Selain Banyak Gebrakan, Gubernur Pramono Juga Ganti Pejabat serta Direksi dan Komisaris BUMD : Langkah Ini Sah Secara Hukum, 100 Persen Bisa!

Foto-INT/IST-Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung-Sugiyanto SGY (Emik)

KEBIJAKAN Gubernur Pramono didasarkan pada alasan objektif serta telah mendapatkan persetujuan dari otoritas yang berwenang

Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)

Pasca dilantik oleh Presiden Prabowo Subianto pada 20 Februari 2025, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung bersama Wakil Gubernur Rano Karno langsung tancap gas dengan bekerja dan bergerak cepat. Pada 25 Maret 2025, Gubernur Pramono menerbitkan Instruksi Gubernur Nomor e-0001 Tahun 2025 tentang Pelaksanaan Program 100 Hari Gubernur dan Wakil Gubernur, yang dimulai sejak pekan pertama, 21 Februari–2 Maret 2025, hingga pekan ke-14, 26 Mei–1 Juni 2025.

Salah satu gebrakan nyata Gubernur Pramono adalah mengganti sejumlah direksi dan komisaris Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), seperti Bank DKI, PAM Jaya, dan PT Pembangunan Jaya Ancol. Terobosan terbaru Gubernur Pramono adalah mendorong Bank DKI dan PAM Jaya untuk melantai di bursa melalui penawaran saham perdana (IPO) atau go public. 

Selain itu, langkah strategis lainnya adalah melakukan rotasi dan pelantikan terhadap 62 pejabat di lingkungan Pemprov DKI Jakarta. Pada hari ini, Selasa, 7 Mei 2025, sebanyak 59 pejabat resmi dilantik langsung oleh Gubernur Pramono di Balai Agung. Adapun pelantikan Kepala Dinas Sumber Daya Air (SDA) dan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) ditunda karena keduanya masih berstatus Pelaksana Tugas (Plt).

Pengangkatan pejabat tersebut sempat menjadi perbincangan karena didahului oleh surat Gubernur yang bersifat rahasia dengan nomor 222/KG.04 tertanggal 2 Mei 2025 yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri. Menurut saya, munculnya surat rahasia ini ke ruang publik jelas menimbulkan tanda tanya besar. Kebocoran seperti ini tidak semestinya terjadi dan patut diduga sebagai bagian dari upaya menggagalkan kebijakan Gubernur Pramono, dengan melibatkan intervensi dari pihak-pihak tertentu. Beruntung, pejabat tersebut akhirnya dapat segera dilantik pada sore hari tadi di Balai Kota Pemprov DKI Jakarta.

Lalu muncul pertanyaan: Apakah Gubernur Pramono memiliki kewenangan untuk mengganti pejabat dan pimpinan BUMD sebelum enam bulan setelah ia dilantik dan sebelum dua tahun dari masa jabatan pejabat yang bersangkutan dilantik? Jawabannya, saya tegaskan, secara hukum sah dan 100 persen bisa, karena  sesuai dengan mekanisme dan aturan hukum yang berlaku.

Secara normatif, Pasal 162 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 menyatakan bahwa kepala daerah dilarang mengganti pejabat dalam kurun waktu enam bulan sejak dilantik, kecuali dengan persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri. Artinya, larangan ini bersifat kondisional, bukan absolut. Jika Gubernur Pramono telah memperoleh persetujuan tertulis dari Mendagri, maka pergantian pejabat sebelum enam bulan menjabat adalah sah secara hukum. 

Sesungguhnya, aturan dalam UU yang melarang kepala daerah melantik pejabat sebelum lewat waktu 6 bulan setelah dilantiknya kepala daerah tersebut itu pun kemudian digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Adalah  seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) bernama Panser S.C. Simamora yang melakukan Judisial Review ke MK melalui Perkara Nomor 2/PUU-XXIII/2025. ASN tersebut mempertanyakan ketentuan yang melarang kepala daerah terpilih melakukan penggantian pejabat daerah dalam waktu enam bulan sejak pelantikan, kecuali dengan persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri.

Aturan lain yang melarang kepala daerah untuk mengangkat pejabat di lingkungan pemerintahannya antara lain diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, serta Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 junto PP Nomor 17 Tahun 2020. Namun demikian, terdapat pengecualian terhadap ketentuan tersebut.

Pengecualian dimungkinkan berdasarkan Surat Edaran Menteri PANRB Nomor 19 Tahun 2023, yang memperbolehkan mutasi atau rotasi pejabat pimpinan tinggi yang belum menjabat selama dua tahun penuh, dengan pertimbangan tertentu.

Ketentuan dalam Surat Edaran tersebut merupakan bentuk dispensasi terhadap aturan umum dalam UU ASN, yang pada prinsipnya melarang mutasi atau rotasi pejabat sebelum masa jabatan dua tahun terpenuhi. Namun, Menteri PANRB melalui Surat Edaran tersebut memberikan ruang fleksibilitas kebijakan mutasi, sepanjang dilakukan atas dasar alasan yang sah dan melalui prosedur yang tepat. Dispensasi ini diberikan demi kepentingan akselerasi kinerja, efektivitas birokrasi, atau alasan mendesak lainnya.

Beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar penerbitan Surat Edaran Menteri PANRB Nomor 19 Tahun 2023 antara lain adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020, serta Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja Pegawai Negeri Sipil.

Selain itu, aturan lain yang juga menjadi rujukan dalam penerbitan Surat Edaran tersebut adalah Peraturan Menteri PANRB Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi secara Terbuka dan Kompetitif di Lingkungan Instansi Pemerintah, serta Peraturan Menteri PANRB Nomor 6 Tahun 2022 tentang Pengelolaan Kinerja Pegawai Aparatur Sipil Negara.

Sementara itu, untuk penggantian direksi dan komisaris BUMD, Gubernur juga memiliki kewenangan penuh berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan PP Nomor 54 Tahun 2017. Kepala daerah sebagai pemegang kekuasaan atas kekayaan daerah yang dipisahkan berhak mengangkat dan memberhentikan direksi dan komisaris BUMD sewaktu-waktu. Ketentuan ini tentu melalui pertimbangan tertentu dan proses uji kelayakan dan evaluasi kinerja yang ketat dan transparan. Mekanisme ini penting untuk menjamin penerapan prinsip good corporate governance dan menjaga kepercayaan publik.

Dalam konteks politik, penggantian pimpinan BUMD merupakan langkah strategis untuk menyelaraskan arah kebijakan dengan visi kepala daerah. Di Jakarta, di mana peran BUMD sangat vital dalam penyediaan layanan publik seperti air bersih, transportasi, dan perumahan dan lainnya. Dalam hal ini, reformasi manajerial BUMD menjadi kebutuhan mendesak demi efektivitas pelayanan dan efisiensi pengelolaan aset daerah.

Kesimpulannya, Gubernur Pramono memiliki kewenangan hukum yang sah untuk mengganti pejabat struktural maupun direksi dan komisaris BUMD, baik sebelum enam bulan masa jabatannya maupun sebelum pejabat sebelumnya menjabat selama dua tahun. Langkah yang diambil Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung ini tentu dijalankan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. 

Saya meyakini bahwa kebijakan Gubernur Pramono didasarkan pada alasan objektif serta telah mendapatkan persetujuan dari otoritas yang berwenang. Oleh karena itu, langkah tersebut tidak hanya mungkin dilakukan, tetapi juga sah secara konstitusional.