Miris, Pemerkosaan Terhadap Anak Masih Terjadi Di Berbagai Daerah
Jakarta, Dekannews - Juru Bicara Nasional DPP Partai Perindo Ike Suharjo menyayangkan disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) beberapa bulan yang lalu, ternyata tidak membuat kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual berkurang.
Dalam sepekan terakhir terjadi 3 kasus pemerkosaan terhadap anak di bawah umur. Pertama, 4 orang remaja melakukan pemerkosaan terhadap remaja perempuan berumur 13 tahun di sebuah hutan kota di Jakarta Utara. Kedua, seorang anak kelas 4 sekolah dasar diperkosa orang tidak dikenal di daerah Ciputat, Tangerang Selatan. Ketiga, pemerkosaan terjadi kepada seorang anak kelas 5 sekolah dasar di Yogyakarta.
Padahal menurut Ike, semangat lahirnya UU TPKS adalah momentum bagi negara untuk hadir bagi para korban kekerasan seksual. Selain itu juga lanjut dia, sebagai upaya untuk memperjuangkan penghapusan pelecehan dan kekerasan seksual di masyarakat.
"Agar korban juga semakin berani untuk speak up, sehingga kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual dapat terselesaikan. Karena selama ini, kasus pelecehan dan kekerasan seksual di Indonesia itu seperti fenomena gunung es, dimana kasus yang tampak hanya permukaannya saja," kata Ike dalam keterangannya, Rabu (28/9/2022).
Diketahui data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) sepanjang 2021 hingga 17 Maret 2022 menunjukkan, dari 8.478 kasus kekerasan terhadap perempuan, 1.272 kasus di antaranya ialah kekerasan seksual. Selain itu, 11.952 kasus kekerasan terhadap anak, 7.004 kasus (58,6 persen) di antaranya merupakan kekerasan seksual.
Sementara hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional 2021 yang dilakukan Kementerian PPPA, Badan Pusat Statistik dan Lembaga Demografi Universitas Indonesia menemukan, 1 dari 19 perempuan (usia 15-64 tahun) pernah mengalami kekerasan seksual selain pasangan.
Oleh karena itu, Ike memaparkan, sebagai partai politik yang memiliki sensitifitas dalam isu perempuan dan anak, ada beberapa hal yang menjadi perhatian bagi Partai Perindo.
Pertama, imbuh dia, mendorong pemerintah untuk melakukan sosialisasi UU TPKS secara masif kepada masyarakat. Sehingga masyarakat dapat ikut andil untuk melaporkan setiap tindakan pelecahan dan kekerasan seksual di lingkungannya. "Agar masyarakat juga mempunyai pemahaman dan pengetahuan bahwa pelaku pelecehan dan kekerasan seksual dapat dikenakan hukum yang berat," ujarnya.
Kedua, sambung Ike, meminta pihak kepolisian untuk menghukum pelaku dengan hukuman yang seberat-beratnya. "Karena, kasus pelecehan dan kekerasan seksual di Indonesia merupakan suatu kejahatan yang luar biasa. Dengan demikian, pelaku akan mendapatkan efek jera sehingga di kemudian hari pelaku tidak akan mengulangi perbuatannya tersebut," ungkap Ike.
selanjutnya, lebih jauh Ike menjelaskan, dalam upaya melindungi perempuan dan anak dari pelecehan dan kekerasan seksual di ruang publik, pemerintah harus memasang cctv, stiker, dan poster yang banyak di tempat-tempat yang rawan terjadinya kasus pelecehan dan kekerasan seksual.
"Kebijakan itu perlu diterapkan agar dapat menciptakan rasa aman dan nyaman kepada masyarakat khususnya perempuan dan anak dari berbagai kejahatan, khususnya pelecehan dan kekerasan seksual," bebernya.
Terakhir, pihaknya meminta pemerintah untuk memblokir situs-situs dewasa/porno di internet. Karena, situs-situs porno tersebut sangat mudah diakses oleh siapapun. Sehingga memberikan pengaruh buruk terhadap kesehatan remaja.
"Menonton video porno dapat memberikan perubahan emosional, kognitif, dan psikis terhadap remaja. Selain itu, salah satu perubahan yang tidak bisa dihindari adalah motivasi dan rasa keingintahuan yang tinggi terhadap berbagai hal yang menimpa dirinya termasuk masalah-masalah yang berhubungan dengan seksualitas," urainya.
Hal serupa disampaikan juga oleh seorang Konselor Perempuan dan Anak, Pricelly Dara. Menurut dia, anak-anak yang menjadi korban pastinya akan mengalami trauma.
"Mereka akan merasa malu, kenapa hal ini terjadi kepada mereka. Lalu, sikap korban juga pasti akan berubah. Seperti dari yang dulunya ceria, kemudian berubah menjadi lebih pendiam, tidak banyak bicara dan enggan bertemu dengan orang lain," katanya.
Sehingga kata Pricelly, diperlukan kerjasama berbagai pihak termasuk keluarga dalam upaya agar korban bisa pulih dari trauma. "Selain pendampingan dari keluarga. Pendampingan dari tim ahli, psikolog, psikiater hingga ahli kesehatan juga diperlukan. Karena pemulihan trauma ini membutuhkan waktu, harus pelan-pelan dan bertahap, maka pihak keluarga harus lebih sabar, dan bisa memberikan motivasi dan dorongan kepada anaknya," tutup dia. (Zat)