NEGERI INI BUTUH SUMPAH PEMUDA MILENIAL Berantas KKN, Selamatkan Kekayaan Alam, Majukan Negara, dan Sejahterakan Rakyat

Foto: IST/INT – Museum Sumpah Pemuda, Sugiyanto (SGY) – Emik

JIKA Sumpah Pemuda 1928 adalah ikrar untuk merdeka dari penjajahan asing, maka Sumpah Pemuda Milenial harus menjadi ikrar untuk merdeka dari korupsi, keserakahan, dan ketidakadilan.

Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)

Sebelum melanjutkan tulisan artikel ini, izinkan saya menyampaikan draf Ikrar Sumpah Pemuda Milenial yang telah saya susun. Penyusunan ini bertujuan untuk selalu mengingat jasa besar perjuangan para pemuda dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, sekaligus menjadi pendorong dan pengingat atas tekad suci generasi penerus bangsa.

Draf Sumpah Pemuda Milenial (28 Oktober 2025)

Dengan semangat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan demi persatuan serta cita-cita luhur para pendiri bangsa, kami, putra dan putri Indonesia generasi milenial, menyatakan ikrar:

Kami, putra dan putri Indonesia milenial, bertekad membasmi korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta menindak tegas para pelaku ke mana pun mereka melarikan diri, demi kehormatan bangsa dan kecintaan kami kepada Indonesia.

Kami, putra dan putri Indonesia milenial, bertekad menjaga dan melindungi seluruh kekayaan alam Nusantara dari keserakahan segelintir pihak, demi kejayaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kami, putra dan putri Indonesia milenial, bertekad mewujudkan Indonesia yang maju, berkeadilan, dan sejahtera, dengan menjamin pendidikan berkualitas dan gratis, pelayanan kesehatan yang memadai, serta keringanan atau pembebasan pajak tertentu bagi seluruh rakyat Indonesia.

Atas nama persatuan, keadilan, dan masa depan bangsa, kami berdiri tegak, menyuarakan ikrar ini, bersumpah setia, dan akan terus berjuang demi kehormatan serta kejayaan tanah air selamanya.

Hidup Pemuda Indonesia!
Hidup Persatuan Bangsa!
Merdeka dari kolonialisme gaya baru dan KKN!

Pada hari ini, Minggu, 20 Oktober 2025, delapan hari menjelang peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-97, saya menulis dan mempersembahkan artikel ini untuk menyambut 28 Oktober 2025. Sudah sepantasnya para pemuda di seluruh penjuru negeri—di kota, desa, hingga kampung-kampung—bergembira, menyambut, dan merayakan hari bersejarah ini.

Sumpah Pemuda, yang pertama kali diikrarkan pada 28 Oktober 1928, merupakan momentum historis lahirnya kesadaran kolektif bangsa. Saat itu, para pemuda dari berbagai suku, agama, dan latar belakang menyatakan tekad: bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu—Indonesia. Semangat persatuan inilah yang kelak menjadi fondasi lahirnya Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Hampir satu abad berlalu, sebuah pertanyaan mendasar layak diajukan: benarkah cita-cita persatuan itu telah menghadirkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia?
Pertanyaan ini patut menjadi renungan mendalam bagi kita semua, sebagai bangsa yang diwarisi semangat Sumpah Pemuda.

Indonesia adalah negeri yang dikaruniai kekayaan alam luar biasa—hutan tropis, tambang nikel dan emas, batu bara, minyak bumi, gas, serta lautan perikanan yang melimpah. Secara teori, kekayaan ini seharusnya menjadi fondasi kemakmuran nasional.

Namun kenyataan berkata lain: kekayaan negeri ini belum dinikmati secara adil. Kesenjangan sosial kian melebar. Surplus ekonomi hanya jatuh ke tangan segelintir kelompok, sementara jutaan rakyat masih berjuang sekadar untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Sebuah ironi yang terpampang jelas di depan mata kita.

Akar dari permasalahan ini terletak pada suburnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang telah menggerogoti sendi-sendi negara. Berdasarkan data dari KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian, sejak 2004 hingga 2025 ratusan pejabat publik—mulai dari menteri, gubernur, bupati, wali kota, hingga anggota DPR—terjerat kasus korupsi.

Kasus e-KTP, BTS Kominfo, dan berbagai penyimpangan bantuan sosial menunjukkan bahwa korupsi telah bersifat sistemik dan terstruktur. Bahkan sektor pengelolaan sumber daya alam—pertambangan, kehutanan, dan agraria—kerap menjadi lahan kolusi antara pejabat dan oligarki.

Kasus korupsi sejatinya tak terhitung jumlahnya dan terus bermunculan dari waktu ke waktu. Begitu banyaknya hingga tangan ini seolah akan lelah jika harus mengetik seluruh daftar kasus korupsi di negeri ini.

Salah satu contoh terbaru adalah dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook yang diperkirakan merugikan negara sekitar Rp 1,98 triliun. Dalam kasus ini, mantan Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim, telah ditetapkan sebagai tersangka oleh aparat penegak hukum.

Selain itu, kasus yang melibatkan Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer (Noel), turut menambah daftar panjang pejabat tinggi negara yang terjerat persoalan hukum. Ia terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK terkait dugaan pemerasan yang berkaitan dengan pengurusan sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).

Di tengah persoalan itu, ketimpangan penguasaan lahan menjadi fakta yang tak bisa diabaikan. Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, mencatat luas daratan Indonesia mencapai 190 juta hektare—120 juta hektare kawasan hutan dan 70 juta hektare Area Penggunaan Lain (APL).

Dari 70 juta hektare APL tersebut, sekitar 46 persen dikuasai hanya oleh 60 keluarga. Bahkan, satu keluarga disebut memiliki 1,8 juta hektare lahan. Ketimpangan ini tidak hanya melanggar prinsip keadilan sosial, tetapi juga mengancam kedaulatan bangsa dalam jangka panjang.

Indonesia sesungguhnya tidak miskin sumber daya; yang miskin adalah integritas dan keberanian moral dalam mengelolanya. Kekayaan emas dan migas telah lama dieksploitasi melalui kontrak-kontrak asing, batu bara memang mendatangkan devisa namun meninggalkan kerusakan lingkungan, sementara industri sawit menghasilkan ekspor besar tetapi memicu konflik agraria.

Begitu pula dengan timah, nikel, dan berbagai mineral strategis lainnya—semuanya melimpah, namun belum mampu menghadirkan kesejahteraan yang nyata bagi rakyat. Kepala saya seketika pening mendengar banyak pakar menyebut negeri ini sebagai “surga yang kaya raya,” padahal masih banyak rakyat yang miskin dan hidup susah. Rasanya geram bercampur jengkel!

Akar persoalannya selalu sama: korupsi yang mengakar, penegakan hukum yang lemah, serta kebijakan yang tidak sejalan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945. Meski bangsa ini telah merdeka sejak 1945 dari penjajahan kolonial, kondisi hari ini seakan bermetamorfosis menjadi kolonialisme gaya baru, dijalankan oleh para pejabat korup, pelaku KKN, oligarki rakus, dan para pengkhianat bangsa.

Karena itu, sudah saatnya generasi muda—khususnya pemuda milenial—bangkit mengambil sikap, bukan lagi berdiam diri atau larut dalam hiburan tanpa peduli terhadap nasib bangsanya. Negeri ini harus benar-benar merdeka, lahir dan batin, terbebas dari kolonialisme gaya baru dan praktik KKN!

Dalam keadaan seperti ini, generasi muda Indonesia tidak boleh terus berpangku tangan. Jika Sumpah Pemuda 1928 adalah ikrar untuk merdeka dari penjajahan asing, maka Sumpah Pemuda Milenial harus menjadi ikrar untuk merdeka dari korupsi, keserakahan, dan ketidakadilan. Inilah saatnya generasi baru tampil dengan keberanian moral, kejernihan intelektual, dan kepedulian sosial.

Seruan “Enough is enough — cukuplah sudah!” harus menggema dari Sabang hingga Merauke. Seluruh pemuda milenial wajib bersatu, kompak, dan serentak menyuarakannya dengan lantang. Generasi ini juga harus siap mengejar para koruptor ke mana pun mereka bersembunyi—baik di gurun pasir maupun di Antarktika. Pernyataan semangat ini pun pernah disampaikan oleh Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto.

Negara wajib hadir dan pemerintah harus mendengar suara generasi muda. Penegakan hukum harus dilakukan tanpa pandang bulu, seluruh harta hasil korupsi harus disita, dan impunitas atau pembebasan dari hukum harus dihapus.

Pengelolaan kekayaan alam harus transparan, berdaulat, dan berpihak pada rakyat serta lingkungan. Kemajuan bangsa tidak boleh hanya diukur dari tinggi gedung atau laju ekonomi, melainkan dari meratanya pendidikan, kesehatan, lapangan kerja bermartabat, dan harga kebutuhan pokok yang terjangkau.

Negara-negara seperti Norwegia, Kuwait, dan Uni Emirat Arab telah membuktikan bahwa sumber daya alam yang dikelola secara bersih, transparan, dan akuntabel mampu menghadirkan kesejahteraan yang luas bagi rakyatnya. Mereka tidak hanya menyediakan pendidikan dan layanan kesehatan gratis, tetapi dalam beberapa kasus—seperti di Kuwait dan Uni Emirat Arab—bahkan membebaskan warga negaranya dari beban pajak.

Maka pertanyaan besar pun tak terelakkan: mengapa Indonesia, yang begitu kaya akan sumber daya alam, justru tertinggal dalam menyejahterakan rakyatnya? Siapa yang sesungguhnya harus bertanggung jawab—warisan kolonial, rezim Orde Lama, Orde Baru, atau pemerintah era Reformasi saat ini?

Izinkan saya mencontohkan negara Tirai Bambu, Tiongkok. Negara itu kini melesat menjadi kekuatan dunia dengan salah satu jurus paling tegas: menghukum mati para koruptor. Padahal, Indonesia dan Tiongkok sama-sama memasuki era baru pada akhir 1990-an—kita melalui Reformasi 1998 di bawah kepemimpinan hasil reformasi, mereka melalui reformasi dan keterbukaan di bawah Perdana Menteri Zhu Rongji. Hasilnya, Tiongkok telah melaju menjadi negara maju, sementara kita masih tertinggal jauh.

Generasi milenial tidak boleh menjadi penonton sejarah. Mereka adalah pewaris republik ini sekaligus penentu masa depan. Sumpah Pemuda Milenial bukan sekadar seremoni, melainkan janji suci untuk menjaga Indonesia dari kehancuran moral dan ketimpangan sosial. Semua ini bermuara pada satu tujuan: demi persatuan, keadilan, dan kejayaan bangsa.

Berdasarkan kondisi Indonesia saat ini, 97 tahun pasca Sumpah Pemuda sejak 1928, saya terdorong untuk menggagas dan menyusun draf Ikrar Sumpah Pemuda Milenial tersebut diatas. Penyusunan ini saya lakukan sebagai refleksi paripurna atas semangat Sumpah Pemuda yang diproklamasikan pada 28 Oktober 1928, dengan naskah asli sebagai berikut:

Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928


Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.