politik dan aktivisme bisa diibaratkan seperti menyelesaikan pendidikan tingkat profesor. Kini, saya ingin mengalihkan fokus pada pekerjaan pribadi, keluarga, dan membangun hubungan yang lebih bermakna dengan teman-teman.
Selain itu, usia saya yang hampir 60 tahun juga menjadi pertimbangan. Saya lahir pada 18 April 1968 di Jakarta, dan sebagai seorang Muslim, saya mengacu pada usia Nabi Muhammad SAW yang wafat di usia 63 tahun. Bagi saya, ini adalah masa untuk lebih banyak merenung, memperbaiki diri, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Memang, umur manusia tidak ada yang tahu pasti, tetapi meninggal dunia adalah hal yang pasti terjadi. Oleh karena itu, sudah selayaknya kita semua mempersiapkan diri untuk menghadapi kepastian tersebut.
Oleh karena itu, dalam waktu dekat, saya mungkin akan secara terbuka mendeklarasikan keputusan untuk berhenti dari semua aktivitas politik, aktivisme, dan tulisan yang bersifat publik. Saya ingin menempuh jalan hidup yang lebih sederhana, dengan fokus pada keluarga, pekerjaan, dan membangun hubungan sosial yang lebih bermakna.
Istilah “lengser keprabon madeg pandito” yang pernah digunakan oleh mantan Presiden Soeharto menjadi inspirasi saya. Meskipun saya bukan seorang mantan pejabat, makna dan relevansinya tetap kuat sebagai bahan refleksi dalam kepemimpinan individu. Rasanya, kini adalah waktu yang tepat untuk meninggalkan panggung politik, aktivisme, media, dan publikasi untuk fokus mengabdikan diri pada hal-hal yang lebih esensial dalam hidup.
Saat ini, saya tengah memikirkan dan mencari momen yang tepat untuk melakukannya, apakah dalam 1-5 bulan ke depan. Mungkin juga “berhenti” (stop) lebih tepat dilakukan dalam 3-5 tahun mendatang. Nampaknya, waktu 3-5 tahun ke depan lebih pas, seiring dengan masa kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto periode 2024-2029. Hal ini juga sejalan dengan peran saya sebagai pendukung, fungsi kontrol publik, serta pemberi masukan kepada pemerintahan saat ini. Insya Allah, wallahu a'lam bishawab.