Pemborosan Pengadaan Alat Alkes Pada Dinkes DKI Diduga Rugikan APBD Tahun 2020 Sebesar Rp 7,04 Miliar

Sugiyanto (SGY) Pengamat Kebijakan Publik Jakarta-(Foto-Ist)

Atas hal tersebut, maka total pemborosan dari pengadaan Rapid Test dan Respirator N95 pada Dinkes DKI Jakarta adalah sebesar Rp 7,040.908.000,00  (Rp 1,190.908.000,00+5,850.000.000,00).

 

Oleh : Sugiyanto (SGY)
Pengamat Kebijakan Publik Jakarta 

Masih ingat temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Provinsi DKI Jakarta tentang pemborosan pada APBD DKI Tahun Anggaran (TA)-2020. Diantaranya terjadi pada Dinas Kesehatan (Dinkes)DKI Jakarta.

LHP BPK Tahun 2020 menyebutkan, pada Dinkes ada dua kegiatan pemborosan,  pertama pengadaan Rapid Test Covid-19  TA 2020 senilai Rp 1.190.908.000,00.  Kedua, pengadaan Respirator N95 senilai Rp.5.850.000.000,00.  Total pemborosan mencapai Rp 7.040.908.000,00.

Merespon hal tersebut, diketahui Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Widyastuti mengatakan, temuan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) DKI tentang kelebihan bayar anggaran pengadaan alat rapid test dan masker N95 tidak ada kerugian negara dan hanya persoalan administrasi. 

Lalu bagaimana yang sebenarnya terjadi hingga BPK menyebut terdapat pemborosan?

Merujuk LHP BPK tahun 2020 diketahui pada TA 2020 DKI melakukan refocusing anggaran. Salah satunya adalah Belanja Tak Terduga (BTT) TA 2020. Berdasarkan Pergub Nomor 113 Tahun 2020 tanggal 11 Desember 2020 tercatat  realisasi BTT sampai 31 Desember 2020 senilai Rp 5.521.444.220.129,00 dengan sisa anggaran BTT yang tidak terealisasi Rp 813.506.674.605,00 atau 14,73% Realisasi BTT per 31 Desember 2020. Seluruhnya digunakan untuk penanggulangan pandemi Covid-19.

Pada pelaksanaan kegiatan yang bersumber dari BTT tersebut, bidang kesehatan diantaranya menggunakan untuk pengadaan 40.000 pieces Rapid Test Covid-19 senilai Rp 9.090.908.000,00 (tidak termasuk PPN), dan pengadaan 195.000 Respirator N95 senilai Rp 17.550.000.000,00 (tidak termasuk PPN) dengan jenis kontrak harga satuan. 

Menurut BPK pemborosan Rapid Test Covid-19 terjadi karena ada dua penyedia jasa dengan merk yang sama serta dengan waktu yang berdekatan namun dengan harga yang berbeda. 

Penyedia jasa pertama PT. NPN yang pekerjaannya selesai  pada 12 Juni 2020, yakni untuk pengadaan 50,000 pieces Rapid Test IgG/IgM Rapid Test Cassete (WB/S/P), dalam satu kemasan isi 25 test cassette merk Clungene dengan harga per unit barang  Rp 197.500,00 (tidak termasuk PPN).  Sedangkan penyedia jasa Rapid Test kedua yakni PT. TKM, kontrak pekerjaan selesai pada 5 Juni 2020 dengan jumlah pengadaan sebanyak 40.000 pieces dengan harga per unit barang senilai Rp 227.272,70 (tidak termasuk PPN).

Pada LHP BPK disebutkan seharusnya harga satuan Rapid Test PT. TKM sama, yakni Rp 197.500,00.  Sehingga untuk 40.000 pieces Rapid Test harganya menjadi Rp  7.900.000.000,00  bukan Rp. 9.090.908,00. Dengan demikian BPK menjelaskan terjadi selisih (pemborosan) Rp. 1.190.908.000,00.

Tentang pemborosan pengadaan Respirator N95, BPK juga menyebutkan terdapat  dua penyedia jasa pengadaan Respirator N95. Penyedia jasa pertama yakni PT. IDS yang sudah tiga kali ditunjuk Dinkes untuk mengadakan Masker N95 Respirator Plus Merk Respokare dengan jumlah total 89.000 pieces (39.000+30.000+20.000). Kontrak pekerjaan terakhir selesai pada tanggal  6 Oktober 2020 dengan harga termurah per unit barang Rp 60.000,00 (tidak termasuk PPN).

Penyedia jasa Respirator N95 kedua adalah PT. ALK yang ditunjuk  Dinkes untuk pengadaan 195.000 pieces Respirator N95 Niosh Particulate Respirators Merk/type: Makrite 9500-N95 dengan harga per satuan barang  senilai Rp  90.000,00 (tidak termasuk PPN). Pekerjaan selesai pada tanggal 30 Nopember 2020.

BKP menyebutkan bahwa dari kedua merk respirator yaitu merk Respokare dan merk Makrite sama-sama memiliki sertifikasi dari FDA (Food and Drug Administrasion) dan NIOSH (Nasional Institute for Occupation Safty and Health) sehingga sama-sama memenuhi syarat sebagai respirator dengan jenis N95. Dengan demikian menurut BPK dapat disimpulkan bahwa kedua respirator tersebut sama-sama memenuhi kualitas mutu.

Selain itu BPK juga menyebutkan selisih harga karena seharusnya harga satuan Respirator N95 PT. ALK sama yakni Rp 60.000,00.  Sehingga untuk 195.000 pieces Raspirator (Masker N95) harganya menjadi Rp. 11.700.000.000,00  bukan Rp 17.550.000.000,00. Dengan demikian BPK menyebutkan terjadi selisih (pemborosan) Rp 5.850.000.000,00.

Atas hal tersebut, maka total pemborosan dari pengadaan Rapid Test dan Respirator N95 pada Dinkes DKI Jakarta adalah sebesar Rp 7,040.908.000,00  (Rp. 1,190.908.000,00+5,850.000.000,00).

Mengingat BPK juga menyebutkan bahwa kondisi pemborosan tersebut tidak sesuai dengan UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan PP No 12 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, maka patut diduga bahwa pemborosan 7,04 miliar tersebut dapat dianggap merugikan keuangan negara/daerah pada APBD DKI Jakarta tahun 2020 sebesar Rp 7.04 miliar. 

Seharusnya tidak akan terjadi pemborosan atau dugaan kerugian keuangan negara/daerah  sebesar Rp 7,04 miliar bila Dinkes DKI Jakarta mengundang kedua penyedia jasa baik untuk pengadaan Rapid Test PT. NPN dan PT. TKM  dan pengadaan Respirator N95 PT. IDS dan PT. ALK.  Sebab Dinkes bisa mendapatkan harga termurah dengan kualitas yang sama dengan tetap berpedoman kepada ketentuan peraturan perundang-undangan.

Terkait hal tersebut, maka sebaiknya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta dapat membahas kembali masalah ini atau bila dianggap perlu dapat melaporkan masalah ini kepada penegak hukum baik Kepolisian, Kejaksaan atau KPK.


The End