Pedagang Pasar Ikan Modern Muara Baru Keluhkan Tarif Lapak Disaat Omset Anjlok
Jakarta, Dekannews – Pedagang Pasar Ikan Modern Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara menggeluhkan mahalnya sewa lapak yang mencekik. Pasalnya pengelola Pasar Modern yakni Perusahaan Umum Perikanan Indonesia (Perindo) mematok tariff sebesar Rp. 440 ribu disaat omset para pedagang menurun (Anjlok).
“Para pedagang keberatan dengan besaran tarif lapak. Apalagi dalam rapat bersama belum lama ini tidak ada pembicaraan tarif dan belum ada kesepakatan harga tarif lapak bersama pedagang,” terang Ketua Umum Perkumpulan Pedagang Hasil Laut Pasar Modern (PHALPIM) Yayat Hidayat di Cilincing, Rabu (18/01).
Yayat menerangkan, penetapan tarif lapak tersebut sangat membebankan para pedagang pasar. Apalagi para pedagang harus membayar kekurangan sewa lapak serta membayar sewa lapak selama tiga bulan (3) Bulan kedepan. “Kalau mereka para pedagang tidak membayar sewa, pengelola langsung memberikan Surat Peringatan (SP 1), SP 2 hingga penyegelan. Empat tahun kita diombang ambing dengan masalah kemudian fasilitas tidak memadai dan ini sangat menzolimi pedagang,” terangnya.
Yayat menyayangkan sikap pengelola yang dinilai sepihak dalam mengambil keputusan penerapan tarif lapak terhadap 350 pedagang aktif. Atas keberatan tarif lapak Pasar Ikan Modern Muara Baru itu pihaknya telah mengirimkan surat pengaduan kepada Ombusman agar dilakukan tindak lanjut.
“Kami sangat berharap, pengelola dapat menurunkan harga lapak seperti ditempat yang lama sehingga tidak memberatkan para pedagang ikan,” harapnya.
Sebelumnya, Ombudsman RI meninjau pengelolaan Pasar Ikan Modern Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara, pada 07 September 2021 lalu. Peninjauan itu dilakukan untuk merespons aduan dari masyarakat terkait permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan pasar ikan tersebut.
Ombudsman RI mendapat laporan tentang adanya ketidaksesuaian kebijakan antara Perusahaan Umum Perikanan Indonesia (Perindo) Pusat dan Perindo Cabang sebagai pengelola pasar modern.
Ombudsman menemukan telah terjadi perbedaan konsep antara pasar baru (pasar eceran) yang tidak sesuai dengan konsep pasar lama (pasar grosir).
Dalam peninjauan itu, Ombudsman RI menemukan ada 2.000 lapak dengan kurang lebih 1.000 pedagang aktif di pasar lama. Sedangkan pasar baru hanya memiliki kapasitas 1.000 lapak dengan kurang lebih 350 pedagang aktif.
Ombudsman tidak melihat adanya surat perjanjian atau kesepakatan antara pedagang dan pengelola dengan besaran pembayaran Rp440.000 per lapak tanpa adanya rincian peruntukannya. "Terkait itu, banyak pedagang keberatan untuk membayar sewa tersebut," ujarAnggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika dikutip dari Antara.
Kemudian, tidak ada realisasi terkait usulan area pengepakan yang saat ini hanya ada satu titik di sebelah utara.
Hal ini menyebabkan banyak pedagang bangkrut karena lapak tidak dekat dengan titik pengepakan. Selain itu, pedagang mengadu tidak mendapat pembinaan dari pengelola.
Terakhir, adanya dugaan konstruksi bangunan yang tidak sesuai dengan muatan serta temuan terkait buruknya Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) akibat tidak adanya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).
"Untuk selanjutnya, kami akan mengundang semua pihak, baik pedagang, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP dan BUMN Perindo untuk membicarakan hal ini," kata Yeka.
"Secara kasat masa kami melihat adanya dugaan maladministrasi berupa penyalahgunaan wewenang pengelola, pengabaian hukum dan penyimpangan prosedur," imbuhnya.
Hal ini menjadi objek pengawasan Ombudsman RI sebagai pengawas pelayanan publik. Karena itu, Ombudsman akan melakukan pemanggilan kepada pihak-pihak terkait.
"Saya berharap dalam diskusi nanti ada titik terang terhadap masalah yang dimaksud," katanya.
Sedangkan Anggota Ombudsman RI Indraza mengharapkan agar para pedagang tetap kondusif guna menjaga kegiatan di lapangan berlangsung baik dan tidak bertindak berlebihan. "Kami hadir disini sebagai bentuk hadirnya negara," katanya.
Ombudsman RI berkomitmen untuk menindaklanjuti laporan dengan melakukan pemanggilan kepada seluruh pihak terkait guna mendapatkan keterangan yang selanjutnya akan digunakan sebagai bahan perumusan saran perbaikan. (Edi)