Pentingnya PDIP Menjadi Motor Penyeimbang Pemerintah dan Urgensi Pengganti Sekjen Hasto

Sugiyanto (SGY)-Emik

DI tengah homogenisasi atau penyeragaman politik akibat dominasi satu poros kekuasaan, keberadaan PDI Perjuangan sebagai kekuatan penyeimbang menjadi kebutuhan mendesak bagi keberlangsungan demokrasi

Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)

Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto, diyakini masih menjabat secara aktif meskipun saat ini tengah ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Seperti diketahui, Hasto telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait pengurusan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR periode 2019–2024, serta dugaan perintangan penyidikan.

Saat ini, Hasto sedang menjalani persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat. Upaya praperadilan kedua yang diajukannya ditolak oleh pengadilan karena kasus suap yang menjeratnya telah memasuki tahap persidangan. Sebelumnya, Hasto mengajukan dua gugatan praperadilan secara terpisah terkait statusnya sebagai tersangka dalam perkara suap dan perintangan penyidikan oleh KPK. Sidang terakhir digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin, 10 Maret 2025.

Penahanan Hasto tentu mengguncang internal PDIP dan memicu perdebatan publik. Masyarakat mulai berspekulasi mengenai kemungkinan pergantian Sekjen, termasuk siapa yang layak menempati posisi strategis tersebut. Sebagai partai besar dengan sumber daya kader yang melimpah, PDIP memiliki banyak tokoh internal yang potensial. Namun, penunjukan Sekjen bukanlah sekadar persoalan administratif, melainkan menyangkut arah dan strategi politik partai ke depan.

Sekjen baru akan menjadi figur sentral dalam menentukan sikap politik PDIP: apakah akan bergabung dengan pemerintahan Prabowo-Gibran, atau memilih tetap menjadi kekuatan penyeimbang di luar pemerintahan. Keputusan akhir tentu berada di tangan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri, figur sentral yang sangat dihormati baik oleh elite partai maupun konstituen PDIP.

Dalam konteks koalisi politik, posisi PDIP dalam pemerintahan Prabowo Subianto terus menjadi sorotan. Pasangan Prabowo-Gibran memenangkan Pilpres 2024 dengan dukungan Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang terdiri dari sembilan partai. Namun, hanya empat partai dari koalisi tersebut yang berhasil lolos ke parlemen, yakni Partai Gerindra, Partai Golkar, PAN, dan Partai Demokrat. Di sisi lain, tiga partai dari kubu lawan Prabowo-Gibran yang juga masuk parlemen adalah Partai NasDem, PKB, dan PKS. Sementara PDIP—pengusung Ganjar-Mahfud—juga memperoleh kursi signifikan, menjadikan total delapan partai yang menghuni parlemen.

Sebanyak sepuluh partai lainnya gagal melampaui ambang batas parlemen. Mereka mencakup lima partai pendukung Prabowo-Gibran (PSI, PBB, Partai Gelora, Partai Garuda, dan Partai Prima yang bahkan tidak lolos sebagai peserta pemilu), satu partai pendukung Anies-Muhaimin (Partai Ummat), tiga partai pengusung Ganjar-Mahfud (PPP, Perindo, Hanura), serta dua partai netral (Partai Buruh dan PKN).

Pasca-Pilpres, sejumlah partai yang sebelumnya berada di luar pemerintahan mulai merapat. PKB, yang semula mendukung Anies-Muhaimin, kini telah bergabung dan mendapatkan kursi menteri. PKS menyatakan dukungan bersifat programatik, meski belum mendapat posisi di kabinet. NasDem pun bersikap akomodatif terhadap pemerintahan baru tanpa meminta jatah kekuasaan. Di sisi lain, partai-partai kecil non-parlemen seperti PPP, Hanura, dan Perindo menyatakan dukungan terbatas terhadap program-program pemerintah.

Di tengah dinamika tersebut, hanya PDIP yang belum secara resmi menentukan posisinya: bergabung dengan pemerintahan atau menjadi oposisi. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang tidak mengenal oposisi secara formal, PDIP memiliki ruang strategis untuk memainkan peran sebagai kekuatan penyeimbang.

Sebagai partai pemenang Pemilu Legislatif 2024, PDIP memikul tanggung jawab besar dalam menjalankan fungsi kontrol terhadap kekuasaan eksekutif. Dalam demokrasi yang sehat, prinsip checks and balances harus dijaga. Jika seluruh partai larut dalam kekuasaan, maka tidak akan ada kekuatan yang mampu memberikan koreksi atas kebijakan pemerintah.

PDIP memiliki kapasitas intelektual, jaringan politik, serta legitimasi elektoral yang kuat untuk memainkan peran penyeimbang ini. Peran tersebut bukan semata-mata untuk mengkritik, melainkan untuk memastikan bahwa kebijakan pemerintah tetap berpijak pada konstitusi dan berpihak pada kepentingan rakyat. Kritik yang konstruktif berbeda dari oposisi yang membabi buta. Justru dari luar pemerintahan, PDIP dapat membangun narasi alternatif yang relevan dan solutif.

Pertemuan antara Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Presiden ke-5 RI sekaligus Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, pada 7 April 2025, menjadi momentum penting yang mencairkan ketegangan politik pasca-pemilu. Namun, pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan koalisi atau pembagian kabinet, yang menegaskan sikap independen dan prinsipil PDIP yang tidak mudah tergoda oleh kursi kekuasaan.

Di tengah homogenisasi atau penyeragaman politik akibat dominasi satu poros kekuasaan, keberadaan PDI Perjuangan sebagai kekuatan penyeimbang menjadi kebutuhan mendesak bagi keberlangsungan demokrasi. Tanpa kekuatan politik independen di luar pemerintahan, demokrasi Indonesia berisiko kehilangan daya kritisnya. Bahkan demokrasi yang selama ini terbangun dengan baik bisa rusak jika aspirasi kritis masyarakat tidak lagi terwakili oleh partai politik penyeimbang. 

Karena itu, penunjukan pengganti Hasto menjadi sangat krusial. Figur Sekjen yang baru harus memiliki integritas tinggi, kemampuan komunikasi politik yang kuat, serta visi strategis yang jelas untuk menavigasi peran PDIP sebagai penyeimbang kekuasaan secara efektif dan bermartabat. Sekjen baru bukan hanya pengelola organisasi partai, tetapi juga penentu arah politik PDIP di tengah arus kekuasaan yang menguat.

Keputusan apakah PDI Perjuangan akan bergabung dengan pemerintahan atau tetap berada di luar kekuasaan akan terus menjadi sorotan publik. Oleh karena itu, proses seleksi Sekretaris Jenderal yang baru harus dilakukan secara cermat dan penuh kehati-hatian. Strategi partai perlu mempertimbangkan dinamika politik nasional, sembari tetap berpegang teguh pada arahan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri. Hingga saat ini, belum ada keputusan resmi terkait pergantian Hasto Kristiyanto sebagai Sekjen PDIP. Bisa jadi, partai masih menunggu hasil akhir proses hukum yang sedang berjalan, dengan harapan Hasto dapat membuktikan dirinya tidak bersalah, sehingga pergantian tidak perlu dilakukan dalam waktu dekat.”

Sebagai penutup, izinkan saya menyampaikan pendapat. Menurut saya, menjadi partai penyeimbang bukanlah bentuk oposisi yang emosional. Justru sebaliknya, ini adalah strategi politik jangka panjang untuk menjaga keseimbangan kekuasaan dan menegakkan prinsip-prinsip demokrasi. Peran penyeimbang tidak berarti menolak seluruh kebijakan pemerintah, tetapi mendukung program-program yang berpihak pada rakyat, demi kemajuan bangsa dan kesejahteraan bersama. Dalam konteks ini, hubungan baik antara Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Presiden terpilih Prabowo Subianto menunjukkan bahwa posisi di luar pemerintahan bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan secara berlebihan.