Gagasan Memperpanjang Masa Jabatan Kepala Daerah Dapat Membuat Jokowi Melanggar Konstitusi.

Aktivis Jakarta/Ketua Koalisi Rakyat Pemerhati Jakarta Baru (Katar) Sugiyanto (SGY)- (Foto-Ist)

Pertama, dengan alasan apapun Presiden Jokowi tak boleh melanggar ketentuan aturan, khususnya UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur,Bupati, Walikota, menjadi Undang-Undang, yaitu pada pasal 201 ayat (1) sampai dengan ayat (12). Apalagi melanggar konstitusi (UUD-45) hasil amandemen pada pasal 18 ayat (4),


Oleh : Sugiyanto 
Aktivis Jakarta/ Ketua Koalisi Rakyat Pemerhati Jakarta Baru (Katar)

Beberapa hari lalu banyak tersebar pemberitaan media online pada WAG tentang usulan agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) memperpanjang 271 kepala daerah yang akan habis masa jabatannya pada tahun 2022-2023. Perpanjangannya diusulkan sampai Pemilu serentak nasional tahun 2024, karena pilkada langsung ditiadakan dan baru akan dilaksakan serentak pada tahun 2024.

Sejatinya gagasan dan argumenasi ide ini cukup baik dan dapat menjadi salah satu solusi jitu atas permasalahan pilkada, tetapi Presiden Joko Widodo tak akan mungkin melaksanakan usulan tersebut sebab bila dilakukan dapat membuat Jokowi terperangkap dalam kondisi melanggar konstitusi.

Dalam UUD45 hasil amandemen, yaitu pada pasal 18 ayat (4) jelas disebutkan dengan gamblang bahwa; Gubernur, Bupati, Dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Perhatikan kalimat ini!!! "DIPILIH SECARA DEMOKRATIS"

Jadi konstitusi hanya memerintahkan kepala daerah itu harus dipilih secara demokratis, bukan dengan cara lain seperti ditunjuk, apalagi diperpanjang oleh Presiden. Dalam hal ini pemerintah telah memilih cara yang paling demokratis, yakni melalui pemilihan kepada daerah (pilkada) langsung. 

Bila kita melihat sejarah repormasi pilkada, dalam prosesnya pemerintah telah melakukan  beberapa kali perubahan pada  UU  pemerintahan daerah. Pilkada serentak bersamaan dengan pemilu nasional menjadi pilihan. Bahkan hal ini telah diperkuat melalui putusan Mahkamah Konstitusi No.55/2019, dimana MK telah menyetarakan pilkada dengan pemilu, dan mempersilahkan pilkada disatukan dengan pemilu nasional.

Pilkada serentak menjadi agenda nasional. Saat ini aturan UU yang menjadi rujukan pemerintah dalam proses pilkada serentak adalah UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur,Bupati, Walikota, menjadi Undang-Undang. Ketentuannya dapat dilihat pada pasal 201 ayat (1) sampai dengan ayat (12).

Dalam aturan UU pilkada tersebut telah ditentukan bahwa kepala daerah yang habis masa jabatannya pada tahun 2022-2023, maka pelaksanaan pilkadannya dilaksanakan bersama-sama melalui Pemilihan serentak nasional para tahun 2024. Dalam UU itu juga mengatur tentang jabatan kosong kepala daerah, yaitu diangkat pejabat Gubernur, pejabat Bupati, dan pejabat Walikota sampai terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.

Lalu bagaimana menjabawab pertanyaan bahwa usulan kepada Presiden Jokowi tentang memperpanjang 271 kepala daerah yang akan habis masa jabatannya pada tahun 2022-2023 karena lebih efektif dibanding Pj dari ASN, apalagi ditengah Pandemi Covid19?. Selain itu juga pertanyaan tentang ada yurisprudensi perpanjangan masa jabatan kepala daerah, dimana pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah  perpanjangan masa jabatan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sultan Hamamglubowono X?

Pertanyaan ini sangat mudah dijawab!

Pertama, dengan alasan apapun Presiden Jokowi tak boleh melanggar ketentuan aturan, khususnya UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur,Bupati, Walikota, menjadi Undang-Undang, yaitu pada pasal 201 ayat (1) sampai dengan ayat (12). Apalagi melanggar konstitusi (UUD-45) hasil amandemen pada pasal 18 ayat (4), yang pada intinya memerintahkan kepala daerah wajib dipilih secara demokratis, bukan diperpanjang oleh presiden.

Kemudian tentang yurisprudensi SBY pernah memperpanjang jabatan Gubernur Yogyakarta,  itu justru SBY sedang menjalankan perintah konstitusi ( UUD45) hasil amandemen pasal pasal 18B ayat (1) yaitu; Negara mengakui dan memghormati Satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang.

Ketika itu pada bulan Desember tahun 2010, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia(DPR-RI) sedang membahas tentang RUU Keistimwwaan Yogyakarta. Saat itu SBY berinisiatif memperpanjang masa jabatan gubernur DIY dari 2008-2011. Tujuannya adalah agar pemerintah lebih jernih memikirkan dan merumuskan Undang-undang Keistimwwaan Yogyakarta. Sebab masalah pemilihan atau penunjukan/pengangkatan gubernur DIY merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam pembahasan RUU DIY. Apa yang dilakukan SBY adalah bentuk konsistensi dalam menjalakan perintah konstitusi (UUD45) hasil amandemen pasal 18B ayat (1) tersebut.

Jadi yuriprudensi SBY pernah memperpanjang masa jabatan gubernur DIY adalah dalam rangka Negara menghormati dan mengakui pemerintahan daerah yang bersifat kekhususan atau istimewa. Alasan ini tidak bisa dipake sebagai landasan untuk memperpanjang masa jabatan kepala daerah lain.

Dengan demikian maka dapat dipastikan Presisen Joko Widodo tak akan memikirkan tentang usulan perpanjangan 271 kepala daerah. Sebab bila dilakukan maka Jokowi akan melanggar UU dan Konstitusi (UUD45) hasil amandemen. Dampak paling buruk kepada Jokowi adalah "pemakzulan", karena dianggap melanggar UU dan konstitusi. 

Untuk itu sebaiknya usulkanlah cara-cara lain yang lebih tepat. Gagasan yang paling logis dan tak melanggar aturan adalah dengan mengusulkan, Sekretaris  Daerah (Sekda) dan Asisten Pemerintahan agar bisa diangkat sebagai pejabat Gubernur dan Wakil Gubernur, pejabat Bupati dan Wakil Bupati, serta pejabat Walikota dan Wakil Walikota  sampai pemilu serentak pada  tahun 2024.

The End