Mungkinkah MK Memutuskan Batas Usia Capres-Cawapres Sama Dengan Syarat minimum 17 tahun Bagi Pemilih?

Mahkamah Konstitusi (MK)-Foto-INT/IST

Di sinilah gugatan ini menjadi menarik. Artinya, MK memiliki potensi untuk mengabulkan gugatan ini, termasuk membut keputusan ultra petita. 

Oleh : Sugiyanto (SGY)
Aktivis Senior Jakarta

 

Dua hari lagi atau pada Senin 16 Oktober 2023,  Mahkamah Konstitusi (MK) akan mengelar sidang untuk membacakan putusan terkait gugatan syarat usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres). Majelis hakim konstitusi diyakini telah merampungkan sikap final masing-masing.

Keputusan MK kali ini menarik perhatian karena berkaitan dengan perkara nomor 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Dedek Prayudi, seorang kader dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Dalam proses gugatan ini, Dedek Prayudi mengajukan permohonan agar batas usia minimum calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) dikembalikan ke 35 tahun.

Banyak pihak berpendapat bahwa jika Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan ini, maka akan membuka peluang bagi Gibran Rakabuming. Anak dari Presiden Joko Widodo dan yang saat ini menjabat sebagai Walikota Solo, sekarang berusia 36 tahun, sehingga berpotensi untuk mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden pada pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2024 mendatang.

Sebagai hasilnya, berbagai pendapat muncul dari para pakar hukum dan politisi yang menganjurkan agar MK menolak gugatan mengenai batas usia minimum calon presiden dan wakil presiden. Mereka berargumen bahwa batas usia minimum 40 tahun didasarkan pada Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). 

Oleh karena itu, MK dianggap tidak memiliki kewenangan untuk mengubahnya, karena perubahan semacam ini seharusnya dilakukan oleh DPR dan pemerintah sebagai lembaga pembuat undang-undang positif.  Batas usia calon presiden dan wakil presiden dianggap sebagai domain yang ada dalam ranah pembuat undang-undang atau yang dikenal sebagai open legal policy.

Aturan batas usia capres-cawapres 40 tahun jelas disebutkan pada Pasal 169 UU Pemilu No. 7 Tahun 2017. Pasal ini mengatur syarat-syarat untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden dan calon wakil presiden, yang juga berlaku sebagai syarat bagi capres 2024 dan calon cawapres 2024. 

Pada prinsipnya, saya setuju dengan argumen open legal policy. Namun, penting untuk diingat bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) adalah lembaga independen yang memiliki kewenangan untuk memutuskan perkara yang diajukan.

Kewenangan MK dalam memutuskan perkara didasarkan pada amanat konstitusi dan diatur dalam Undang-Undang. Lebih lanjut, MK juga memiliki kewenangan untuk memutuskan perkara yang melebihi tuntutan atau yang dikenal sebagai ultra petita.

Di sinilah gugatan ini menjadi menarik. Artinya, MK memiliki potensi untuk mengabulkan gugatan ini, termasuk membut keputusan ultra petita. MK bisa saja mengizinkan batas usia minimum calon presiden dan wakil presiden 17 tahun. Syarat ini tentunya termasuk syarat pendidikan minimal lulus sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau sekolah setara.

Syarat ini sejalan dengan persyaratan untuk menjadi pemilih dalam Pemilu, yaitu Warga Negara Indonesia (WNI) yang berusia 17 tahun atau lebih pada hari pemungutan suara, sudah menikah, atau pernah menikah.

Jika persyaratan untuk menjadi pemilih adalah usia 17 tahun, maka muncul pertanyaan mengapa persyaratan untuk dipilih menjadi calon presiden dan wakil presiden harus memiliki usia minimum 40 tahun. Dalam konteks ini, seharusnya batas usia minimum untuk menjadi pemilih dan syarat untuk dipilih sebagai presiden dan wakil presiden seharusnya seragam.

Bahkan dalam Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), dinyatakan, "setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."

Sehubungan dengan ini, MK mungkin membuat keputusan ultra petita dengan mengizinkan batas usia minimum calon presiden dan wakil presiden sebesar 17 tahun. Namun, bahkan jika MK memutuskan demikian, faktor pengalaman dan kemampuan dari calon presiden dan calon wakil presiden tetap akan menjadi dasar penilaian masyarakat.

Keputusan ultra petita ini mungkin saja terjadi sebab MK tidak hanya terbatas pada pertimbangan petitum yang diajukan oleh pemohon semata. Secara substansial, keputusan ultra petita MK tidak bisa dilepaskan dari kondisi demokrasi yang terus berkembang, yang disebut sebagai konstitusi yang hidup (living constitution).

Akibatnya, konstitusi harus dapat diinterpretasikan sesuai dengan perkembangan masyarakat. Dengan demikian, Hakim Konstitusi juga memiliki kewajiban untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum serta rasa keadilan yang ada dalam masyarakat. 

Dalam perkara ini, MK dapat menganggap bahwa batas usia minimum 40 tahun untuk syarat calon presiden dan wakil presiden memiliki potensi menjadi pembatasan yang dapat mengancam prinsip-prinsip keadilan dan konstitusional.

Atas dasar pertimbangan ini, MK mungkin akan mengambil tindakan untuk melindungi hak-hak konstitusional setiap warga negara. 

Oleh karena itu, sangat mungkin MK akan mengabulkan gugatan untuk menurunkan batas usia minimum calon presiden dan wakil presiden menjadi 35 tahun. Bahkan, jika dianggap perlu, MK bisa membuat keputusan ultra petita yang mengizinkan usia minimum calon presiden dan wakil presiden sebesar 17 tahun.

 

The End.