Demokrat Dorong Pembentukan Aturan Pemilihan Walikota Di Jakarta Secara Langsung

Diskusi Bertajuk ‘Bincang – bincang Jakarta Pasca Tidak Lagi Sebagai Ibukota NKRI’, (Ist)

Jakarta, Dekannews - Pengesahan UU Ibu Kota Negara (IKN) nomor 3 tahun 2022  menimbulkan polemik lantaran tidak menyebut secara tegas status Jakarta setelah tidak lagi menjadi Ibukota Negara.  

Hal itu juga menimbulkan pertanyaan terkait masa depan struktur pemerintahan. Sementara sejumlah kalangan menilai, bakal terjadi perubahan struktur politik di Jakarta. Salah satunya adalah terbukanya peluang Wali Kota dan Bupati di Jakarta dipilih langsung oleh rakyat Jakarta.  

Terkait hal itu, Anggota Komisi II DPR-RI Fraksi Demokrat Santoso mengatakan jika pemerintah pusat tidak memberikan status khusus bagi Jakarta, maka sistem otonomi daerah juga berubah. 

Nanti, akan ada bupati dan walikota termasuk DPRD Kabupaten dan Kota yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah (Pilkada) dan pemilihan legislatif (Pileg) seperti halnya provinsi lain.

Karena itu Santoso meminta payung hukum undang – Undang pemerintahan di Jakarta disamakan dengan daerah lainnya yaitu menggunakan Undang - Undang (UU) 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, dimana walikota atau bupati dipilih langsung oleh rakyat.   

"Ini lebih efisien waktu dan anggaran, tapi kalau ada undang – undang baru yang mengakomodir kekhususan Jakarta silahkan saja, namun yang jelas otonomi harus ada ditingkat 2,” terangnya dalam diskusi yang bertajuk ‘Bincang – bincang Jakarta Pasca Tidak Lagi Sebagai Ibukota NKRI’, di sebuah rumah makan di Kawasan Tanjung Priok Jakarta Utara, Rabu (22/6).  

Apalagi Santoso melanjutkan, pemilihan walikota dan Bupati secara langsung sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar Tahun 1945 hasil amandemen pasal 18.

Karena itu dia menegaskan, pihaknya akan berusaha untuk memperjuangkan adany aturan agar ada pemilihan walikota secara langsung. Untuk itu Ia mengajak berbagai elemen, untuk terlebih dahulu menjudicial review UU No 3 tahun 2022 tentang Ibukota Negara khususnya pasal 41 yang masih menyebut otonomi Jakarta ada ditingkat 1.  

"Setelah Jakarta tidak lagi menyandang status Ibukota, UU No 29 tahun 2007 seharusnya otomatis gugur.  Atau jika tidak ada undang-undang nya Jakarta disamakan dengan provinsi lain yaitu mengacu pada Undang-undang No 23 tahun 2015. Langkah lain akan kita tempuh dengan melakukan uji materi ke Mahkamah konstitusi (MK) terkait UU No 3 tahun 2022 tentang Ibukota Negara khususnya pasal 41," tutupnya.  

Sedangkan Husni Hasanudin, dosen politik dari Universitas Muhammadiyah Jakarta menilai, kemungkinan besar jika terealisasi otonomi di tingkat 2, dapat dilaksanakan pada tahun 2029. Namun sebelum itu harus menunggu perubahan dari UU 29 tahun 2007 yang ditargetkan selesai pada tahun 2023.  

"Jika UU baru itu menyebutkan otonomi di tingkat 2, maka selanjutnya harus dipersiapkan infrastruktur dan regulasi pendukung lainnya. Setelah itu, harus ada pemerintahan transisi, dengan anggota dewannya ditunjuk oleh parpol hingga tahun 2029,”terangnya.

Selain Anggota Komisi II DPR-RI dari Fraksi Demokrat Santoso, diskusi juga turut dihadiri oleh pengamat Kebijakan Publik Sugiyanto, Tokoh Bamus Betawi 1982 Haji Oding, dan Husni Hasanudin dosen politik dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, dan sejumlah tokoh betawi. (Zat)