Jabatan Kepala Daerah Bukan untuk Konten Medsos Demi Keuntungan Pribadi: Presiden Prabowo Perlu Menyusun Panduan yang Jelas untuk Penertiban

Sugiyanto (SGY)-Emik

SETELAH resmi menjabat sebagai kepala daerah, seorang pemimpin daerah seharusnya langsung memfokuskan diri pada tugas dan tanggung jawabnya sebagai pelayan masyarakat

Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)

Artikel ini saya tulis sebagai masukan untuk pemerintah, baik di tingkat daerah maupun pusat, terkait dugaan penyalahgunaan jabatan di tingkat daerah. Belakangan ini, saya melihat adanya kecenderungan dari kepala daerah, baik gubernur, bupati, maupun wali kota, yang memanfaatkan media sosial untuk tujuan pencitraan dengan menggunakan jabatan yang mereka emban.

Saya tidak perlu menyebutkan nama kepala daerah yang dimaksud. Dalam hal ini yang lebih penting adalah agar rakyat dapat memahami tugas dan fungsi kepala daerah, serta mengerti hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara Indonesia.

Menurut pandangan saya, setelah resmi menjabat sebagai kepala daerah, seorang pemimpin daerah seharusnya langsung memfokuskan diri pada tugas dan tanggung jawabnya sebagai pelayan masyarakat. Jabatan publik bukanlah panggung pribadi, apalagi hanya dijadikan alat untuk membangun pencitraan melalui konten media sosial yang lebih mengarah pada popularitas ketimbang pelayanan yang sesungguhnya.

Dalam konteks ini, Presiden Prabowo sebagai kepala negara perlu segera menyusun panduan yang tegas dan komprehensif terkait penggunaan media sosial oleh kepala daerah. Langkah ini penting untuk mencegah penyalahgunaan jabatan demi kepentingan pribadi, apalagi jika konten dari akun media sosial pribadi pun dapat menghasilkan keuntungan secara langsung. Panduan tersebut harus memuat aturan ketat mengenai batasan penggunaan media sosial, serta memastikan bahwa setiap konten yang dipublikasikan tetap relevan dengan tugas dan fungsi pemerintahan.

Memang, di era digital saat ini, media sosial menjadi sarana komunikasi yang sangat efektif. Namun, sangat tidak etis apabila jabatan kepala daerah dimanfaatkan untuk membangun citra diri secara berlebihan, apalagi demi keuntungan finansial pribadi. Situasi ini menjadi semakin memprihatinkan ketika kepala daerah mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam pengambilan kebijakan hanya demi mendapatkan sorotan publik. Terlebih lagi jika konten-konten yang disajikan dikemas secara dramatis agar terkesan heroik, padahal di baliknya terdapat pelanggaran prosedur, tindakan tidak manusiawi, serta keputusan yang diambil tanpa pertimbangan hukum yang matang.

Kepala daerah tidak boleh menggunakan kewenangannya untuk melakukan tindakan sepihak terhadap pelanggaran di masyarakat tanpa melibatkan instansi terkait, baik di tingkat daerah maupun pusat. Pemangkasan prosedur dalam penegakan hukum atau aturan bukan hanya bentuk arogansi kekuasaan, tetapi juga berpotensi melanggar asas keadilan dan kepastian hukum. Setiap tindakan yang melibatkan penertiban, apalagi terhadap masyarakat kecil, harus dilakukan secara adil, prosedural, dan mengedepankan pendekatan yang manusiawi.

Lebih dari itu, kepala daerah tidak boleh menzalimi masyarakat dengan alasan penertiban. Masyarakat yang melakukan pelanggaran tetap berhak mendapatkan proses hukum yang adil sebagai warga negara. Penertiban seharusnya tidak dijadikan ajang untuk menunjukkan kekuasaan kepala daerah. Apalagi jika kemudian hal tersebut dijadikan konten media sosial yang menampilkan seolah-olah seorang pemimpin tegas dan tanpa kompromi, padahal itu mengorbankan rasa keadilan dan kepercayaan publik.

Dalam menghadapi persoalan lintas wilayah, kepala daerah tidak boleh bersikap ego sektoral. Seorang gubernur wajib menghormati wilayah kerja wali kota atau bupati dengan cara melibatkan mereka dalam setiap pengambilan keputusan. Meskipun suatu masalah terjadi di wilayah kewenangannya, bukan berarti ia dapat mengabaikan koordinasi dengan daerah lain atau pemerintah pusat. Dalam sistem pemerintahan yang terintegrasi, komunikasi dan koordinasi antarlembaga merupakan syarat mutlak untuk menjaga keharmonisan kebijakan serta mencegah konflik kepentingan antarwilayah.

Kepala daerah tidak boleh bertindak gegabah terhadap pelaku usaha, terlebih lagi dengan melakukan penggusuran atau pembongkaran bangunan secara spontan tanpa melalui proses hukum yang berlaku. Tindakan semacam ini, jika direkam dan disebarluaskan demi kepentingan pencitraan, justru mencederai rasa keadilan dan mempermalukan negara di hadapan rakyatnya sendiri. Negara seharusnya hadir untuk memberikan rasa aman dan kepastian hukum, bukan menebar ketakutan. Prinsip bahwa semua orang sama di mata hukum dan asas praduga tak bersalah harus menjadi pijakan utama bagi semua pihak.

Dalam konteks tersebut, penting bagi Presiden Prabowo Subianto untuk segera menetapkan panduan dan batasan yang jelas bagi para kepala daerah. Salah satu aspek yang perlu diatur secara khusus adalah penggunaan media sosial, terutama terkait konten yang menyangkut tindakan administratif atau hukum. Konten semacam ini tidak boleh bersifat manipulatif, menyesatkan, atau menciptakan kesan seolah-olah kepala daerah adalah satu-satunya aktor utama dalam penegakan aturan. Hukum harus tetap menjadi panglima, dan peran proses hukum serta lembaga yang berwenang tidak boleh diabaikan.

Jika ada kepala daerah yang secara nyata menyalahgunakan jabatannya untuk membuat konten yang merugikan masyarakat, menyalahi prosedur, atau bahkan memperoleh keuntungan pribadi, maka pemerintah pusat harus bersikap tegas. Sanksi yang proporsional perlu diberikan agar jabatan kepala daerah tidak berubah fungsi menjadi alat branding politik pribadi. Hal ini penting agar prinsip-prinsip ketatanegaraan tidak dirusak oleh tindakan arogansi seorang kepala daerah.

Kesimpulannya, setiap kepala daerah harus menjadi pelayan rakyat yang sejati. Rakyat wajib dihormati hak-haknya, karena pada hakikatnya, rakyatlah yang menjadi “tuan” dari kepala daerah. Seluruh gaji dan tunjangan mereka berasal dari pajak rakyat. Oleh karena itu, jabatan publik adalah amanah rakyat, bukan panggung untuk pencitraan semu. Dengan adanya regulasi yang jelas, diharapkan tercipta iklim pemerintahan yang lebih profesional dan transparan, serta terhindar dari penyalahgunaan jabatan demi popularitas pribadi atau kepentingan tertentu.