Menakar Untung dan Rugi dari Pernyataan Pramono: Hanya Ingin Menjabat Gubernur Jakarta Satu Periode, dan Tak Tergiur Nyapres

Foto: IST/INT: Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung Wibowo-Sugiyanto (SGY)-Emik

ALASAN Pramono ingin pensiun setelah menyelesaikan masa jabatannya pada tahun 2030 juga cukup relevan

Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)

Beberapa hari lalu, saya pribadi sangat terkejut ketika mendengar dan membaca pemberitaan di berbagai media daring tentang pernyataan Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung Wibowo. Dalam pernyataan itu, Pramono menegaskan bahwa dirinya hanya ingin menjabat satu periode dan tidak tergiur untuk maju sebagai calon presiden pada Pemilu 2029.

Menurut saya, bukan hanya publik nasional yang dibuat terperangah, tetapi besar kemungkinan kalangan internal PDI Perjuangan pun turut kaget atas munculnya pernyataan tersebut.

Sesungguhnya, saya mampu menganalisis secara mendalam dari berbagai perspektif politik maupun aspek lainnya terkait untung dan rugi pernyataan Pramono itu, namun dalam tulisan ini saya membatasi diri hanya pada hal-hal yang bersifat umum.

Pernyataan ini menarik untuk dianalisis, karena tidak sedikit pemimpin yang lupa daratan saat berkuasa dan cenderung ingin mempertahankan jabatan setidaknya hingga dua periode. Selain itu, pernyataan Pramono muncul pada saat banyak figur kepala daerah justru memanfaatkan posisi sebagai batu loncatan menuju panggung Pilpres. Di tengah mereka yang sedang membangun jalan menuju ambisi nasional, Pramono justru memilih langkah sebaliknya.

Karena itu, penting untuk menakar keuntungan sekaligus potensi risikonya. Sekali lagi, dalam tulisan ini saya hanya membahas hal-hal yang bersifat umum. Untuk hal-hal yang lebih khusus dan mendalam, sengaja belum saya ungkapkan terlebih dahulu.

Ini yang ringan-ringan saja dulu, ya. Untuk yang berat-berat, mungkin perlu beberapa cangkir kopi lagi. Secara umum, setidaknya ada tiga hal keuntungan dan tiga hal kerugian dari pernyataan Pramono tersebut. Baiklah, saya uraikan satu per satu.

Dari sisi manfaat atau keuntungannya, terdapat tiga hal penting yang dapat dicermati. Pertama, Gubernur Pramono dapat dipandang sebagai sosok yang membawa gagasan bahwa jabatan publik tidak semestinya digunakan untuk melanggengkan kekuasaan hingga dua periode.

Alasan Pramono ingin pensiun setelah menyelesaikan masa jabatannya pada tahun 2030 juga cukup relevan. Ia telah mengabdi selama kurang lebih 25 tahun tanpa jeda, mulai dari DPR hingga jabatan strategis di pemerintahan pusat. Ditambah lima tahun masa jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta, total pengabdiannya mencapai sekitar 30 tahun. Meski demikian, bukan berarti rakyat tidak berhak memilih kembali pemimpin yang dianggap berhasil dan jujur—karena pada akhirnya, penilaian tertinggi tetap berada di tangan rakyat.

Kedua, ia menegaskan bahwa posisi Gubernur DKI Jakarta bukanlah batu loncatan menuju pencalonan presiden, melainkan amanah yang harus diselesaikan dengan penuh tanggung jawab. Ketiga, melalui pernyataannya, Pramono menyampaikan pesan moral bahwa jabatan publik adalah ruang pengabdian, bukan sekadar arena pencitraan untuk mengejar kekuasaan yang lebih tinggi.

Namun, dari sisi kerugiannya, juga terdapat tiga hal yang patut dipertimbangkan. Pertama, masyarakat Jakarta berpotensi kehilangan harapan untuk dipimpin lebih lama oleh sosok yang dianggap jujur, tulus, dan bekerja demi pengabdian, bukan ambisi pribadi.

Kedua, baik masyarakat Jakarta maupun Indonesia dapat kehilangan kesempatan munculnya figur calon presiden alternatif dengan karakter kepemimpinan yang kuat dan rendah hati seperti Pramono Anung. Di tengah minimnya figur negarawan, keputusan tersebut mungkin mengurangi pilihan berkualitas bagi bangsa.

Ketiga, publik bisa kehilangan teladan pemimpin yang ikhlas bekerja tanpa mengejar jabatan lebih tinggi. Ketika banyak pemimpin berlomba membangun citra untuk dua periode atau panggung nasional, sikap seperti Pramono semestinya menjadi inspirasi moral dalam etika politik.

Oke, itu dulu uraian mengenai untung dan rugi dari pernyataan Gubernur Pramono. Hal-hal yang lebih khusus dan mendalam—baik terkait dampaknya bagi Pramono sendiri, PDI Perjuangan, maupun masyarakat Jakarta dan rakyat Indonesia—akan saya sampaikan pada waktu yang tepat.

Pada akhirnya, pernyataan “tak tergiur nyapres” dan “hanya ingin menjabat Gubernur satu periode saja” menyimpan makna yang sangat dalam. Diperlukan kajian dan analisis yang lebih mendalam untuk menakarnya, agar masyarakat Jakarta dan rakyat Indonesia memperoleh gambaran utuh tentang pesan moral serta arah politik yang ingin disampaikan melalui sikap tersebut.