Pilkada Serentak di 545 Daerah: Hati-Hati, Gugatan Pilkada Jakarta Berpotensi Memicu Sengketa Pilkada Serentak ke MK

Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (Hasrat)/Relawan Independen Pendukung Prabowo Saat Pilpres 2019-2024

PENTINGNYA kehati-hatian dalam mengajukan gugatan hasil Pilkada Jakarta sangat logis, mengingat Pilkada 2024 dilaksanakan serentak di 545 daerah di seluruh Indonesia. Berdasarkan data yang ada, jumlah daerah yang mengikuti Pilkada serentak pada 27 November 2024 mencakup 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota

Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT) / Relawan Independen Pendukung Prabowo Saat Pilpres 2019-2024

Kemenangan pasangan nomor urut 3, Pramono Anung dan Rano Karno (Pram-Duel), berdasarkan hasil rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) se-DKI Jakarta, tampaknya akan diikuti oleh langkah gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dari pihak lawan politik. Mengacu pada ketentuan perubahan Undang-Undang, Pilkada kini dianggap sebagai bagian dari rezim pemilu, sehingga seluruh sengketa hasil Pilkada hanya dapat diajukan ke MK.

Terkait hal ini, beberapa pihak telah menyuarakan rencana menggugat hasil Pilgub ini. Namun, gugatan semacam itu harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan penuh pertimbangan matang. Gugatan yang gegabah dapat memicu efek domino yang berpotensi merugikan stabilitas politik nasional.

Pentingnya kehati-hatian dalam mengajukan gugatan hasil Pilkada Jakarta sangat logis, mengingat Pilkada 2024 dilaksanakan serentak di 545 daerah di seluruh Indonesia. Berdasarkan data yang ada, jumlah daerah yang mengikuti Pilkada serentak pada 27 November 2024 mencakup 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota.

Dengan banyaknya daerah yang menyelenggarakan Pilkada secara serentak, potensi beban berat penanganan gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi sangat besar. Jika gugatan hasil Pilkada Gubernur (Pilgub) Jakarta tidak didasari alasan yang kuat, hal ini dapat memicu gelombang gugatan serupa ke MK. Akibatnya, sengketa Pilkada serentak bisa meningkat, mengancam kelancaran proses demokrasi di seluruh negeri.

Rekapitulasi Suara Pilgub Jakarta

Sebagaimana diketahui, Komisi Pemilihan Umum (KPU) di enam wilayah administrasi DKI Jakarta telah menyelesaikan rekapitulasi suara Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jakarta. Berdasarkan hasil tersebut, pasangan nomor urut 3, Pramono Anung-Rano Karno (Pram-Duel), dinyatakan menang dengan perolehan 50,07% suara (2.183.239 suara). 

Kemenangan tersebut sekaligus menegaskan bahwa pasangan Pram-Duel berhasil mengalahkan pasangan nomor urut 1, Ridwan Kamil-Suswono, yang meraih 39,40% suara, serta pasangan nomor urut 2, Dharma Pongrekun-Kun Wardana, yang hanya memperoleh 10,53% suara.

Pilgub ini mencatat tingkat partisipasi pemilih sebesar 57,52% dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 8.214.007 orang. Total jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya tercatat sebanyak 4.724.393 orang, dengan rincian 4.360.629 suara sah dan 363.764 suara tidak sah. Pasangan Pram-Duel unggul di semua wilayah Jakarta dan berhasil menang dalam satu putaran.

Potensi Masalah Gugatan Pilkada Jakarta

Langkah untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) harus dipertimbangkan secara matang, mengingat Pilkada 2024 dilaksanakan serentak di 545 daerah di seluruh Indonesia. Dalam konteks ini, terdapat beberapa alasan penting mengapa gugatan hasil Pilkada Jakarta ke MK harus dipikirkan dengan sangat hati-hati.

Pertama, gugatan dapat menimbulkan preseden buruk bagi daerah lain. Sebagai ibu kota negara, Jakarta memiliki pengaruh besar terhadap dinamika politik nasional. Gugatan yang tidak berdasar berpotensi menjadi contoh buruk, memicu gelombang gugatan serupa di daerah lain, dan mengancam stabilitas politik nasional.

Kedua, MK memiliki keterbatasan waktu dan sumber daya untuk menangani sengketa dari 545 daerah. Jika terjadi lonjakan gugatan, MK dapat kewalahan, memperlambat proses penyelesaian, dan menciptakan ketidakpuasan di banyak pihak.

Ketiga, Jakarta adalah simbol demokrasi nasional. Pengajuan gugatan tanpa dasar yang kuat dapat merusak citra demokrasi Jakarta serta melemahkan legitimasi proses demokrasi secara keseluruhan. Sebaliknya, penghormatan terhadap hasil Pilkada yang sah akan memperkuat kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi.

Oleh karena itu, gugatan terhadap hasil Pilkada hanya layak diajukan jika terdapat pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Dugaan pelanggaran seperti distribusi formulir C6 yang tidak merata atau ketidaksesuaian dalam Daftar Pemilih Khusus (DPK) harus dibuktikan secara komprehensif dengan data yang valid. Dengan pendekatan ini, proses demokrasi dapat tetap terjaga tanpa mencederai stabilitas politik dan kepercayaan publik.

Aturan dan Prosedur  Gugatan Pilkada

Berdasarkan Pasal 156 Undang-Undang No. 10 Tahun 2016, peserta Pilkada yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan hasil Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pengajuan gugatan ini harus dilakukan paling lambat tiga hari kerja setelah hasil Pilkada diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Dalam pengajuan gugatan, pemohon wajib melampirkan berbagai bukti dan data pendukung. Bukti tersebut harus mencakup dokumen resmi dari KPU yang menunjukkan adanya pelanggaran. MK memiliki waktu 45 hari kerja untuk memproses dan memutuskan sengketa. Putusan MK bersifat final dan mengikat.

Selain itu, terdapat ketentuan mengenai ambang batas gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 158 Undang-Undang No. 10 Tahun 2016. Ketentuan ini menetapkan selisih suara tertentu sebagai syarat untuk mengajukan gugatan hasil Pilkada.

Berdasarkan aturan dan proses pengajuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dasar gugatan harus lengkap dan valid. Gugatan tanpa dasar hukum yang kuat hanya akan membebani MK serta menciptakan kerugian politik, administratif, dan sosial. Terlebih, Pilkada serentak berpotensi menimbulkan multiplier effect, tidak hanya pada sengketa Pilkada itu sendiri, tetapi juga pada stabilitas politik nasional, khususnya di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Oleh karena itu, sebagai barometer demokrasi nasional, Jakarta harus menjadi teladan dalam menjaga stabilitas politik. Gugatan hasil Pilkada harus didasarkan pada bukti yang kuat dan pelanggaran yang signifikan, seperti dalam kasus pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Langkah ceroboh hanya akan memperumit situasi politik nasional dan merusak kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.