Revisi UU DKJ Berpotensi Memicu Publik Menduga Ketidakmatangan Perencanaan IKN

Sugiyanto (SGY)-Emik

REVISI UU DKJ tidak hanya menimbulkan kerancuan, tetapi juga memicu diskusi publik mengenai dugaan ketidakmatangan perencanaan pemindahan IKN

Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT) / Relawan Independen Pendukung Prabowo Subianto

Sebelum melanjutkan artikel ini, saya ingin menyampaikan bahwa saya berkomitmen untuk terus menulis berbagai analisis dan pandangan hingga lima tahun ke depan. Komitmen ini sejalan dengan masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto periode 2024-2029. 

Sebagai relawan independen yang mendukung Prabowo Subianto sejak Pilpres 2019 dan 2024, saya merasa memiliki tanggung jawab moral. Oleh karena itu, saya merasa perlu untuk mendukung, mengawal, dan memberikan masukan konstruktif kepada pemerintah demi kemajuan negara dan kesejahteraan rakyat.

Saat ini, saya ingin kembali mengulas Revisi Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (DKJ)!

Sebagaimana diketahui, pada 19 November 2024, DPR RI mengesahkan revisi UU No. 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta (DKJ) dalam Rapat Paripurna ke-8 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2024-2025. Revisi tersebut kemudian disahkan oleh Presiden Prabowo Subianto melalui penerbitan UU No. 151 Tahun 2024 pada 30 November 2024.

Namun, saya berpendapat bahwa revisi UU DKJ tersebut menimbulkan sejumlah kerancuan, terutama terkait status Jakarta. Misalnya, meskipun nomenklatur "DKI Jakarta" diubah menjadi "Daerah Khusus Jakarta" (DKJ), Jakarta tetap disebut sebagai Ibu Kota Negara. Hal ini berlaku sampai diterbitkannya Keputusan Presiden (Keppres) yang menetapkan pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Ibu Kota Nusantara (IKN) di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur (Kaltim).

Terkait hal tersebut, saya sebelumnya telah menulis artikel berjudul "Revisi UU DKJ Menyebabkan Kerancuan: Jakarta Tetap Ibu Kota, yang Dibutuhkan Keppres IKN, Bukan Revisi UU DKJ" pada 10 Desember 2024. Artikel ini menegaskan bahwa revisi UU DKJ sebenarnya tidak diperlukan, karena Undang-Undang IKN No. 3 Tahun 2022 dan UU DKJ No. 2 Tahun 2024 sudah secara jelas menyatakan bahwa Jakarta tetap menjadi Ibu Kota Negara hingga Keppres IKN diterbitkan.

Dengan demikian, secara logis, segala hal terkait Jakarta, baik dalam penyebutan, dokumen resmi, maupun aspek lainnya, tetap sah menggunakan nomenklatur "Jakarta sebagai Ibu Kota" atau "DKI Jakarta" hingga Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Keppres pemindahan Ibu Kota ke IKN.

Dalam konteks ini, dapat dimaknai bahwa selama Keppres IKN belum diterbitkan, Jakarta tetap menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia tanpa tambahan nama atau istilah lain. Ini bukan pendapat saya, melainkan apa yang diamanatkan oleh UU IKN dan UU DKJ.

Untuk menguatkan pendapat saya ini, perlu saya sampaikan dasar hukum yang mendasari status Jakarta sebagai Ibu Kota Negara. Hal ini diatur dalam UU No. 3 Tahun 2022 tentang IKN, yang menyatakan bahwa kedudukan Jakarta sebagai Ibu Kota Negara tetap berlaku hingga Keputusan Presiden (Keppres) pemindahan IKN dikeluarkan. 

Selain itu, dalam UU No. 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta juga ditegaskan bahwa Jakarta tetap menjadi Ibu Kota Negara hingga Keppres pemindahan IKN dikeluarkan. Jakarta juga tetap menjadi Ibu Kota Provinsi Daerah Khusus Jakarta hingga ada perubahan sesuai dengan undang-undang.

Dengan dasar hukum tersebut, revisi UU Daerah Khusus Jakarta (DKJ) tidak diperlukan, dan perubahan nomenklatur justru berpotensi menimbulkan kebingungan. Sebagai contoh konkret, dengan adanya revisi UU DKJ ini, Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih nantinya akan disebut Gubernur dan Wakil Gubernur DKJ, bukan DKI. Padahal, UU sendiri masih menegaskan bahwa Jakarta tetap merupakan Ibu Kota Negara, alias Daerah Khusus Ibu Kota (DKI), tempat di mana mereka akan bertugas.

Potensi Munculnya Dugaan Ketidakmatangan Perencanaan IKN atas Revisi UU DKJ

Revisi UU DKJ tidak hanya menimbulkan kerancuan, tetapi juga memicu diskusi publik mengenai dugaan ketidakmatangan perencanaan pemindahan IKN pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kondisi ini berpotensi memunculkan berbagai pendapat, termasuk setidaknya tiga sorotan tajam dari masyarakat.

Pertama, publik mungkin berpendapat bahwa Proyek IKN diluncurkan tanpa kajian komprehensif. Masyarakat mungkin menganggap masih ada masalah seperti kurangnya infrastruktur, konflik dengan masyarakat adat, dan ketidakjelasan pendanaan. Hal ini mungkin bisa dilihat sebagai indikasi kurangnya kesiapan dalam pelaksanaan proyek IKN.

Kedua, publik mungkin menganggap pemindahan ibu kota dilakukan secara tergesa-gesa, sehingga melupakan dampak jangka panjang bagi Jakarta sebagai ibu kota negara dan pusat ekonomi nasional.

Ketiga, publik mungkin beranggapan bahwa Revisi UU DKJ, tanpa penerbitan Keppres IKN, menimbulkan kesan bahwa proyek ini belum siap. Selain itu, publik juga bisa menduga bahwa proyek IKN hanya merupakan ambisi politik dari pemerintahan sebelumnya, termasuk adanya dugaan pemborosan anggaran negara.

Dalam kondisi tersebut, publik mungkin melihat proyek IKN sebagai beban tambahan bagi pemerintahan Presiden Prabowo. Artinya, publik mungkin menganggap proyek ini sebagai buah simalakama, di mana pemerintah saat ini harus menyelesaikan persoalan yang ditinggalkan oleh pemerintahan sebelumnya, sementara di sisi lain, pemerintah membutuhkan dana besar untuk banyak prioritas lainnya yang juga krusial.

Berdasarkan uraian di atas, revisi UU DKJ yang baru saja disahkan seharusnya tidak menjadi prioritas. Yang lebih dibutuhkan saat ini adalah Keppres pemindahan Ibu Kota Negara sebagai dasar hukum untuk mengubah status Jakarta serta langkah-langkah selanjutnya.

Selain itu, pemerintah perlu meyakinkan publik bahwa proyek IKN telah direncanakan dengan matang dan bahwa Keppres IKN akan segera diterbitkan. Hal ini tentu dibutuhkan publik sebagai bukti bahwa pemerintah sungguh-sungguh akan memindahkan ibu kota dari Jakarta ke IKN di Kaltim.

Namun, apabila publik dan pemerintah meyakini bahwa Proyek IKN memang tidak disiapkan dengan perencanaan yang matang, maka pemerintah harus bersikap tegas apakah akan terus melanjutkan IKN atau menghentikannya. Dalam konteks ini, perencanaan IKN yang matang adalah prioritas agar proyek ini tidak hanya menjadi warisan politik yang bermasalah, tetapi juga membawa manfaat nyata bagi Indonesia.